Rabu, 17 Oktober 2018

Perpisahan Oleh Siska Ayu


PERPISAHAN
Siska Ayu 


Kota Palu, kota yang dilanda gempa dan tsunami  adalah kota kelahiraanku. Tiga tahun lalu setelah tamat sekolah dasar, aku pindah dari kota itu mengikuti orang tuaku ke Sinjai. Asal mula leluhurku.

Siang itu aku mengunjungi Dian, Meri dan Susan dan mengabarkan kalau nanti sore ayahku akan mengantar kita jalan-jalan ke Palu Grand Mall (PGM) sekaligus sebagai perayaan hari perpisahan

Ayahku menjemput satu-persatu temanku dan kami berangkat setelah sore. Aku duduk di depan di samping ayahku yang menyetir, dan tiga temanku duduk di kursi tengah.

Sepanjang perjalanan menuju Mall yang jaraknya cukup jauh, aku dan teman-teman sesekali selfi di Dalam mobil.

Di dalam Mall, ayahku memilih tempat parkir lantai teratas. Aku turun dan melihat-lihat  pemandangan kota Palu sore hari dari ketinggian. Sangat indah.

Setelah itu kami masuk ke Mall yang sangat ramai. Sekedar lihat-lihat saja. Lalu kami ke restouran di lantai dua dan memesan makanan kesukaan masing-masing.

Setelah keluar dari restouran kami menelusuri Mall dan melihat bermacam-macam permainan yang indah dan canggih. Kami tidak tergoda dengan permainan itu. Kami lewat saja

Tak terasa waktu sudah petang. Aku keluar dan menemui ayahku diparkiran. ternyata mobil sudah  tak ada. Aku kembali masuk ke dalam Mall dan mencari ayahku.

Setelah lama mencari, hatiku terasa lega ketika bertemu ayahku. Aku mengira kalau kami ditinggalkan ternyata ayahku sholat magrib. Kami langsung naik ke mobil dan kembali ke rumah.

Malam itu kami berkumpul di rumah Meri, temanku terbaikku sejak kecil. Teman bermain, teman curhat. Suka duka kulalui bersama.

Keesokan harinya saat aku hendak meninggalkan kota Palu aku kembali ke rumah Meri ingin melampiaskan rasa sedihku. Aku tak tega berpisah dengan teman karibku itu. Aku memohon maaf atas kesalahanku padanya dan berjanji untuk tidak saling melupakan. Kami berpelukan dalam tagis perpisahan.

Aku kembali ke rumah dengan rasa sedih yang berkecamuk dalam hati. Anatara ia dan tidak karena hari ini hari dimana perpisahan itu akan terjadi .

Bayak tetangga yang datang ke rumahku membantu membereskan barang-barang  yang hendak dibawa serta.  mesin mobil dipanaskan.  barang-barang sudah dinaikkan ke mobil. Aku semakin sedih.

                Dian Meri dan Susan datang kerumah. Aku berusaha kuat menahan air mataku ketika ia datang membawa kado buatku. Kami berpelukan,berterima kasih dan saling berbagi perasaan. 

Mama menyuruhku naik ke mobil. Dengan berat hati aku  bersalaman dengan para tetangga dan teman-teman yang hadir.

Saat itu aku tak bisa menahan air mataku untuk tidak keluar. Aku masuk ke dalam mobil dengan hati berat. Mobil bergerak perlahan. Lambaian tangan teman temanku membuat air mataku semakin deras.  Aku benar-benar pergi meninggalkan kota yang punya kenangan banyak bersama-orang-orang yang pernah membuat hidupku lebih berwarna.

Aku menggeliat dipembaringan membayangkan bagaimana keadaan temanku itu sekarang. Apakah ia sehat-sehat saja atau sebaliknya.

Gerimis Petang Oleh Nursitiana


GERIMIS PETANG
Nursitiana




Hari  yang ditunggu telah tiba. Ayahku hendak berangkat umroh. Semua keluarga berkumpul di rumah untuk mengantar bapakku tak terkecuali nenekku yang ikut larut dalam rasa bahagia.

Karena semua berkumpul di rumahku untuk menghadiri syukuran, tak ada yang mengurusi ayam dan itik peliharaan nenekku. Aku dan Ani adikku disuruh untuk pergi mengurusi  ayam dan itik nenekku.

Sebenarnya aku ragu dengan suruhan nenek karena senja itu hujan gerimis tapi mau apa lagi tak ada pilihan lain agar nenekku tidak kecewa.

Karena gerimis, aku harus mencari payung yang hilang dari tempat bisanya. Aku mulai kesal. Akhirnya Ani yang  menemukan payung tersebut di belakang rumah.

Karena takut kemalaman, aku mempercepat langkah. Kerepotan juga dengan payung berukuran besar. Dalam perjalanan, ada orang gila duduk di pintu masuk sebuah rumah panggung. Aku tak sengaja melihatnya. orang gila itu tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Karena takut, aku dan Ani berlari sekuat tenaga. Nafasku turun naik berlari melintasi alun-alun.

Sambil berlari di tengah alun-alun, rasa takut berganti rasa malu ketika aku sadar kalau ternyata banyak anak alki-laki bermain bola memperhatikan aku berlari. Aku menunduk menutupi wajahku dengan payung hingga aku sampai di rumah nenekku yang tak jauh dari alun-alun itu.

Aku kelelahan berjalan jauh.  Ani beristirahat di belakang rumah sambil melihat-lihat aku memasukkan semua itik ke kandangnya. Setelah itu aku berdua menangkap satu persatu ayam yang masih kecil karena belum bisa masuk sendiri ke kandangnya.

Azan magrib sudah berkumandang. Hari semakin gelap. Aku merasa cemas karena ayam belum tertangkap semua. Ayam masih berlari kesana kemari aku marah pada Ani karena tidak membantu menangkap ayam.

“He! Bantu aku menangkap ayam-ayam ini biar cepat selesai” kataku dengan kesal.
“Capek!” sahut Ani yang duduk di kursi plastik.

Di tengah rasa kesal tiba-tiba mati lampu. Aku semakin kesal dan takut. Ayam belum semuanya tertangkap. Karena mati lampu malah ayam tidak melihat dan memudahkanku untuk menangkap dan memasukkannya ke dalam kandang.

Aku bergegas pulang. Rasa takut membuat  aku dan Ani menangis melintasi jalan sepi tanpa penghuni.

“Mestinya Kakak menjemput kita” kataku memecah kesunyian.

“Kalau Kakak tidak menjemput, aku akan memusuhi dia selamanya” tegas Ani.

Setelah beberapa langkah, kakaku datang menjemput. Kakakku tertawa melihatku menangis. Kami segera naik di motor.

“Ani akan memusuhimu selamanya andai kau tak datang menjemput” kataku pada Erwin kakakku.

Erwin tertawa mendengarnya. “Kau boleh memusuhiku selamanya.”

Sesampai di rumah, aku segera turun dari motor dan malu masuk ke dalam rumah karena mataku yang masih merah sehabis menangis.

“Masuk saja tak usah malu-malu” Kata Erwin.

Aku masuk melewati pintu belakang dan sebelum masuk ke ruang tengah tempat dimana para teman-teman jamaah bapaku berkumpul untuk makan malam bersama, aku terlebih dahulu cuci muka dan berwudhu untuk membersihkan wajahku.

“Lewat saja” seru tanteku ketika aku berdiri mematung di depan pintu.

Aku bergegas masuk kamar dan mentupnya rapat-rapat.


Minggu, 14 Oktober 2018

LUKA BERBEKAS Oleh FAJRIANI MUS


LUKA  BERBEKAS
Fajriani Mus 

Aku sedang mengusap-usap bekas luka yang ada di lututku di teras ketika ibu muncul. Ia memperhatikan lututku sejenak lalu tersenyum.

“Kenapa di lutut saya ada bekas luka?. Aku tak ingat kejadiannya” tanyaku pada Ibu.

“Disaat kau kecil,  kau sangat nakal.” Ibu memulai ceritanya sambil duduk di kursi yang ada di sampingku.

“Umurmu belum setahun  ketiga aku mendapat undangan dalam suatu pertemuan di Kantor Bupati. Aku harus datang pada siang hari. Jadi aku memasak pagi-pagi. Aku memasak menggunakan tungku. Tidak seperti sekarang memasak menggunakan gas. Aku memasak menggunakan kayu bakar. menyalakan api menggunakan korek api, plastik dan kayu bakar.”

“Sebelum memasak aku menyuruh kakakmu menjagamu karena khawati kau mendekat ke tungku. Saat nasi sudah setengah matang, aku pergi mandi aku menyuruh kakakmu  melanjutkan masakan.

Saat kakakmu berdiri untuk melanjutkan masakanku, kau merangkak mendekati api dan menarik plastik yang sepotongnya belum terbakar.”

“Kenapa ibu tidak  mencegatku? Aku menyela.

“Aku juga tidak melihatnya”  kata ibu melanjutkan “Kau mungkin mempermainakan plastic itu dan menetes kemana-mana dan mengenai paha, tangan, betis dan lutut. Kau menangis kesakitan.”

“Dari sumur aku berteriak, kenapa Ani menangis?. Kakakku baru menyadari dan segera menolongmu.”

“Aku segera berlari menemuimu dan menyiramkan air dan membersihan sisa–sisa plastik dan  mengobatinya dengan odol dan kopi bubuk.”

Karena kau menangis terus menerus, terpaksa aku mengikutkanmu kepertemuan di kantor bupati. Kau sangat senang ikut dalam pertemuan itu. Beberapa orang yang melihatmu menanyakan kenapa terjadi demikian.

Hari-hari berlalu dan luka di tanganmu melepuh. Aku membawamu ke Puskesmas dan diberi salep. Berkat salep itu, lukamu mongering dan tidak  meninggalkan bekas  kecuali pada lututmu.”

Ibuku tersenyum ringan “Kau tak mulus lagi karena belas luka itu tidak akan hilang untuk selamanya”

Ibuku mengakhiri cerita dan meninggalkanku. Aku mengusap lututku yang berbekas hingga kini. Bekas luka ini kuanggap tanda lahir bagiku sekaligus sebagai kenangan betapa nakalnya aku dimasa kecilku.

Walau sering menjadi bahan ejekan bagi teman-temanku, aku tak perduli.  Agar tak kelihatan, aku menyiasatinya dengan memakai celana panjang atau rok panjang .

KEMENANGAN YANG TERTUNDA Oleh YUNI ARNESA


KEMENANGAN YANG TERTUNDA
Yuni Arnesa 

Jumat 17 April 2018

Pukul 09.00, aku dan teman-teman ikut kegiatan pengembangan diri. Semua siswa bebas memilih Pengembangan diri sesuai kehendak mereka. Aku, Vira, Nisa, dan Tisa mengikuti Pengembangan diri IPA yang di bimbing oleh Ibu Farida selaku guru IPA di kelas delapan.

Ikut pengembangan diri sangatlah baik karena kita bisa mendapatkan tambahan ilmu tentang yang diampu, selain itu aku tidak bosa menerima materi karena cara penyampaian materinya mudah dipahami.

 Bulan April   biasanya diadakan Olimpiade Sains Nasional tingkat SMP dan sekolah kami selalu mengutus  wakil untuk mengikuti lomba tersebut.

Aku bersungguh-sungguh mengikuti pengembangan diri itu. Siapa tahu aku terpilih mewakili sekolah.

Demikianlah kesibukan siswa pada hari JUmat. Masing-masing siswa sibuk dengan Pengembangan diri pilihannya. Ada berolah raga, menjahit dan main musik.

Bel berbunyi nyaring pertanda jam Pengembangan diri selesai. Semua siswa berbondong-bondong menuju kantin. Semua siswa berlomba-lomba untuk sampai di kantin karena siapa cepat siapa dapat. Kantinnya terbatas. Kantin yang ada di belakang kelasku, baru 5 menit jam istirahat, kantin itu sudah ramai  hingga harus berdesa-desakan dengan siswa lain.

Beraneka makanan yang tersedia di kantin itu. Aku membeli cemilan dan air minum saja karena uangku Cuma Rp.3.000 dan kusisihkan Rp.1.000 untuk kutabung.

Setelah mendapatkan apa yang hendak kubeli, aku kembali ke kelas untuk memakan cemilanku dengan duduk di bangku masing-masing. Tata tertib di sekolah melarang siswa berada di luar ruang kelas saat jam istirahat. Tetapi aku tak selalu mengikuti tata tertib tersebut karena aku malu makan di luar kelas apalagi banyak siswa laki-laki yang melihatku makan.

Saat aku baru membuka jajananku tiba-tiba ibu Farida kembali ke kelasku. Ia memanggilku bersama-teman-teman lain yang ikut Pengembangan diri IPA. Dalam pertemuan singkat itu Ibu Farida memberitahu  bahwa aku terpilih mewakili lomba OSN. Aku senang menerima tugas itu. Teman-teman memberiku ucapan selamat.

Ibu Farida menyuruhku untuk mempelajari materi IPA yang pernah kupelajari mulai dari pelajaran kelas VII sampai kelas IX. Saat ini aku baru mempelajarai materi IPA kelas VII dan kelas VIII.

Bu Farida meninggalkan kelas dan aku kembali melanjutkan memakan jajananku.
Kabar gembira ini kusampaikan kepada kedua orang tuaku. Ibuku sangat senang. Ia menyurku untuk rajin belajar dan berdoa.  Aku pun mengikuti sarannya.

Di sekolah aku dilatih dengan soal-soal OSN tahun sebelumnya. Ibu Farida menyuruhku untuk mempelajarinya. Dengan senang hati aku menerima.

Sabtu, 24 April 2018

Hari yang kutunggu tiba. Kepalaku terasa  sakit. Aku bingung. Apakah aku bisa memahami materi ini. Namun aku tak peduli kepalaku sakit. Aku tetap melajutkan belajarku. Tapi plajaran yang sudah kuhafal kembali tidak kuingat. Pelajaran yang kubaca pun tak mau tersimpan di pikiranku. Aku sangat sedih dan berpikir bagaimana nanti aku bisa mengerjakan soal jika kepalaku sangat sakit?.

 Aku tak memberitahu hal ini kepada ibuku. Aku takut ibuku khawatir kepadaku. Aku bergegas memasukkan buku dalam tasku dan berangkat ke sekolah.

Saat akan berangkat, aku lupa. Aku harus membawa foto ukuran 3x4 tapi aku tak punya. Aku mengambil HPku dan memotret diriku namun hasilnya tidak memuaskan. Gelap dan tak jelas. Aku semakin bingung dan berangkat tanpa membawa foto. Sesampai di sekolah aku memberitahu Ibu Farida kalau aku tak punya foto. Ibu Farida memotretku dengan HPnya.

Aku dan ibu Farida berangkat ke tempat lomba. Betapa tegangnya melihat banyaknya peserta lomba. Bu Farida mengantarku ke kelas dimana kelas IPA diadakan. Aku masih menyempatkan diri untuk belajar sebelum lomba dimulai. Kepalaku sakit lagi saat membaca buku. Terlintas di pikiranku semua peserta lomba ini pasti lebih pintar dariku. Mereka tentu telah belajar dengan giat sedangkan aku tak bisa membaca lama.

Bel berbunyi menandakan lomba dimulai. Soal dibagikan beserta lembar jawaban. Aku membaca basmalah sebelum membuka soal. Betapa terkejutnya aku. Tak satu pun yang sudah kupelajari.

Dengan rasa yakin dan bercampur tegang aku menjawab soal itu. Aku melirik peserta lainnya. Mereka mengerjaan soal dengan tenang sedang aku bercucuran keringat. Aku hanya menuruti kata hatiku untuk menjawab soal-soal yang belum pernah sama sekali kupelajari. Beberapa menit berlalu, aku dan peserta lainnya mengumpul kertas jawaban lalu keluar dari ruangan dengan rasa takut akan hasilnya.

Bu Farida menjemputku untuk kembali ke sekolah.

Beberapa hari berlalu Pak Anto Guru IPS mengabarkan bahwa perwakilan dari sekolah ini tak ada yang mendapat juara. Walau aku tak bakal menang, aku kecewa dan sedih. Aku pulang ke rumah membawa kabar buruk buat ibu.

“Tak apa kamu tak dapat juara yang penting kamu sudah berusaha. Mungin ini belum rezkimu” kata Ibuku.

Dari pengalaman itu, aku meningkatkan cara belajarku agar kemenanganku yang tertuda dapat kuraih pada lomba berikutnya.

KENANGAN PAHIT Oleh SRI HULDANIA


KENANGAN PAHIT
Sri Huldania


Aku melintas di sudut sekolah ketika keluar dari toilet. Kutemui Meta menangis yang ternyata merasa malu karena terjatuh pada saat pelajaran PJOK.

Aku menariknya menyudut “Tak perlu diambil hati “ kataku sambil duduk ditepian tembok. Aku juga seperti kamu. Memalukan.”

                                                             ***

Saat pertama  kali masuk di sekolah ini aku sangat kaku karena aku tak punya teman. Aku merasa aneh dan diam saja. Hari berlalu aku mulai terbiasa dan sudah mulai punya teman terutama teman sekelasku di VIId.

Tak disangka kelasku diacak dan aku pindah ke kelas VIIc otomatis temanku bertambah. Aku semkin ceria.

Hujan turun dihari Jumat. Aku terasa  bosan dan merasa sepi di keramaian teman-teman kelas. Teman-temanku bersenang-senang di teras sedang aku haya diam dan duduk di bangku sambil menunggu pelajaran. Aku mencoba menghalau kesepianku dan  bergabung dengan teman-teman sekelasku di teras. Suasana sepi yang kurasa  berubah menjadi menyenangkan. Aku menyoraki temanku bermain seluncuran di teras kelas. Mereka mengajakku tapi aku menolak. Aku merasa hari itu tidak seperti hari-hari biasanya.

Aku akhirnya setuju untuk ikut berman. Aku mencobanya. ternyata sangat licin dan membuatku merinding tetapi aku tetap suka. Aku mengulanginya lagi. Diseluncuran kedua aku tidak apa-apa sehingga memotivasiku untuk mengulanginya lagi. Aku menyuruh Tia temanku untuk berdiri di depanku dan menungguku di sana. Tapi pada saat aku berseluncuran yang ketiga kalinya kakiku tiba-tiba tidak bisa kurem. Aku semakin takut. Kakiku rasanya tidak bisa berhenti dan merasa di kakiku semakin banyak air. Tia yang berdiri di depanku menghindar karena takut tertabrak. Aku terjatuh di lantai. Kerudungku tertarik dan badanku tertindis.

Aku meluhat kesana kemari. Semua mata tertuju padaku.Aku sangat malu. Semua tertawa dan menunjuk kepadaku. Aku spontan berdiri tapi kakiku terpeleset lagi. Aku meminta tolong salah satu teman membantuku berdiri. Aku langsung berlaki masuk ke kelas.
Aku sangat sulit melupakan persitiwa memalukan itu hingga aku naik ke kelas VIII.

Di kelas VIII kelas diacak kembali hingga aku berpisah temanku dikelas VII

Acara PORSENI pun tiba. Semua bidang lomba dan pertandingan dipersiapkan dengan baik untuk meraih juara. Aku memilih lomba musikalisasi puisi bersama empat teman lainnya.

Pada saat lomba Aku lupa puisinya. Aku tidak ingat larik berikutnya. Aku sedih, gugup. Otakku teras kosong. Aku merasa sangat bersalah dipandangi banyak penonton. Aku merasa ini bukan diriku . Rasanya aneh dan sangat memalukan. Walaupun lagu yang dibawakan sangat bagus tetapi bila puisinya jelek maka kami tak akan jadi juara. Aku putus asa.

Selesai lomba kami langsung bubar dan aku rasanya ingin menagis tapi tangisku kutahan karena semua mata tertuju padaku.

Aku meminta maaf kepada teman-temanku karena gara-gara aku, tim muslikalisasi kelasku tidak juara. Aku tahu perasaan semua temanku mereka sangat kecewa dan menyesaliku.  Aku tidak merasa sedih bila mereka memarahiku karena semua itu salahku.

Peristiwa itu tidak bisa kulupakan ingga aku kelas IX. Bila teringat masa itu hatiku terasa hancur dan merasa bahwa aku memang mengecewakan. Tetapi walau itu sudah terjadi aku tidak ingin bila Porseni selanjutnya seperti itu lagi. Bila aku memilih lomba yang yang kuikuti aku akan benar-benar berlatih dan tidak akan mengecewakan  teman-temanku lagi.

Di kelas IX  barulah aku mempelajari musikalisasi puisi. Saya semakin terharu jika mengingat Porseni tahun lalu yang mengecewakan. Aku harus terus berlatih. Teman-temanku juga sering menyanyikan lagu yang pernah dibawakan waktu Porseni. Air mataku mengalir mengenang peristiwa memalukan itu. Aku tak mungkin mengulngi hal itu.

Tugas bahasai Indonesia pun tiba. Kami disuruh untu membuat musikalisasi puisi. Masa itu teringat dan terkenang kembali. Kami dibagikan puisi oleh ibu guru. Aku dan temanku berlatih dan berlatih. Aku tak ingin mengecewakan temanku lagi.

Hari penampilan pun tiba kelompokku tempil pertama. Aku berdebar dan merasa kaku karena kami di shooting sedangkan aku tak biasa dengan perekam seperti itu. Walau aku tak terbiasa, aku harus mencoba tampil baik di depan kamera. Aku berusaha tenang agar tak merasa kaku lagi.  Pada saat tampil, semua berlajalan lancar.. aku tersenyum puas.

Sepulang sekolah, diperjalanan kuceritakan pada adik kelasku Ria dan Tina. Mereka sangat tertarik mendengarnya dan ingin segera sampai pada pelajaran itu.

Dirumah aku menceritakan hal yang sama pada ibuku. Aku sangat senang dan sangat ingin melepaskan semua rasa takutku. Aku merasa sangat beruntung bahwa di kelas IX ternyata dipelajari tentang Musikalisasi Puisi yang bisa melatih diri menjadi lebih baik dan lebih berani. Oleh karena itu aku berjanji untuk tidak jatuh ke lubang yang sama. Aku berjanji akan menjadi juara musikalisai puisi pada Porseni yang akan datang dan tidak mengecewakan semua orang terutama teman-teman dan wali kelasku. Aku akan jadi idolah di kelasku.
                                                                      ***
“Terima kasih,Kak. Aku akan baik-baik saja” Kata Meta bangkit berdiri mengusap wajah dan merapikan bajunya.

Lonceng tanda istirahat berakhir. Aku dan Meta berpisah di lorong sekolah

SIAL Oleh IZZA KARIMA

SIAL
Izzah Karima 

Udara pagi terasa tenang dan sejuk.  Ima berjalan ke sekolah dengan temannya Yuni dan Ningsih. Mereka berjalan sambil berbincang-bincang tentang tugas PR matematika yang dikerjakannya hingga larut malam.

Pagi itu seperti biasa banyak kendaraan berlalu lalang mengantar anak sekolah. Sambil bercerita tiba-tiba Ima baru sadar kalau ia lupa mengenakan dasi.

Ima berhenti “Tunggu di sini ya. Aku pulang dulu. Aku lupa pakai dasi” kata Ima sambil balik berlari.

Dalam perjalanan kembali dari rumah untuk menemui temannya, Ima kembali berlari. Dari kejauhan ada suara motor yang sangat keras. Tanpa knalpot rupanya. Ima tetap berlari tanpa memperhatikan jalan karena  melihat jam sudah hampir pukul 07.15. tanpa sadar, motor ugal-ugalan itu menyambar Ima. Ima berteriak “Mama!”

Ima terjatuh tanpa ada yang melihatnya. Pengendara motor ugal-ugalan itu pergi begitu saja.

Ima menangis di tengah jalan. Ia tak bisa berdiri karena tangannya berdarah dan kakinya tegores aspal.

Detik berjalan terasa lambt,  tetangga Ima melihat kejadian itu “Kenapa? Tanya orang itu.

“Saya tersambar motor Bu”

“Ayo, sini, saya bantu berdiri”  kata ibu itu sambil menarik Ima berdiri lalu diantar pulang ke rumahnya.

“Aku jatuh Mak!” teriak Ima setelah sampai di depan rumah.

“Dinama?” Tanya ibu dengan penuh khawatir.

“Di depan rumah orang kata Ima dengan lebai.

Ibu Ima mengobati luka di kaki dan tangan Ima.

“Pelan-pelan dan hati-hati kalau berjalan “ Nasihat ibu Ima sambil menggosokkan obat merah.  Ima meringis kesakitan.

Sehari berlalu, luka di kaki dan tangan Ima sudah membaik. Ima ke sekolah dengan naik motor sendiri karena kedua temannya pergi duluan. Yuni dan Ningsih buru-buru pergi karena tugas piket. Dalam perjalan ke sekolah Ima melewati jalan menikun yang ditumbuhi pohon jati kiri dan kanannya. Bebera biji buah jati jatuh di pagi itu. Tak sengaja Ima menginjak biji jati itu. Suara letusan buah jati membuat kaget dan Ima hampir terjatuh. Untung motornya bisa dikendalikan.

Sesampai di sekolah Ima memarkir motor di area parkir lalu berjalan menuju  kelasnya dengan santai melintasi halaman sekolah. Tiba-tiba sebuah bola baskel melenting di kepala Ima.

”Aduuuuh..! siapa yang melempariku bola” kata Ima sambil memegang kepalanya menahan sakit. Melihat kesana kemari tak ada yang bertanggungjawab. Ima kesal.

“Eh, sudah sembuh” kata Citra ketika Ima memberi salam di pintu masuk.

Bel tanda masuk berbunyi dan memulai pelajaran dengan matematika. Gurunya agak galak dan membosankan. Hingga jam pelajaran berakhir Ima menjalani harinya dengan kesal, galau.

Di parkiran menjelang pulang,  terdengar suara yang memanggil “Ima!”

Ima mendongak. Entah siapa yang memanggil.  Ima berbalik ke belakang dn ternyata yang memanggil wali kelasnya. Di atas motor Ima turun untuk menemui Ibu guru dan tiba-tiba motor Ima terjatuh.  Lupa standar sampingnya.

Sial!

Rabu, 10 Oktober 2018

PANIK oleh ASTIA RUSTAM


PANIK
Astia Rustam


Tita bersama keluarganya sedang berada di pesta pernikahan. Mereka bersenda gurau berfoto dengan sanak keluarga. Suasana seketika berubah saat Tita membuka HPnya. Ia dikejutkan dengan pesan dari sahabatnya Lita.

Karena panik, Tita membuka akun facebooknya dan segera mencari informasi tentang gempa yang melanda  kampong sebelah. Beranda facebooknya dipenuhi status tentang gempa dengan sakal 3,1 sr pada kedalaman 36 km di bawah laut.

Berita itu membuat kepanikan luar biasa. Membayangkan jika kampungnya terjadi seperti yang melanda Kota Palu pekan lalu. Tita mencoba menenangkan pikiran tapi suara Tante Tini menambah kepanikan.

Astagfirullah… jadi bagaimana? Kata tante Tini yang sedang menelepon.

“Besarkan suaranya Tante”  Minta Tita yang sedang berdiri menguping di sampingnya.
“Semua orang pergi mengungsi tapi ayahku masih cari informasi.” Kata Kak Wil di seberang sana.

“Kenapa tidak langsung mengungsi saja” Kata Tante Tini dengan suara yang semakin keras.

“Jangan panik dulu Tante Kata Kak Wil menenangkan.

“Jadi Ibu dan Keponakanku dimana?” Kata Tante Tini.

“Mereka sudah ada di sini. Kami masih mencari informasi dari desa sebelah” kata Kak Wil lagi.

“Jaga diri kalian ya Nak!” kata Tante Tini dengan suara serak karena menangis.

Tita tambah panik. Semua hal buruk telah ia bayangkan.

“Tante,  bagaimana ini?” Tanya Tita pada Tante Tini.

“Tenang, Nak. Jangan panik” Kata Tante Tini dengan mencoba menenangkan kepanikannya.

“Pak, Bagaimana ini” TIta beralih Tanya pada ayanya.

“Tenang Nak Bapak sholat dulu, ya.”

Ayah  dan Kakek Tita pergi sholat. Tita mengalihkan perhatiannya dengan mencari ibunya dikerumunan pesta.

“Mak!” Teriak Tita setelah menemukan bunya.

“Kabarnya ada gemba.. bagaimana kalau kita pergi mengungsi di rumahnya Kak Masni. Rumahnya kan di  atas gunung” Usul Tita.

“Jangan dulu Nak”Kata Ibu Dewi.

Mereka sekeluarga meninggalkan pesta dan berkumpul di ruang keluarga.

“Kakek, Kita mengungsi” Kata Tante Tini

“Jangan dulu..”

Jawaban Kakek membuat Tante Tini kesal.

Berselang beberapa detik, HP Tante Tini kembali berdering.

“Bagaimana di sana?” Kata tante Tini setengah berteriak.

“Tidak taulah ini karena  kabarnya air sudah naik di desa sebelah” Kata Kak Wil.

“Pergilah segera mengungsi, Nak”  Tante Tini semakin panik.

“Baiklah” Jawab Kak Wil.

Dalam kepanikan,  tiba-tiba seorang pengendara motor yang mengungsi menyampaikan berita terbaru “Air sudah naik di desa sebelah” katanya berteriak sambil berlalu.

“Ma!” teriak Tita dengan menangis.

Ibu Dewi sibuk mengemasi barang-barangnya dan memasukkannya dalam tas. Para tetangga sudah  mengungsi.

Tita dan keluarga sudah bergegas pergi.

“Hei tunggu!”Kata Nenek Intan  yang masih berada di dalam rumah.

Hei Nenek,Cepat!” Kata Ifa.

Semua berdiri di pinggi jalan menunggu nenek Intan keluar. Tiba-tiba mobil Pemda melintas dan berkata “Jangan Panik”.

Tak ada yang perduli dengan  himbauan itu. Semua berbondong-bondong menuju pebukitan tanpa memperdulikan penampilan lagi.

Tante Tini diantar duluan dengan naik motor menyusul giliran Nenek Intan dan Tita.
Ternyata ibu Dewi tidak ikut mengungsi.

Sudahlah Nak, Mama kamu tidak apa-apa ‘Kata Tante Tini menenangkan Tita yang terus menerus menagis karena ibunya tidak ikut mengungsi.

Suasana dipengungsian sangat ramai. Orang-orang mendatangi kampung itu karena terletak di atas  pebukitan. Yang punya sanak keluarga mengunjungi keluarganya dan yang tidak punya keluarga berkumpul di Masjid dan Sekolah.

Pukul 02.00  dini hari  kakek muncul dan membawa berita kalau berita yang beredar hanya HOAKS. Tita berusaha menenangkan diri dan tidur karena besok harus masuk sekolah.

Masa-masa di Sekolah Dasar oleh Mazifatul Qalbi

Masa-masa di Sekolah Dasar
Nazifatul Qalbi 

Di masa kecilku aku punya teman bernama Retya Citra. Dipanggil Citra. Dia teman terbaikku. Aku berteman mulai dari PAUD sampai sekarang.

Diwaktu SD, aku selalu bermain bersama, pergi sekolah bersama-sama dan pulang pun bersama-sama.

Jika kupulang bersama, dijalanan kuceritakan hal lucu. pernah aku menceritakan sebuah serial sinetron yang berjudul “Tukang Bubur Naik Haji”. Kuceritakan seseorang yang berperan sebagai Pak Tebong.

Saat kusebutkan Pak Tebong, Citra tertawa terbahak-bahak sampai-sampai ia tidak bisa menahan tawanya selama tiga hari tiap kali menyebut nama Pak Tebong. Ia selalu memintaku menceritakan peran Pak Tebong tiap kali jalan bersama.

Sewaktu kelas 4 aku satu kelas dengan Jihan, Ines,Isti, Nining dan Tari.

Jihan adalah siswa terpandai di kelasku. Ines dan Isti sama-sama punya prestasi dalam mata  pelajaran matematikan dan Bahasa Indonesia. Aku senang  punya teman seperti dia.

 Bulan Oktober  terjadi pertengkaran antara Citra dan Jihan.

Dia bertengkar karena dalam persahabatan Jihan membentuk nama persahabatan, yaitu INJI yang berarti Ines,Nining, Jihan, Isti.  Citra sangat tertekan dia merasa bahwa dirinya tak dianggap teman mereka karena namanya tidak tercantum dalam nama grup itu.

Jihan dan Citra adu mulut.  Aku menarik Citra agar tak terjadi pertengkaran lagi.

"Tak usah diambil hati. Namaku juga tidak tercantun dalam grup itu” kataku pada Citra.

Citra menerima usulku tapi Jihan menganggapku memihak pada Citra. Akibatnya, pertemananku dengan Jihan hancur.

Aku pun berteman bersama Citra apapun masalahnya  aku tidak akan pernah menghapus Citra dari daftar persahabatanku.

Seminggu berlalu setelah pertengkaran keduanya masih saja tidak aku. Aku pernah berkata kepada Citra aku tak akan menemani dia kalau bukan dari perintahnya.

Citra memberitahu ibunya kalau dia bertengkar dengan Jihan karena Citra menganggap dirinya tidak dihargai. Ibu citra sangat marah. Ibu Citra menelepon Jihan dan memarahinya begitu pula dengan Ines dia pun ikut dimarahi oleh Ibunya Citra.

Menjelang libur Citra mengabariku kabar kalau dia hendak ke Balikpapan. Citra meminta izin pada Ibu Wali Kelas untuk perjalanan seminggu.

Hari Minggu citra pergi hari Senin, aku sendirian tidak ada yang menemaniku. Tapi mungkin Jihan, Ines dan Nining kasihan kepadaku. Dia menemuiku.  Aku berteman kembali dan meminta maaf pada mereka. mereka memaafkanku.

“Jangan beritahu Citra kalau kita sudah berteman kembali” Bisik Jihan.

Seminggu setelah Citra pergi ke Balikpapan dia pun kembali pulang dengan membawa oleh-oleh untukku. Cemilan dan ikat rambut  yang sama dengan miliknya. Dua hari setelah Citra pulang, Citra kembali berteman dengan Jihan, Nining, Ines dan Isti. Aku tidak tahu bagaimana awal mulanya. Hatiku sangat senang melihat mereka akur kembali. Setelah itu kami semua menghitung berapa hari kami tidak berteman. Ternyata satu bulan.

Kami berpegangan tangan dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.

Di kelas 6,  wali kelasku bernama Pak Rasyid. Pak Rasyid adalah ayahnya Jihan Nabila Isma. Saat ada lomba Olimpiade  Sains Nasional, Ines terpilih lomba Olimpiade Matematika dan Jihan Lomba IPA. Jihan berhasil keluar sebagai juara II dan Ines sebagai juara I. Ines mewakili kabupaten dalam Lomba Matematika.

Kami ikut senang dengan prestasi kedua temanku itu.

Sambil duduk-duduk di bawah pohon ketapang di sudut pekarangan sekolah, kami saling berbagi perasaan kalau tak lama lagi akan berpisah, kami sedih sekaligus senang menunggu pelaksanaan Ujian Nasional.

Lama  hari kujalani, hari Ujian Nasional pun tiba. Kujalani ujian dengan bersungguh-sungguh dan hasilnya kami semua lulus. Aku senang tapi aku pun sedih karena akan berpisah dengan teman-teman. Aku senang punya teman seperti mereka, saling membantu, saling menghargai satu sama lain.

            Hari perpisahan tiba, kami sedih, kamu berpelukan dan berjanji untuk tidak melupakan masa-masa indah di sekolah ini, buatlah jadi kenangan karena ini tidak akan pernah terulang kembali . aku menangis terseduh. Kami bersalaman kepada Bapak dan Ibu Guru dan berpamitan.

MAIN BOLA oleh RIZAL


MAIN BOLA
Rizal 


Pagi hari burung- burung beterbangan dan bernyanyi. Sambil bersiul menikmati udara segar  aku pergi mandi. Reski, Mus, Adil dan Boi sudah menunggu di depan rumah untuk pergi memancing di sungai.

Aku bersama-sama pergi menggali cacing untuk dijadikan umpan lalu berangkat dengan penuh semangat memperoleh ikan yang banyak. Tapi pada saat kami sampai ternyata sudah ada yang mendahului karena pergi lebih awal dari kami. Ternyata itu si Noval yang sombong dengan teman-temannya

“Hai Noval kenpa kamu maamancing di sini?”  kata Reski.

“Memangnya kenapa kalau saya memancing di sini? Kalau mau kita berkelahi saja untuk memperebutkan tempat ini.” Kata Novel sambil berdiri.

“Pasti saya yang menang karena kau lemah dan kurus dan kau Riski, bukanlah tandinganku”
Saya sangat kesal  dan mencoba menyabarkan hati.

“Ayo Reski kita pergi saja tak usah dipeduli” kataku sambil menarik tangan Reski.

“Pergi sana! Saya juga tak mau melihat wajah kalian” usir Noval.

Kami mengalah dan mencari tempat yang lain untuk memancing.

siang hari udara sangat panas. Tak sedikit pun awan menghalangi matahari untuk memanggangku dan membuatku lebih coklat lagi.

Aduh udaranya sangat panas, kita pulang saja” Kaluh Mus.

“Baiklah, kita pulang saja baru kita pergi berenang di sungai” kataku

Setelah agak penat bermain-main dan berenang  di sungai, muncul lagi si Noval dan kawan-kawannya. Ia kembali mengusir kami sambil melemparkan batu ke sungai.

“Hei kalian semua! Ayo naik, saya mau berenang” Teriak Noval dari pinggir sungai.

“Kalau mau berenang, berenang saja. Tak usah mengusir kami” si Riski menantang..

“Kamu menantang saya?” Noval kembali berteriak.

“Hei, hei tak usah bertengkar Riski. Kita pulang saja. Ini kan sudah sore lebih baik kita pergi bermain bola.” Ajak si Boi.

Sedang asyik-asyiknya bermain bola muncul si Noval menantang kami untuk bertanding.

“Hei kurus! Ayo kita bertanding lima lawan lima” Tantang si Noval.

“Kalau mau menatang-menantang saja tak usah mengejek saya” kata reski dengan marah.

“Oke, oke tak usah marah. Sudah sore tak ada mobil pemadam untuk memadamkan kemarahanmu itu.

Reski mengalah “Baiklah, kalau begitu yang kalah jangan menagis” kata Reski dengan menantang.

Bertandingan  berjalan seru. Lima lawan lima. Setelah aku mencetak gol Noval berteriak “Opside!”

“Hei, apa yang Opside. Dasar curang!” kata Reski.

“Memangnya kenapa. Kamu ingin mengajak saya berkelahi?” tantang Noval tak mau kalah.
Keduanya saling mengejek dan akhirnya bertengkar.

Kami berusaha melerai tapi tak berhasil. Untungnya Pak Edi melihat kejadian itu. Ia pun melerai keduanya “Kenapa bertengkar? Sudah! Sudah. Persoalan sedikit saja dipertengkarkan”

Reski dan noval menangis.

“Kita bertanding lagi besok pagi” teriak Pak Edi “Aku jadi wasitnya.Yang kalah meminta maaf pada yang menang”.

Kami semua setuju dan pulang ke rumah masing-masing..

Pagi hari setelah kami berkumpul di lapangan, pertandingan dimulai. Pak Edi jadi wasitnya. Reski dan Noval bermain dengan adil dan jujur karena Pak Edi yang mengawasinya. Kedudukan terakhir 3-2 untuk tim Reski. Kami bersorak gembira.

 Dengan berat hati si Noval menerima kekalahannya. Kami saling bersalaman dan memaafkan.

“Reski, maafkan saya karena sudah meremehkanmu karena kamu kurus. Ternyata prasangka saya salah. ternyata kamu lincah bermain bola” kata Noval dengan menunduk malu. Tak berani menatap wajah Reski.

“Baiklah, saya memaafkan kamu asal kamu tidak mengejek saya dan seluruh teman saya.” Kata reski “Mulai saat ini kita bertemanan.”

Keduanya berpelukan.

Kami melanjutkan permainan bola tanpa persaingan lagi. Noval dan Reski sudah akrab dan saling bercanda-canda. Saya sangat senang karena tidak ada lagi masalah dan permusuhan di Tim kami. Hari mulai gelap saya dan teman pulang ke rumah masing-masing dan pergi membersihkan badan di sumur.

Malam hari saya menceritakan semua kejadian hebat dari kemarin hingga sore ini. Ibu saya tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku.

Aku pergi tidur dengan rasa senang karena besok kami dapat memancing berenang dan bermain bola bersama mengisi hari libur  tanpa ada permasalahan lagi.