Senin, 17 Oktober 2016

MENAPAKI DANAU TANRALILI


MENAPAKI DANAU TANRALILI
Muhammad Irdam Syah

Senja ketika aku jalan-jalan sore di sekitar rumahku jalan Jenderal Sudirman, Agung mengampiriku dan mengajakku ke danau Tanralili.
“Siapa-siapa yang mau ikut? Tanyaku acuh-tak acuh.
“Ambar, Abdy, Fahry, Farhan” jawab Agung.
“Aku izin dulu sama orang tua sebelum menetapkan ikut apa tidak” jawabku.
Agung memarkir motornya dan aku duduk di atas batu
“Danau Tanralili dimana sih?” tanyaku lagi.
“Di Daerah Malino, Desa Lengkese Kabupaten Gowa. Untuk sampai di sana kita mendaki gunung kira-kira sejam kalau mendaki siang hari dan 3 jam kalau jalan malam. Kita akan jalan malam.
“Oooo…” mulutku membudar mendengar jawaban Agung.
Kemudian Agung pamit padaku. Aku pun pulang ke rumah.
Keesokan hari di hari Sabtu, seperti biasa aku ke sekolah dengan jadwal mata pelajaran Penjas, PKN, dan Matematika. Pelajaran itu saya ikuti dengan saksama sampai jam sekolah usai.
Di pintu gerbang sekolah Agung, Farha dan Fahry mencegatku “Kamu jadi tidak?”
“Aku belum minta izin, aku pulang dulu minta izin.
Sesampai di rumah aku langsung menghampiri kedua orang tuaku di meja makan.
“Aku mau ke Malino” kataku ragu-ragu.
“Untuk apa ke sana?” selidik ayah.
“Aku mau ikut teman mendaki ke danau Tanralili.”
Orang tuaku tentu saja melarang untuk pergi dengan berbagai alasan. Aku terus merengek dengan mengatakan “Aku punya 3 kakak cowok. Mereka sering mendaki di Gunung Bawakaraeng. Aku juga mau merasakan indahnya dunia di atas sana.”
Hati ayahku jadi lebur, ia mengizinkanku pergi.
Aku melompat kegirangan dan segera ganti baju dan memasukkan bajuku ke dalam tas lalu bergegas pergi dengan berbekal uang Rp.50.000.
Kepada Agung kami mengumpul uang masing-masing Rp.20.000,- untuk membeli makanan dan minuman sebagai bekal ke sana.
Abdy yang ditunggu-tunggu datang terlambat dengan kondisi siap. Kami peking di gekset. Uang terkumpul sebanyak Rp.120.000, Agung menyimpan uang Rp.36.000 sebanyak untuk membayar tiket masuk dan biaya parkir motor. Tiket masuk seharga Rp.5.000 dan tiket parker Rp.2.000.
Selebihnya, Agung membelikannya makanan dan minuman berupa biscuit, wafer, kopi, mie instan.
Amblas membawa beras 2 liter, aku membawa tenda bulan 2 buah, kompor 1 mata dan tabung kecil.
Peking pun selesai kami segera berangkat. Aku boncengan sama Amblas, Fahry sama Farhan, Agung sama Abdy. Langkah dimulai dengan berdoa bersama sesuai keyakinan masing-masing.
Kurang lebih tiga jam berkendara melewati jalan  mulus berliku dengan jurang kiri kanan, sampailah kami di kota Malino. Kami mendapat pertigaan dan belok kiri untuk menuju ke jalan pendakian. Kami melewati jembatan yang konon bernama “Jembatan merah”. Tak lama kemudian kami sampai di rumah penduduk. Hari sudah malam. Jam menunjukkan pukul 19.00.Kami singga disalah satu rumah penduduk. Kami beristirahat sebentar sambil makan kue.
Agung dan Abdi mengganti celananya yang tadinya celana panjang diganti dengan celana pendek. Tak lama kemudian terdengar azan untuk sholat isya. Kami berkemas karena rencananya usai sholat isya perjalanan dilanjutkan.
Kami segera berangkat menuju arah pendakian. Di depan jalur itu ada tempat registerasi.
Agung ditanyai tentang apa saja yang dibawa, berama lama di atas berapa anggota, nama dan umur. Setelah itu kami tanda tangan di buku tamu.
Agung membawar tiket masuk Rp.30.000 disertai pesan dari salah seorang petugas.
“Di atas sana adalah tempat yang indah dan bersih. Kalian harus menjaga kebersihan”
Orang itu lalu memberi kami kantong besar untuk tempat sampah.
“Pencinta alam sejati tidak megotori alamnya. So pendaki yang baik membawa pulang sampahnya.” 

Kami pun memulai perjalanan dengan sebuah tarikan nafas panjang.Bismillahi rahmani Rohim” ucap dalam hatiku.
Awalnya jalannya rata lalu kemudian jalannya semakin miring. Aku mulai ngos-ngosan nafasku berpacu dengan langkahku yang bersemangat diselimuti udara dingin pegunungan..
“Break!!” Teriak Agung pertanda istirahat. Kami mengasoh sejenak di pinggir jalan setapak sambil bersandar di pohon kayu.
Setelah melalui tanjangan yang cukup melelahkan sampailah kami dipuncak gunung untuk selanjutnya akan menempuh jalan menurun yang dibawahnya ada sungai. Setelah melewati sungai yang airnya bening dan sangat dingin kami kembali dihadapkan dengan pendakian. Kami semakin bersemangat karena dipuncak gunung itulah danau Tanralili.
Kami disambut dengan sebuah tullisan ‘SELAMAT DATANG DI WISATA ALAM DANAU TANRALILI”
Agung langsung memasang tenda. Setelah tenda jadi aku memasak kopi dan bermain domino. Udara dingin sekali. Aku mengenakan sarung tangan dan kaos kaki.
Pukul 6.00, aku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Aku terkesiap melihat pemandangan pagi yang indah menyejukkan mata dan memanjakan perasaan bahagia . Danau luas berwarna kehijauan yang dikelilingi tebing-tebing tinggi menjulang menyerupai benteng yang menyrmbunyikan keindahan danau Tanralili. Itulah sebabnya danau ini dikenal juga dengan nama Lembang Loe karena memang lokasinya berada di lembah yang kelilingi gunung.
Berdasarkan informasi dari Agung, danau Tanralili seluas 2 ha ini, terbentuk akibat longsoran Gunung. Bawakaraeng yang terjadi tahun 2004 silam. Ketika longsoran terjadi terbentuklah cekungan yang cukup dalam. 
Kata tanralili sendiri merupakan nama salah satu kerajaan di sulawesi selatan yang terkenal keras dan pemberani. Dari asal kata ‘Tenri’ dan ‘lili’ yang artinya tidak dapat ditundukkan.

Kami sarapan Mie instan yang direbus Agung. Lagu foto-foto di sekitar danau. Ada serombongan wisatawan yang selfi-selfi di atas tebing.  Kami juga ke sana.
Di salah satu tepian danau terdapat sungai yang ternyata  mengarah pada satu air tejun yang juga menjadi salah  satu sumber air yang mengisi Danau Tanralili. Aku memberanikan diri berenang di air terjun itu sambil mandi pagi. Airnya dingin sekali.
Setelah itu kami kembali ke tenda. Agung kembali membuat kopi. Kami minum kopi sambil bermain domino. Hari pun semakin siang. Pukul 10.00 kami berkemas pulang. Tenda dibongkar dan dimasukkan dalam tas. Setelah itu kami lanjut perjalanan dengan menempuh jalur yang seperti kemarin. .
Karena perjalanan pergi dilakukan malam hari, aku tak sempat memperhatikan keadaan sekeliling. Baru kusadari ternyata sepanjang jalan menuju lokasi kita disuguhkan oleh truktur batuan yang sangat indah. Selain itu sisa-sisa longsoran yang terjadi bisa kita lihat di sepanjang perjalanan hingga tak membosankan.
Dalam perjalanan pulang. kami tak pernah beristirahat. Jika menemukan pendakian kami berlari. Sejam berlalu kami sampai di rumah penduduk. Mampir sebentar itu mengambil motor diparkiran lalu kembali ka kampung kami. Diperjalan kami singga di SPBU Manipi untuk mengisi tangki lalu mampir lagi di rumah keluarganya  Agung untuk makan siang.
Dari pengalaman perjalanan yang aku lalui bersama teman-teman. Disitu aku belajar hidup dengan kesederhanaan. Ketika kami mendaki dipuncak gunung, jangan katakan kami berhasil, kalau tidak kembali ke rumahmu “Anak pendaki tak mau melihat temannya mati, saling membantu satu sama lain”
Danau Tanralili  memang susah dan bikin ngos-ngosan tapi semua lelah perjalanan terbayar ketika  menikmati pemandangan danau yang indah dan pohon pinus yang berjajar rapi di atas ketinggian gunung serta udara yang segar merupakan paduan komplit yang disajikan alam.
 
Sinjai, 5 Oktober 2016

Salam hijau, salam lestari
Tetaplah lestari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar