Selasa, 18 Oktober 2016

KUCING PUTIH Karya Muh. Ilham Saputra



KUCING PUTIH



Muh. Ilham Saputra

            Di pagi  itu aku terbangun dari tidur untuk memulai sekolahku. Umurku 5 tahun dan duduk di kursi taman kanak-kanak Pertiwi.

Aku berjalan menuju sekolah. Saat di depan pohon jati besar kakiku tersandung batu yang besar. Aku terjatuh tersungkur di aspal. Alas sepatuku terbuka bagaikan bayi merengek minta makan. Aku tetap melanjutkan langkahku. 

Di depan rumah tanteku penjual nasi kuning, aku bertemu Ridwan teman sebangkuku. Biasa dipanggil Ride. 

“Kamu dari mana?”

“Makan nasi kuning”

“Ride, kita sama-sama jalan” ajakku.

“Ok” Ride mengiyakan.

Gerbang sekolah telah Nampak terbuka lebar, aku pun tersenyum lebar. Kupercepat langkahku  walau kakiku terpincang-pincang berjalan karena sepatu robekku. 

Setelah di gerbang kulihat kanan kiri.

“Ride, ada yang baru”

“Apa ya?”

“Coba lihat di depan kelas banyak bunga-bunganya”

Kemudian aku bergegas menuju kelasku.

“Assalamu alaikum.”

“Waalaikum mussalam” sekelas menjawab salamku.

Setelah berucap salam aku bersama Ride langsung duduk di dekat temanku. Waktu itu belajar hitung-hitungan. Kami belajar dengan riang gembira. Di depan kelas ibu guru menjelaskan, di bawah aku bicara sendiri sambil tutup mata bagaikan orang gila.

“Satu, dua, tiga… lima, enam, empat, tujuh.. Sembilan… sepuluh “aku berbicara sambil sandar di dinding.

“Ilham!” ibu guru memanggil

“Iya Bu” mataku langsung melek.

“Liat ini!” sambil menghampiriku.

“Iya Bu”

Waktu menunjukkan pukul 08.00, lonceng tanda istirahat telah tiba. Aku berlomba dengan teman-teman untuk tercepat mengambil tas. Lalu duduk kembali dan memakan bekal kami. Setelah itu lanjut belajar. Kala itu tidak belajar. Cuma main bongkar pasang saja.

Pukul 09.15, kami pulang. Aku pulang bersama Anto. Di jalan saya lihat kucing tergeletak di jalan. Saya hanya melihatnya dan tidak memindahkannya karena sudah mati.

Sesampai di rumah kulihat banyak orang berkerumun di depan rumah. Keadaan sangat menegangkan. atap rumah hancur . Hj. Tina tanteku menggendungku masuk kamar. Kulihat mamaku menangis. Aku hendak bertanya tapi tanteku melarangku keluar ke mamaku. 

Aku mencari celah untuk bisa keluar. Aku berhasil dan keluar dan duduk di pangkuan mama. Kulihat matanya mengeluarkan air mata. Aku pun menangis. Adikku yang masih bayi pun ikut berteriak-teriak. Siang itu bapakku belum pulang dari pekerjaannya. Aku tak melihat nenekku dan keluarga dari ibuku. Di sana cuma ada keluarga dari bapakku.

Dari pembicaraan, aku dengar keluargaku diusir dari tanah kakek-nenek kami. Mamaku membenarkan kalau rumah itu milik saudara kakekku.

Kata ibu, waktu ia memasak tiba-tiba ada hantaman benda keras dari luar. Mamaku kaget dan hampir pingsan. Ternyata pelakunya adalah saudara kakekku sendiri. Ia melarang kami tinggal di rumah itu. Ia mengklain kalau tanah dan rumah itu adalah milik dia walau kata orang luar tanah itu telah dibeli oleh kakekku.

Daripada melanjutkan masalah, lebih baik kami pindah dan mencari rumah yang dapat kami tinggali.
Berhari-hari kemudian orang tuaku pergi ke rumah seorang ternama di kampung ini. Bapakku meminta tolong agar diizinkan untuk tinggal di rumahnya kosong yang kebetulan berdekatan dengan rumah orang tersebut. Permintaan bapakku dikabulkan.

Ada kucing putih penghuni rumah itu. Setiap aku melihat kucing itu, aku teringat kucing mati yang tergeletak di jalan tempo hari. Kami tinggal di rumah ibu beberapa Minggu sambil berkeliling mencari rumah yang dapat kami beli.

Aku pindah ke rumah tanteku sipenjual nasi kuning. Rumahnya cantik akan tetapi pekarangan rumahnya kurang terawat.. Kucing putih itu kubawa serta.

Ada kabar yang kami dapat kalau di samping sekolah ada tanah hendak dijual. Bapakku membelinya. Tinggal rumah yang kami tidak punya.

Dari barat ke timur, dari  selatan ke utara kami mencari rumah tinggal sampai ke kabupaten Bone. Di Bonelah kami mendapatkan rumah kayu. Rumah kayu itu kami dirikan di tanah yang kami beli.

Empat bulan di rumah tanteku si penjual nasi kuning, kami pindah ke rumah baru di dekat sekolahan. Kucing putih kubawa serta. aku sangat suka warnanya yang bersih dan sifatnya yang manja. .

Berminggu-minggu kemudian kucing putih yang ternyata kucing jantan itu pergi mencari pasangan hidup dan tak pernah kembali lagi.

Kini kami tinggal di rumah panggung itu dengan damai.  Hingga kini, berbagai sejarah telah terukir di rumah sederhana itu..

Setiap memulai tidurku, kuselalu mengenang kakekku. sambil bertanya-tanya dalam hati, bisa-bisanya kakek mengusir cucunya sendiri. Pasti kakek tidak sayang pada kami.

Tapi kami dilarang dendam kepada keturunan kakekku itu. Kami ambil hikmahnya saja. Andai tidak diusir dari rumah itu, mungin bapakku belum berusaha punya rumah sendiri.

Sinjai, 13 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar