MENDAKI KE GUNUNG BONTOPALE
Adrian Pratama
Hari itu hari Minggu. Saya dan empat teman lainnya pergi ke gunung untuk
berjalan-jalan. Belum seberapa jauh berjalan, kami menemukan anjing yang sedang
tidur di pinggir jalan. Saya berjalan mengendap-endap agar anjing itu tidak terbangun mendengar
gemerisik suara kaki kami. Sialnya, Rudi temanku yang paling lucu tidak sengaja batuk
dan anjing itu terbangun. Sambil menggonggong anjing itu mengejar kami.
Saya berusaha mengusirnya dengan mengayung-ayungkan tanganku tapi anjing
itu tetap mengejar kami. Tiba-tiba ada mobil dari arah depan. Anjing tersebut
langsung berhenti mengejar kami.
Saya menarik nafas legah dan berhenti sejenak mengatur napas sambil
menertawakan diri sendiri sebelum memilih jalan lain untuk sampai ke gunung.
Di tengah perjalanan Adi si mata sipit melihat pohon kelapa. Adi
berhenti untuk memanjatnya tapi saya
bilang kalau di pohon kepala biasanya ada sarang ular.
Si kribo Ardi malah maju duluan. Tanpa ragu dia langsung memanjat pohon
kelapa itu. Cukup lincah ia memanjat. Mungkin karena bodinya yang pendek dan
berotot. setelah sampai di atas pohon, Ardi menjerit dan langsung meluncur turun
secepat-cepatnya. Kami semu tertawa terpingkal-pingkal melihat Ardi meluncur
bagai air terjun menuruni jurang tebing.
“Ada anak ular yang sedang tidur“ kata Ardi dengan napas yang belum
teratur.
Perjalanan dilanjutkan sambil bercengkerama satu sama lain. Setelah lama
berjalan baru kami sadar kalau ternyata
Abduh temanku yang paling besar tidak ikut di rombongan. Kami merembuk sebentar
lalu bersepakat untuk kembali mencari mereka. kami menemukannya di seberang sungai.
Abduh sedang memanjat rambutan. Saya diam-diam menakutinya dengan berteriak
“Maling! “ dan melempari batu. Abduh bergeming dan membalas. “ Saya tahu siapa
kau. Saya tidak takut, ini kan kebunku“.
Kami ikut bergabung makan rambutan sebelum melanjutkan perjalanan.
Belum terlalu siang ketika kami berada di kaki gunung. Kami mendaki bersama
dengan hati riang. Saling memacu tenaga tak ada yang mau kalah. Gunung yang tak
seberapa tinggi itu tidak membuat kami kehabisan tenaga. Kami pun sampai dan
berhenti sejenak untuk menatap sekeliling. Pemandangannya yang indah. Hamparan
sawah yang terbentang luas nampaknya baru saja di panen. Burung bangau memutih
berjajar di pematang menunggu rezekinya. Dari kejauhan terlihat beberapa dangau
beratap daun rumbia. Angin sejuk sepoi-sepoi mengeringkan keringatku. Rasa
lelah telah hilang. Hati terasa damai. Sungguh indah kampung halamanku.
Sambil lesehan di bawah pohon rindang bercengkerama satu sama lain baru
kami sadar kalau ternyata diantara pohon-pohon yang berbagai jenis, ada pohon
mangga yang berbuah lebat. Dengan riang kami berlarian ke bawah pohon mangga
mencari mangga ranum yang jatuh. Dapat beberapa biji. Banyak kulit dan biji
mangga berserakan di bawah pohon. Lalat hijau berkerumun. Ardi melempar mangga
menggunakan potongan kayu mengharap mendapatkan buah mangga lebih banyak.
“Tak Usah dilempar. Kita tunggu saja jatuh sendiri“ sahutku setengah
berteriak.
Tak ada yang mendengar ucapanku. Saya mengalah dan ikut melempar sampai capek. Cukup banyak yang kami peroleh. Saya mema
kannya dengan mengupas kulitnya dengan gigiku. Manis-manis asam. Sangat cocok dengan suasana panas siang hari.Hari beranjak sore ketika kami pulang kembali menelusuri jalan setapak
menuju kampungku.
“Kapan ya kita bisa pergi bersama-sama seperti ini“ kata Abduh dengan
serius “Tak lama lagi kita akan tamat sekolah dan entah bagaimana selanjutnya“
Sesaat hening lalu saya melarutkan suasana “Kita akan selalu bersama
kawan“
Kami saling berpelukan penuh persahabatan lalu melanjutkan perjalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar