Minggu, 11 Oktober 2015

CERPEN KARYA SISWA SMPN 4 SINJAI TIMUR


BERDARAH
F a r d i
 
             Kuawali pagi seperti biasa dengan melihat sapiku yang kutambatkan di sawah. Mentari pagi menyinari padi yang menguning. Saya  memdekati sapi dan memberinya makan.

            Padi yang mulai menguning harus kusemprot dengan pestisida.agar tidak terserang hama. Saya mengambil air dan mencampurnya dengan obat-obatan lalu menyeprotnya dengan tuntas.

          Tak perlu istirahat lama, aku mengambil sabit dan karung lalu mencari rumput. saya memasang sarung tangan ketika nenekku melintas.

         “Hati-hati, jangan sampai sabit mengenai tanganmu” tegur nenekku.

        “Iya,Nek. Saya akan berhati-hati”.

         Matahari semakin panas, saya terus menyabit rumput biar karung cepat penuh.

       Ketika karung yang berisi penuh rumput hendak kuangkat, tiba-tiba saya terpeleset jatuh. Sabit yang saya pegang jatuh duluan dan tak sengaja saya menginjaknya. Kaki saya kesemutan. Sabit tertancam di kakiku. Saya mencoba melepaskannya tapi sangat keras tanjacapannya.saya mencoba sekali lagi agar saya bisa berjalan. Airnya sabit tersebut kulepaskan dari kaki saya.

         Darah merah mengalir seperti air. Sakit luar biasa. Saya menangis mencaba berdiri tapi tidak kuat.
Saya tidak menyerah. Saya tak mau mati di sini. Sekali lagi saya mencoba berdiri dan berjalan. Sakit di kakiku tak dapat kutahan tapi saya terus berjalan. Darah terus mengalir hingga saya sampai di rumah.

       Di rumah tak ada orang. Saya mengikat kaki saya dengan kain agar darahnya tidak keluar tapi tidak menolong. Darah tetap keluar. Saya pusing dan mencoba berteriak. Saya tak sanggup berteriak. Badanku kesemutan mungkin darah di tubuhku kian berkurang. Saya Cuma berdoa dan bersabar menunggu kalau ada orang lewat.

          Risman, temanku datang dan memanggilku dari halaman,

         “Risman, tolong saya” teriakku.

          Risman mendekat tapi karena melihat banyak darah berceceran, Risman jadi takut. Ia berlari meminta pertolongan.

        Orang-orangpun datang melihat saya lalu memberikan obat agar darah bisa bertahan. Mungkin darah dalam tubuh saya sisa sedikit. Saya tidak bisa bergerak lagi, sulit berbicara. saya lemas.

        Saat itu bulan puasa. Kedua orang tuaku ke Sulawesi Tenggara menjenguk kakakku. Om Rusli, adik ibuku menelepon ayahku memberitakan kalau saya kena sabit. Ibuku menangis dan berangkat pulang.

       Kakak saya yang kutemani di rumah, datang membawa Tante Yuli seorang perawat. Ia langsung mengimpus saya.\ agar cairan dalam tubuh saya terganti Lima botol cairan habis.

          Tante Yuli memeriksa kakiku “Kaki kamu harus dijahit”

         Di rumah sakit, kaki saya dicuci bersih dan diberi obat pembersih. Saya diantar ke ruangan lain. Kakiku disikat sampai ke dalam lukanya agar tak ada kotoran yang tertinggal. Petugas lalu menggunting daging kakiku yang sudah mati. Lalu kaki saya disuntik agar pada saat dijahit, tidak terasa sakit.

         Proses jahit pun dilakukan. Kakiku tetap saja sakit.saya meringis kesakitan dan mencoba bertahan sekuat tenaga. Akhirnya selesai juga. Saya  lega.

         “Butuh waktu lama untuk kakimu bisa sembuh karena jahitannya banyak. 45 jahitan” kata petugas.
          Saya tidak menyangka sebanyak itu jahitannya. Saya tercengang.

         Saya dipindahkan keruangan lain “saya beri cairan infus “Kata petugas “kalau cairan ini habis, kau boleh pulang. Tapi ingat kakimu tidak boleh digerakkan.

         Ketika kembali lagi ke rumah sakit untuk pergantian perban, jahitan kakiku ada yang putus. Harus dijahit lagi. Aku tidak mau karena sakit sekali.

        Saya kembali kerumah Kuhabisi hari-hari di bulan puasa hanya di rumah saja. Banyak keluarga yang datang membesukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar