GERIMIS PETANG
Nursitiana
Hari yang ditunggu telah tiba. Ayahku hendak
berangkat umroh. Semua keluarga berkumpul di rumah untuk mengantar bapakku tak
terkecuali nenekku yang ikut larut dalam rasa bahagia.
Karena semua
berkumpul di rumahku untuk menghadiri syukuran, tak ada yang mengurusi ayam dan
itik peliharaan nenekku. Aku dan Ani adikku disuruh untuk pergi mengurusi ayam dan itik nenekku.
Sebenarnya aku ragu
dengan suruhan nenek karena senja itu hujan gerimis tapi mau apa lagi tak ada
pilihan lain agar nenekku tidak kecewa.
Karena gerimis, aku
harus mencari payung yang hilang dari tempat bisanya. Aku mulai kesal. Akhirnya
Ani yang menemukan payung tersebut di
belakang rumah.
Karena takut
kemalaman, aku mempercepat langkah. Kerepotan juga dengan payung berukuran
besar. Dalam perjalanan, ada orang gila duduk di pintu masuk sebuah rumah
panggung. Aku tak sengaja melihatnya. orang gila itu tersenyum dan melambaikan
tangan padaku. Karena takut, aku dan Ani berlari sekuat tenaga. Nafasku turun
naik berlari melintasi alun-alun.
Sambil berlari di
tengah alun-alun, rasa takut berganti rasa malu ketika aku sadar kalau ternyata
banyak anak alki-laki bermain bola memperhatikan aku berlari. Aku menunduk
menutupi wajahku dengan payung hingga aku sampai di rumah nenekku yang tak jauh
dari alun-alun itu.
Aku kelelahan
berjalan jauh. Ani beristirahat di
belakang rumah sambil melihat-lihat aku memasukkan semua itik ke kandangnya.
Setelah itu aku berdua menangkap satu persatu ayam yang masih kecil karena
belum bisa masuk sendiri ke kandangnya.
Azan magrib sudah
berkumandang. Hari semakin gelap. Aku merasa cemas karena ayam belum tertangkap
semua. Ayam masih berlari kesana kemari aku marah pada Ani karena tidak
membantu menangkap ayam.
“He! Bantu aku menangkap ayam-ayam ini biar
cepat selesai” kataku dengan kesal.
“Capek!” sahut Ani
yang duduk di kursi plastik.
Di tengah rasa kesal
tiba-tiba mati lampu. Aku semakin kesal dan takut. Ayam belum semuanya
tertangkap. Karena mati lampu malah ayam tidak melihat dan memudahkanku untuk
menangkap dan memasukkannya ke dalam kandang.
Aku bergegas pulang.
Rasa takut membuat aku dan Ani menangis
melintasi jalan sepi tanpa penghuni.
“Mestinya Kakak
menjemput kita” kataku memecah kesunyian.
“Kalau Kakak tidak
menjemput, aku akan memusuhi dia selamanya” tegas Ani.
Setelah beberapa
langkah, kakaku datang menjemput. Kakakku tertawa melihatku menangis. Kami
segera naik di motor.
“Ani akan memusuhimu
selamanya andai kau tak datang menjemput” kataku pada Erwin kakakku.
Erwin tertawa
mendengarnya. “Kau boleh memusuhiku selamanya.”
Sesampai di rumah,
aku segera turun dari motor dan malu masuk ke dalam rumah karena mataku yang
masih merah sehabis menangis.
“Masuk saja tak usah malu-malu” Kata Erwin.
Aku masuk melewati
pintu belakang dan sebelum masuk ke ruang tengah tempat dimana para teman-teman
jamaah bapaku berkumpul untuk makan malam bersama, aku terlebih dahulu cuci
muka dan berwudhu untuk membersihkan wajahku.
“Lewat saja” seru
tanteku ketika aku berdiri mematung di depan pintu.
Aku bergegas masuk kamar dan mentupnya
rapat-rapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar