LUKA BERBEKAS
Fajriani Mus
Aku sedang mengusap-usap bekas luka yang ada di lututku di
teras ketika ibu muncul. Ia memperhatikan lututku sejenak lalu tersenyum.
“Kenapa di lutut saya ada bekas luka?. Aku tak ingat
kejadiannya” tanyaku pada Ibu.
“Disaat kau kecil,
kau sangat nakal.” Ibu memulai ceritanya sambil duduk di kursi yang ada
di sampingku.
“Umurmu belum setahun
ketiga aku mendapat undangan dalam suatu pertemuan di Kantor Bupati. Aku
harus datang pada siang hari. Jadi aku memasak pagi-pagi. Aku memasak
menggunakan tungku. Tidak seperti sekarang memasak menggunakan gas. Aku memasak
menggunakan kayu bakar. menyalakan api menggunakan korek api, plastik dan kayu
bakar.”
“Sebelum memasak aku menyuruh kakakmu menjagamu karena
khawati kau mendekat ke tungku. Saat nasi sudah setengah matang, aku pergi
mandi aku menyuruh kakakmu melanjutkan
masakan.
Saat kakakmu berdiri untuk melanjutkan masakanku, kau
merangkak mendekati api dan menarik plastik yang sepotongnya belum terbakar.”
“Kenapa ibu tidak
mencegatku? Aku menyela.
“Aku juga tidak melihatnya” kata ibu melanjutkan “Kau mungkin
mempermainakan plastic itu dan menetes kemana-mana dan mengenai paha, tangan,
betis dan lutut. Kau menangis kesakitan.”
“Dari sumur aku berteriak, kenapa Ani menangis?. Kakakku
baru menyadari dan segera menolongmu.”
“Aku segera berlari menemuimu dan menyiramkan air dan
membersihan sisa–sisa plastik dan
mengobatinya dengan odol dan kopi bubuk.”
Karena kau menangis terus menerus, terpaksa aku
mengikutkanmu kepertemuan di kantor bupati. Kau sangat senang ikut dalam
pertemuan itu. Beberapa orang yang melihatmu menanyakan kenapa terjadi
demikian.
Hari-hari berlalu dan luka di tanganmu melepuh. Aku
membawamu ke Puskesmas dan diberi salep. Berkat salep itu, lukamu mongering dan
tidak meninggalkan bekas kecuali pada lututmu.”
Ibuku tersenyum ringan “Kau tak mulus lagi karena belas
luka itu tidak akan hilang untuk selamanya”
Ibuku mengakhiri cerita dan meninggalkanku. Aku mengusap
lututku yang berbekas hingga kini. Bekas luka ini kuanggap tanda lahir bagiku
sekaligus sebagai kenangan betapa nakalnya aku dimasa kecilku.
Walau
sering menjadi bahan ejekan bagi teman-temanku, aku tak perduli. Agar tak kelihatan, aku menyiasatinya dengan
memakai celana panjang atau rok panjang .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar