Senin, 06 Desember 2021

 

MENDAKI KE GUNUNG BONTOPALE

Adrian Pratama

Hari itu hari Minggu. Saya dan empat teman lainnya pergi ke gunung untuk berjalan-jalan. Belum seberapa jauh berjalan, kami menemukan anjing yang sedang tidur di pinggir jalan. Saya berjalan mengendap-endap  agar anjing itu tidak terbangun mendengar gemerisik suara kaki kami. Sialnya, Rudi  temanku yang paling lucu tidak sengaja batuk dan anjing itu terbangun. Sambil menggonggong anjing itu mengejar kami.

Saya berusaha mengusirnya dengan mengayung-ayungkan tanganku tapi anjing itu tetap mengejar kami. Tiba-tiba ada mobil dari arah depan. Anjing tersebut langsung berhenti mengejar kami.

Saya menarik nafas legah dan  berhenti sejenak mengatur napas sambil menertawakan diri sendiri sebelum memilih jalan lain untuk sampai ke gunung.

Di tengah perjalanan Adi si mata sipit melihat pohon kelapa. Adi berhenti  untuk memanjatnya tapi saya bilang kalau di pohon kepala biasanya ada sarang ular.

Si kribo Ardi malah maju duluan. Tanpa ragu dia langsung memanjat pohon kelapa itu. Cukup lincah ia memanjat. Mungkin karena bodinya yang pendek dan berotot. setelah sampai di atas pohon, Ardi menjerit dan langsung meluncur turun secepat-cepatnya. Kami semu tertawa terpingkal-pingkal melihat Ardi meluncur bagai air terjun menuruni jurang tebing.

“Ada anak ular yang sedang tidur“ kata Ardi dengan napas yang belum teratur.

Perjalanan dilanjutkan sambil bercengkerama satu sama lain. Setelah lama berjalan baru kami sadar kalau  ternyata Abduh temanku yang paling besar tidak ikut di rombongan. Kami merembuk sebentar lalu bersepakat untuk kembali mencari mereka. kami menemukannya di seberang sungai. Abduh sedang memanjat rambutan. Saya diam-diam menakutinya dengan berteriak “Maling! “ dan melempari batu. Abduh bergeming dan membalas. “ Saya tahu siapa kau. Saya tidak takut, ini kan kebunku“.

Kami ikut bergabung makan rambutan sebelum melanjutkan perjalanan.

Belum terlalu siang ketika kami berada di kaki gunung. Kami mendaki bersama dengan hati riang. Saling memacu tenaga tak ada yang mau kalah. Gunung yang tak seberapa tinggi itu tidak membuat kami kehabisan tenaga. Kami pun sampai dan berhenti sejenak untuk menatap sekeliling. Pemandangannya yang indah. Hamparan sawah yang terbentang luas nampaknya baru saja di panen. Burung bangau memutih berjajar di pematang menunggu rezekinya. Dari kejauhan terlihat beberapa dangau beratap daun rumbia. Angin sejuk sepoi-sepoi mengeringkan keringatku. Rasa lelah telah hilang. Hati terasa damai. Sungguh indah kampung halamanku.

Sambil lesehan di bawah pohon rindang bercengkerama satu sama lain baru kami sadar kalau ternyata diantara pohon-pohon yang berbagai jenis, ada pohon mangga yang berbuah lebat. Dengan riang kami berlarian ke bawah pohon mangga mencari mangga ranum yang jatuh. Dapat beberapa biji. Banyak kulit dan biji mangga berserakan di bawah pohon. Lalat hijau berkerumun. Ardi melempar mangga menggunakan potongan kayu mengharap mendapatkan buah mangga lebih banyak.

“Tak Usah dilempar. Kita tunggu saja jatuh sendiri“ sahutku setengah berteriak.

Tak ada yang mendengar ucapanku. Saya mengalah dan ikut melempar sampai capek. Cukup banyak yang kami peroleh. Saya mema

kannya dengan mengupas kulitnya dengan gigiku. Manis-manis asam. Sangat cocok dengan suasana panas siang hari.

Hari beranjak sore ketika kami pulang kembali menelusuri jalan setapak menuju kampungku.

“Kapan ya kita bisa pergi bersama-sama seperti ini“ kata Abduh dengan serius “Tak lama lagi kita akan tamat sekolah dan entah bagaimana selanjutnya“

Sesaat hening lalu saya melarutkan suasana “Kita akan selalu bersama kawan“

Kami saling berpelukan penuh persahabatan lalu melanjutkan perjalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar