Rabu, 17 Oktober 2018

Gerimis Petang Oleh Nursitiana


GERIMIS PETANG
Nursitiana




Hari  yang ditunggu telah tiba. Ayahku hendak berangkat umroh. Semua keluarga berkumpul di rumah untuk mengantar bapakku tak terkecuali nenekku yang ikut larut dalam rasa bahagia.

Karena semua berkumpul di rumahku untuk menghadiri syukuran, tak ada yang mengurusi ayam dan itik peliharaan nenekku. Aku dan Ani adikku disuruh untuk pergi mengurusi  ayam dan itik nenekku.

Sebenarnya aku ragu dengan suruhan nenek karena senja itu hujan gerimis tapi mau apa lagi tak ada pilihan lain agar nenekku tidak kecewa.

Karena gerimis, aku harus mencari payung yang hilang dari tempat bisanya. Aku mulai kesal. Akhirnya Ani yang  menemukan payung tersebut di belakang rumah.

Karena takut kemalaman, aku mempercepat langkah. Kerepotan juga dengan payung berukuran besar. Dalam perjalanan, ada orang gila duduk di pintu masuk sebuah rumah panggung. Aku tak sengaja melihatnya. orang gila itu tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Karena takut, aku dan Ani berlari sekuat tenaga. Nafasku turun naik berlari melintasi alun-alun.

Sambil berlari di tengah alun-alun, rasa takut berganti rasa malu ketika aku sadar kalau ternyata banyak anak alki-laki bermain bola memperhatikan aku berlari. Aku menunduk menutupi wajahku dengan payung hingga aku sampai di rumah nenekku yang tak jauh dari alun-alun itu.

Aku kelelahan berjalan jauh.  Ani beristirahat di belakang rumah sambil melihat-lihat aku memasukkan semua itik ke kandangnya. Setelah itu aku berdua menangkap satu persatu ayam yang masih kecil karena belum bisa masuk sendiri ke kandangnya.

Azan magrib sudah berkumandang. Hari semakin gelap. Aku merasa cemas karena ayam belum tertangkap semua. Ayam masih berlari kesana kemari aku marah pada Ani karena tidak membantu menangkap ayam.

“He! Bantu aku menangkap ayam-ayam ini biar cepat selesai” kataku dengan kesal.
“Capek!” sahut Ani yang duduk di kursi plastik.

Di tengah rasa kesal tiba-tiba mati lampu. Aku semakin kesal dan takut. Ayam belum semuanya tertangkap. Karena mati lampu malah ayam tidak melihat dan memudahkanku untuk menangkap dan memasukkannya ke dalam kandang.

Aku bergegas pulang. Rasa takut membuat  aku dan Ani menangis melintasi jalan sepi tanpa penghuni.

“Mestinya Kakak menjemput kita” kataku memecah kesunyian.

“Kalau Kakak tidak menjemput, aku akan memusuhi dia selamanya” tegas Ani.

Setelah beberapa langkah, kakaku datang menjemput. Kakakku tertawa melihatku menangis. Kami segera naik di motor.

“Ani akan memusuhimu selamanya andai kau tak datang menjemput” kataku pada Erwin kakakku.

Erwin tertawa mendengarnya. “Kau boleh memusuhiku selamanya.”

Sesampai di rumah, aku segera turun dari motor dan malu masuk ke dalam rumah karena mataku yang masih merah sehabis menangis.

“Masuk saja tak usah malu-malu” Kata Erwin.

Aku masuk melewati pintu belakang dan sebelum masuk ke ruang tengah tempat dimana para teman-teman jamaah bapaku berkumpul untuk makan malam bersama, aku terlebih dahulu cuci muka dan berwudhu untuk membersihkan wajahku.

“Lewat saja” seru tanteku ketika aku berdiri mematung di depan pintu.

Aku bergegas masuk kamar dan mentupnya rapat-rapat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar