PEMBOROS
MIFTAH
FARID
Siang
itu, bersama sobat karibku Rifki, aku jalan-jalan sore disekitar alun-alun. tiba-tiba aku melihat
sebuah gulungan kertas berwarna kemerahan tergeletak di tengah jalan. Aku
memperlihatkan gulungan kertas itu
kepada Rifki dan Rifki memungutnya dengan hati-hati karena banyak sekali
kendaraan yang lalulalang.
Ternyata
uang Rp.100.000,-
“Mau
diapakan uang ini?” tanyaku sambil menatap wajah Rifki menanti jawaban.
“Bagaimana
kalau dimasukkan dalam celengan Masjid?” Rifki menyampakan sarannya
“Lebih
baik kita belanjakan saja” usulku
“Tidak,
lebih baik kita tabung” tegas Rifki
“Begini
saja. Uang ini kita bagi dua. Aku akan membelikannysa sesuatu dan bagianmu kau
tabung saja di Masjid.” Kataku menyimpulkan.
Ternyata
Rifki setuju dan uang itu ditukar dan masing-masing mendapatkan Rp.50.000,-.
Aku
pulang ke rumah dan ayah melihat uang itu ditanganku.
“Dari
mana kau dapat uang ?” selidik ayah
“Dari
jalanan, Pak?” jawabku sambil berlalu menuju kamar
“Kalau
begitu tabung uang itu di tabunganmu” kata ayah
Sambil
berlalu aku memasukkan uang itu ke dalam saku celanaku dan bukan dicelenganku.
Sesaat berlalu aku meninggalkan kamar dan berlari keluar membeli kerupuk dan
gulan-gula. Sambil bayar aku melihat the pucuk seharga Rp.3.000. aku membelinya
juga.
Kemudian
aku berpikir sisa uangku mau kuapakan lagi ya?.
Dari
pada aku bingung mau diapakn uang ini lebih baik aku beli mie bakso yang
kebetulan lewat.
“Mas!
Beli!”
Tukang
bakso itu menghentikan gerobaknya di pinggir jalan.
“Satu
mangkuk baksonya dan mangkuk dibungkus”
“Siap”
jawab tukang bakso dengan sigap.
“Semuanya
berapa, Mas? Tanyaku setelah semangkok bakso kuhabisi dalam sekejap.
Karena
aku memberinya sambAl cukup banyak hingga aku kepedasan. Untung aku telah
membeli the pucuk
“Tiga
mangkuk Rp.21.000,-“ jawab penjual bakso.
Kutengok
saku celaanaku ternyata uangku sisa Rp.20.000. uang ini kurencanakan membawanya
ke sekolah besok pagi.
Aku
bangun seperti biasanya dan menunggu sepupuku
Herman yang sering kupanggir Man untuk berangkat bareng berboncengan.
Herman orang pintar peringkat II di sekolah kelas VIII. Aku selalu menunggu
Herman keluar dari rumahnya dan numpang ojek ke sekolah. Sambil menunggu
herman, aku pamit pada ayahku sebelum ayah pergi duluan ke tempat kerjanya.
Sesampai
di sekolah, ternyata aku lupa membawa pakaian olah raga. Pelajaran pertama hari
ini adalah Penjaskes. Turun dari motor, aku segera berlari ke kantin membali
roti dan white kopi. Lonceng tanda masuk pun berbunyi. Aku segera menghabiskan
sisa roti dan meminum white kopi lalu berlari ke kelasku. Kelas IXa.
Aku
merasa lega. Ternyata guru belum datang. Aku rehat sebentar sebelum guru datang
dan memulai pelajaran.
Ketika
lonceng istirahat berbunyi, aku kembali kekantin bersama teman sebangkuku
Ahmad.
“Aku
akan mentraktirmu” kataku pada Ahmad ketika sampai di pintu kantin
“Sungguh,
John?” selidik Ahmad
“Ya
betul. Pilih saja yang kau mau”
“Roti
sama gula-gula relaxa”
Aku
kembali kekelas mengikuti pelajaran. Usai olah raga jam segini bukannya apa
yang disampaikan guru terserap masuk ke otak melainkan rasa ngantuk yang
menyerang.
Tak
sengaja aku meraba sakuku. Sisa uang
Rp.10.000. dalam sehari aku telah menghabiskan uang sebanyak Rp.40.000. tidak
seperti biasanya. Andai uang ini kutabung tentu masih tersimpan di celenganku.
Aku
menarik napas panjang menyesali sifat borosku.
Atau
semestinya aku menuruti kemauan Fikri.
Menabungnya ke Masjid. Sertidaknya aku punya cadangan amal buat hari kemudian.
Kutarik
napas panjang, kuusap wajahku mengusir rasa ngantukku sambil meniatkan dalam
hati untuk berlaku kebih baik di hari esok.
Sinjai, 4 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar