KUCING
PUTIH
Muh.
Ilham Saputra
Di
pagi itu aku terbangun dari tidur untuk
memulai sekolahku. Umurku 5 tahun dan duduk di kursi taman kanak-kanak Pertiwi.
Aku berjalan menuju
sekolah. Saat di depan pohon jati besar kakiku tersandung batu yang besar. Aku
terjatuh tersungkur di aspal. Alas sepatuku terbuka bagaikan bayi merengek
minta makan. Aku tetap melanjutkan langkahku.
Di depan rumah tanteku
penjual nasi kuning, aku bertemu Ridwan teman sebangkuku. Biasa dipanggil Ride.
“Kamu dari mana?”
“Makan nasi kuning”
“Ride, kita sama-sama
jalan” ajakku.
“Ok” Ride mengiyakan.
Gerbang sekolah telah
Nampak terbuka lebar, aku pun tersenyum lebar. Kupercepat langkahku walau kakiku terpincang-pincang berjalan
karena sepatu robekku.
Setelah di gerbang
kulihat kanan kiri.
“Ride, ada yang baru”
“Apa ya?”
“Coba lihat di depan
kelas banyak bunga-bunganya”
Kemudian aku bergegas
menuju kelasku.
“Assalamu alaikum.”
“Waalaikum mussalam”
sekelas menjawab salamku.
Setelah berucap salam
aku bersama Ride langsung duduk di dekat temanku. Waktu itu belajar
hitung-hitungan. Kami belajar dengan riang gembira. Di depan kelas ibu guru
menjelaskan, di bawah aku bicara sendiri sambil tutup mata bagaikan orang gila.
“Satu, dua, tiga… lima,
enam, empat, tujuh.. Sembilan… sepuluh “aku berbicara sambil sandar di dinding.
“Ilham!” ibu guru
memanggil
“Iya Bu” mataku
langsung melek.
“Liat ini!” sambil
menghampiriku.
“Iya Bu”
Waktu menunjukkan pukul
08.00, lonceng tanda istirahat telah tiba. Aku berlomba dengan teman-teman
untuk tercepat mengambil tas. Lalu duduk kembali dan memakan bekal kami.
Setelah itu lanjut belajar. Kala itu tidak belajar. Cuma main bongkar pasang
saja.
Pukul 09.15, kami
pulang. Aku pulang bersama Anto. Di jalan saya lihat kucing tergeletak di
jalan. Saya hanya melihatnya dan tidak memindahkannya karena sudah mati.
Sesampai di rumah
kulihat banyak orang berkerumun di depan rumah. Keadaan sangat menegangkan. atap
rumah hancur . Hj. Tina tanteku menggendungku masuk kamar. Kulihat mamaku
menangis. Aku hendak bertanya tapi tanteku melarangku keluar ke mamaku.
Aku mencari celah untuk
bisa keluar. Aku berhasil dan keluar dan duduk di pangkuan mama. Kulihat
matanya mengeluarkan air mata. Aku pun menangis. Adikku yang masih bayi pun
ikut berteriak-teriak. Siang itu bapakku belum pulang dari pekerjaannya. Aku
tak melihat nenekku dan keluarga dari ibuku. Di sana cuma ada keluarga dari
bapakku.
Dari pembicaraan, aku
dengar keluargaku diusir dari tanah kakek-nenek kami. Mamaku membenarkan kalau
rumah itu milik saudara kakekku.
Kata ibu, waktu ia
memasak tiba-tiba ada hantaman benda keras dari luar. Mamaku kaget dan hampir
pingsan. Ternyata pelakunya adalah saudara kakekku sendiri. Ia melarang kami
tinggal di rumah itu. Ia mengklain kalau tanah dan rumah itu adalah milik dia
walau kata orang luar tanah itu telah dibeli oleh kakekku.
Daripada melanjutkan
masalah, lebih baik kami pindah dan mencari rumah yang dapat kami tinggali.
Berhari-hari kemudian
orang tuaku pergi ke rumah seorang ternama di kampung ini. Bapakku meminta
tolong agar diizinkan untuk tinggal di rumahnya kosong yang kebetulan
berdekatan dengan rumah orang tersebut. Permintaan bapakku dikabulkan.
Ada kucing putih penghuni
rumah itu. Setiap aku melihat kucing itu, aku teringat kucing mati yang
tergeletak di jalan tempo hari. Kami tinggal di rumah ibu beberapa Minggu
sambil berkeliling mencari rumah yang dapat kami beli.
Aku pindah ke rumah
tanteku sipenjual nasi kuning. Rumahnya cantik akan tetapi pekarangan rumahnya
kurang terawat.. Kucing putih itu kubawa serta.
Ada kabar yang kami
dapat kalau di samping sekolah ada tanah hendak dijual. Bapakku membelinya.
Tinggal rumah yang kami tidak punya.
Dari barat ke timur, dari selatan ke utara kami mencari rumah tinggal
sampai ke kabupaten Bone. Di Bonelah kami mendapatkan rumah kayu. Rumah kayu
itu kami dirikan di tanah yang kami beli.
Empat bulan di rumah
tanteku si penjual nasi kuning, kami pindah ke rumah baru di dekat sekolahan.
Kucing putih kubawa serta. aku sangat suka warnanya yang bersih dan sifatnya
yang manja. .
Berminggu-minggu
kemudian kucing putih yang ternyata kucing jantan itu pergi mencari pasangan
hidup dan tak pernah kembali lagi.
Kini kami tinggal di
rumah panggung itu dengan damai. Hingga
kini, berbagai sejarah telah terukir di rumah sederhana itu..
Setiap memulai tidurku,
kuselalu mengenang kakekku. sambil bertanya-tanya dalam hati, bisa-bisanya
kakek mengusir cucunya sendiri. Pasti kakek tidak sayang pada kami.
Tapi kami dilarang
dendam kepada keturunan kakekku itu. Kami ambil hikmahnya saja. Andai tidak
diusir dari rumah itu, mungin bapakku belum berusaha punya rumah sendiri.
Sinjai, 13
September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar