BERDARAH
F a r d i
Kuawali pagi seperti biasa dengan melihat sapiku yang
kutambatkan di sawah. Mentari pagi menyinari padi yang menguning. Saya memdekati sapi dan memberinya makan.
Padi yang mulai menguning harus kusemprot dengan
pestisida.agar tidak terserang hama. Saya mengambil air dan mencampurnya dengan
obat-obatan lalu menyeprotnya dengan tuntas.
Tak perlu istirahat lama, aku mengambil sabit dan karung
lalu mencari rumput. saya memasang sarung tangan ketika nenekku melintas.
“Hati-hati, jangan sampai sabit mengenai tanganmu” tegur
nenekku.
“Iya,Nek. Saya akan berhati-hati”.
Matahari semakin panas, saya terus menyabit rumput biar
karung cepat penuh.
Ketika karung yang berisi penuh rumput hendak kuangkat,
tiba-tiba saya terpeleset jatuh. Sabit yang saya pegang jatuh duluan dan tak
sengaja saya menginjaknya. Kaki saya kesemutan. Sabit tertancam di kakiku. Saya
mencoba melepaskannya tapi sangat keras tanjacapannya.saya mencoba sekali lagi
agar saya bisa berjalan. Airnya sabit tersebut kulepaskan dari kaki saya.
Darah merah mengalir seperti air. Sakit luar biasa. Saya
menangis mencaba berdiri tapi tidak kuat.
Saya tidak menyerah. Saya tak mau mati di sini. Sekali lagi
saya mencoba berdiri dan berjalan. Sakit di kakiku tak dapat kutahan tapi saya
terus berjalan. Darah terus mengalir hingga saya sampai di rumah.
Di rumah tak ada orang. Saya mengikat kaki saya dengan kain
agar darahnya tidak keluar tapi tidak menolong. Darah tetap keluar. Saya pusing
dan mencoba berteriak. Saya tak sanggup berteriak. Badanku kesemutan mungkin
darah di tubuhku kian berkurang. Saya Cuma berdoa dan bersabar menunggu kalau
ada orang lewat.
Risman, temanku datang dan memanggilku dari halaman,
“Risman, tolong saya”
teriakku.
Risman mendekat tapi karena melihat banyak darah berceceran,
Risman jadi takut. Ia berlari meminta pertolongan.
Orang-orangpun datang melihat saya lalu memberikan obat agar
darah bisa bertahan. Mungkin darah dalam tubuh saya sisa sedikit. Saya tidak
bisa bergerak lagi, sulit berbicara. saya lemas.
Saat itu bulan puasa. Kedua orang tuaku ke Sulawesi Tenggara
menjenguk kakakku. Om Rusli, adik ibuku menelepon ayahku memberitakan kalau
saya kena sabit. Ibuku menangis dan berangkat pulang.
Kakak saya yang kutemani di rumah, datang membawa Tante Yuli
seorang perawat. Ia langsung mengimpus saya.\ agar cairan dalam tubuh saya
terganti Lima botol cairan habis.
Tante Yuli memeriksa kakiku “Kaki kamu harus dijahit”
Di rumah sakit, kaki saya dicuci bersih dan diberi obat
pembersih. Saya diantar ke ruangan lain. Kakiku disikat sampai ke dalam lukanya
agar tak ada kotoran yang tertinggal. Petugas lalu menggunting daging kakiku
yang sudah mati. Lalu kaki saya disuntik agar pada saat dijahit, tidak terasa
sakit.
Proses jahit pun dilakukan. Kakiku tetap saja sakit.saya
meringis kesakitan dan mencoba bertahan sekuat tenaga. Akhirnya selesai juga.
Saya lega.
“Butuh waktu lama untuk kakimu bisa sembuh karena jahitannya
banyak. 45 jahitan” kata petugas.
Saya tidak menyangka sebanyak itu jahitannya. Saya
tercengang.
Saya dipindahkan keruangan lain “saya beri cairan infus
“Kata petugas “kalau cairan ini habis, kau boleh pulang. Tapi ingat kakimu
tidak boleh digerakkan.
Ketika kembali lagi ke rumah sakit untuk pergantian perban,
jahitan kakiku ada yang putus. Harus dijahit lagi. Aku tidak mau karena sakit
sekali.
Saya kembali kerumah Kuhabisi hari-hari di bulan puasa hanya
di rumah saja. Banyak keluarga yang datang membesukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar