MENAPAKI
DANAU TANRALILI
Muhammad
Irdam Syah
Senja
ketika aku jalan-jalan sore di sekitar rumahku jalan Jenderal Sudirman, Agung
mengampiriku dan mengajakku ke danau Tanralili.
“Siapa-siapa
yang mau ikut? Tanyaku acuh-tak acuh.
“Ambar,
Abdy, Fahry, Farhan” jawab Agung.
“Aku
izin dulu sama orang tua sebelum menetapkan ikut apa tidak” jawabku.
Agung
memarkir motornya dan aku duduk di atas batu
“Danau
Tanralili dimana sih?” tanyaku lagi.
“Di
Daerah Malino, Desa Lengkese Kabupaten Gowa. Untuk sampai di sana kita mendaki
gunung kira-kira sejam kalau mendaki siang hari dan 3 jam kalau jalan malam. Kita
akan jalan malam.
“Oooo…”
mulutku membudar mendengar jawaban Agung.
Kemudian
Agung pamit padaku. Aku pun pulang ke rumah.
Keesokan
hari di hari Sabtu, seperti biasa aku ke sekolah dengan jadwal mata pelajaran
Penjas, PKN, dan Matematika. Pelajaran itu saya ikuti dengan saksama sampai jam
sekolah usai.
Di
pintu gerbang sekolah Agung, Farha dan Fahry mencegatku “Kamu jadi tidak?”
“Aku
belum minta izin, aku pulang dulu minta izin.
Sesampai
di rumah aku langsung menghampiri kedua orang tuaku di meja makan.
“Aku
mau ke Malino” kataku ragu-ragu.
“Untuk
apa ke sana?” selidik ayah.
“Aku
mau ikut teman mendaki ke danau Tanralili.”
Orang
tuaku tentu saja melarang untuk pergi dengan berbagai alasan. Aku terus
merengek dengan mengatakan “Aku punya 3 kakak cowok. Mereka sering mendaki di
Gunung Bawakaraeng. Aku juga mau merasakan indahnya dunia di atas sana.”
Hati
ayahku jadi lebur, ia mengizinkanku pergi.
Aku
melompat kegirangan dan segera ganti baju dan memasukkan bajuku ke dalam tas
lalu bergegas pergi dengan berbekal uang Rp.50.000.
Kepada
Agung kami mengumpul uang masing-masing Rp.20.000,- untuk membeli makanan dan
minuman sebagai bekal ke sana.
Abdy
yang ditunggu-tunggu datang terlambat dengan kondisi siap. Kami peking di
gekset. Uang terkumpul sebanyak Rp.120.000, Agung menyimpan uang Rp.36.000
sebanyak untuk membayar tiket masuk dan biaya parkir motor. Tiket masuk seharga
Rp.5.000 dan tiket parker Rp.2.000.
Selebihnya,
Agung membelikannya makanan dan minuman berupa biscuit, wafer, kopi, mie
instan.
Amblas
membawa beras 2 liter, aku membawa tenda bulan 2 buah, kompor 1 mata dan tabung
kecil.
Peking
pun selesai kami segera berangkat. Aku boncengan sama Amblas, Fahry sama
Farhan, Agung sama Abdy. Langkah dimulai dengan berdoa bersama sesuai keyakinan
masing-masing.
Kurang
lebih tiga jam berkendara melewati jalan
mulus berliku dengan jurang kiri kanan, sampailah kami di kota Malino.
Kami mendapat pertigaan dan belok kiri untuk menuju ke jalan pendakian. Kami melewati
jembatan yang konon bernama “Jembatan merah”. Tak lama kemudian kami sampai di
rumah penduduk. Hari sudah malam. Jam menunjukkan pukul 19.00.Kami singga
disalah satu rumah penduduk. Kami beristirahat sebentar sambil makan kue.
Agung
dan Abdi mengganti celananya yang tadinya celana panjang diganti dengan celana
pendek. Tak lama kemudian terdengar azan untuk sholat isya. Kami berkemas
karena rencananya usai sholat isya perjalanan dilanjutkan.
Kami
segera berangkat menuju arah pendakian. Di depan jalur itu ada tempat
registerasi.
Agung
ditanyai tentang apa saja yang dibawa, berama lama di atas berapa anggota, nama
dan umur. Setelah itu kami tanda tangan di buku tamu.
Agung
membawar tiket masuk Rp.30.000 disertai pesan dari salah seorang petugas.
“Di
atas sana adalah tempat yang indah dan bersih. Kalian harus menjaga kebersihan”
Orang
itu lalu memberi kami kantong besar untuk tempat sampah.
“Pencinta alam sejati tidak megotori alamnya.
So pendaki yang baik membawa pulang sampahnya.”
Kami pun memulai perjalanan dengan sebuah tarikan nafas panjang.Bismillahi rahmani Rohim” ucap dalam hatiku.
Awalnya
jalannya rata lalu kemudian jalannya semakin miring. Aku mulai ngos-ngosan
nafasku berpacu dengan langkahku yang bersemangat diselimuti udara dingin
pegunungan..
“Break!!”
Teriak Agung pertanda istirahat. Kami mengasoh sejenak di pinggir jalan setapak
sambil bersandar di pohon kayu.
Setelah
melalui tanjangan yang cukup melelahkan sampailah kami dipuncak gunung untuk
selanjutnya akan menempuh jalan menurun yang dibawahnya ada sungai. Setelah
melewati sungai yang airnya bening dan sangat dingin kami kembali dihadapkan
dengan pendakian. Kami semakin bersemangat karena dipuncak gunung itulah danau
Tanralili.
Kami
disambut dengan sebuah tullisan ‘SELAMAT DATANG DI WISATA ALAM DANAU TANRALILI”
Agung
langsung memasang tenda. Setelah tenda jadi aku memasak kopi dan bermain
domino. Udara dingin sekali. Aku mengenakan sarung tangan dan kaos kaki.
Pukul
6.00, aku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Aku terkesiap melihat
pemandangan pagi yang indah menyejukkan mata dan memanjakan perasaan bahagia .
Danau luas berwarna kehijauan yang dikelilingi tebing-tebing tinggi menjulang
menyerupai benteng yang menyrmbunyikan keindahan danau Tanralili. Itulah
sebabnya danau ini dikenal juga dengan nama Lembang Loe karena memang lokasinya
berada di lembah yang kelilingi gunung.
Berdasarkan informasi dari Agung, danau Tanralili seluas 2 ha ini,
terbentuk akibat longsoran Gunung. Bawakaraeng yang terjadi tahun 2004 silam.
Ketika longsoran terjadi terbentuklah cekungan yang cukup dalam.
Kata tanralili sendiri merupakan nama salah satu kerajaan di
sulawesi selatan yang terkenal keras dan pemberani. Dari asal kata ‘Tenri’ dan
‘lili’ yang artinya tidak dapat ditundukkan.
Kami
sarapan Mie instan yang direbus Agung. Lagu foto-foto di sekitar danau. Ada
serombongan wisatawan yang selfi-selfi di atas tebing. Kami juga ke sana.
Di
salah satu tepian danau terdapat sungai yang ternyata mengarah pada satu air tejun yang juga menjadi
salah satu sumber air yang mengisi Danau Tanralili.
Aku memberanikan diri berenang di air terjun itu sambil mandi pagi. Airnya dingin
sekali.
Setelah
itu kami kembali ke tenda. Agung kembali membuat kopi. Kami minum kopi sambil
bermain domino. Hari pun semakin siang. Pukul 10.00 kami berkemas pulang. Tenda
dibongkar dan dimasukkan dalam tas. Setelah itu kami lanjut perjalanan dengan
menempuh jalur yang seperti kemarin. .
Karena
perjalanan pergi dilakukan malam hari, aku tak sempat memperhatikan keadaan
sekeliling. Baru kusadari ternyata sepanjang jalan menuju lokasi kita
disuguhkan oleh truktur batuan yang sangat indah. Selain itu sisa-sisa
longsoran yang terjadi bisa kita lihat di sepanjang perjalanan hingga tak
membosankan.
Dalam
perjalanan pulang. kami tak pernah beristirahat. Jika menemukan pendakian kami
berlari. Sejam berlalu kami sampai di rumah penduduk. Mampir sebentar itu
mengambil motor diparkiran lalu kembali ka kampung kami. Diperjalan kami singga
di SPBU Manipi untuk mengisi tangki lalu mampir lagi di rumah keluarganya Agung untuk makan siang.
Dari
pengalaman perjalanan yang aku lalui bersama teman-teman. Disitu aku belajar
hidup dengan kesederhanaan. Ketika kami mendaki dipuncak gunung, jangan katakan
kami berhasil, kalau tidak kembali ke rumahmu “Anak pendaki tak mau melihat
temannya mati, saling membantu satu sama lain”
Danau Tanralili memang
susah dan bikin ngos-ngosan tapi semua lelah perjalanan terbayar ketika menikmati pemandangan danau yang indah dan
pohon pinus yang berjajar rapi di atas ketinggian gunung serta udara yang segar
merupakan paduan komplit yang disajikan alam.
Sinjai, 5 Oktober 2016
Salam hijau, salam
lestari
Tetaplah lestari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar