Minggu, 14 Oktober 2018

LUKA BERBEKAS Oleh FAJRIANI MUS


LUKA  BERBEKAS
Fajriani Mus 

Aku sedang mengusap-usap bekas luka yang ada di lututku di teras ketika ibu muncul. Ia memperhatikan lututku sejenak lalu tersenyum.

“Kenapa di lutut saya ada bekas luka?. Aku tak ingat kejadiannya” tanyaku pada Ibu.

“Disaat kau kecil,  kau sangat nakal.” Ibu memulai ceritanya sambil duduk di kursi yang ada di sampingku.

“Umurmu belum setahun  ketiga aku mendapat undangan dalam suatu pertemuan di Kantor Bupati. Aku harus datang pada siang hari. Jadi aku memasak pagi-pagi. Aku memasak menggunakan tungku. Tidak seperti sekarang memasak menggunakan gas. Aku memasak menggunakan kayu bakar. menyalakan api menggunakan korek api, plastik dan kayu bakar.”

“Sebelum memasak aku menyuruh kakakmu menjagamu karena khawati kau mendekat ke tungku. Saat nasi sudah setengah matang, aku pergi mandi aku menyuruh kakakmu  melanjutkan masakan.

Saat kakakmu berdiri untuk melanjutkan masakanku, kau merangkak mendekati api dan menarik plastik yang sepotongnya belum terbakar.”

“Kenapa ibu tidak  mencegatku? Aku menyela.

“Aku juga tidak melihatnya”  kata ibu melanjutkan “Kau mungkin mempermainakan plastic itu dan menetes kemana-mana dan mengenai paha, tangan, betis dan lutut. Kau menangis kesakitan.”

“Dari sumur aku berteriak, kenapa Ani menangis?. Kakakku baru menyadari dan segera menolongmu.”

“Aku segera berlari menemuimu dan menyiramkan air dan membersihan sisa–sisa plastik dan  mengobatinya dengan odol dan kopi bubuk.”

Karena kau menangis terus menerus, terpaksa aku mengikutkanmu kepertemuan di kantor bupati. Kau sangat senang ikut dalam pertemuan itu. Beberapa orang yang melihatmu menanyakan kenapa terjadi demikian.

Hari-hari berlalu dan luka di tanganmu melepuh. Aku membawamu ke Puskesmas dan diberi salep. Berkat salep itu, lukamu mongering dan tidak  meninggalkan bekas  kecuali pada lututmu.”

Ibuku tersenyum ringan “Kau tak mulus lagi karena belas luka itu tidak akan hilang untuk selamanya”

Ibuku mengakhiri cerita dan meninggalkanku. Aku mengusap lututku yang berbekas hingga kini. Bekas luka ini kuanggap tanda lahir bagiku sekaligus sebagai kenangan betapa nakalnya aku dimasa kecilku.

Walau sering menjadi bahan ejekan bagi teman-temanku, aku tak perduli.  Agar tak kelihatan, aku menyiasatinya dengan memakai celana panjang atau rok panjang .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar