SESAL
Syatrawati/IXc
Jam menunjukkan pukul 6.30 ketika aku terbangun pagi
itu. Kubuka jendela dan membiarkan angin sejuk memasuki kamarku. Kuhirup udara
segar dalam dalam sambil menikmati aroma embun pagi dan sinaran matahari lembut
menyinari tubuhku.
Hari ini hari Jumat, hari dimana diadakan Senam
Kesegaran Jasmani sebelum pelajaran dimulai. Aku harus berangkat lebih pagi
dari biasanya Aku bergegas ke kamar
mandi, mengenakan baju olahragaku dan
berlari ke sekolah.
Bel berbunyi ketika aku sampai di pintu gerbang
sekolah. Aku meletakkan tasku di depan kelas untuk ikut SKJ. Hari ini tidak seperti biasanya. Semua siswa
kelas VII dan VIII memakai baju pramuka. Hanya
kelas IX yang mengenakan baju olah raga.
Setelah SKJ, guru olahraga mengumumkan kalau pada setiap
hari Jumat dan Sabtu, siswa mengenakan
pakaian pramuka kecuali siswa yang hari itu berolahraga yang diperkenankan
memakai baju olahraga.
Aku panik sejenak, aku tak punya baju pramuka dan pada
hari Sabtu aku tidak ada pejaran olahraga. Bagaimana ini.
Sabtu pagi, sebagian besar temanku sudah memakai baju
pramuka dan sebagian lagi masih memakai baju putih biru seperti biasanya. Semua
sudah punya rencana untuk membeli paling lambat besok Minggu. Aku diam saja tak
bergeming.
Seminggu berlalu tak terasa dan sebelum ke sekolah hari Kamis itu, aku langsung menyuruh
ibu membelikanku baju pramuka dan mengatakan kalau tidak dibelikan baju
pramuka, aku tak akan kesekolah.
”Iya, nanti ibu belikan tapi nanti setelah lebaran.”
bujuk ibuku.
“Baju pramukanya dipakai Jumat besok” aku merengek.
Ibu terdiam.
“Pokoknya aku tak mau kesekolah kalau tidak punya baju
pramuka. Besok harus ada baju pramuka” kataku memaksa.
“Kepalaku sakit. Ibu tidak bisa ke pasar. Bagaimana
kalau hari Minggu setelah lebaran” ibu membujukku tapi aku tidak menanggapinya.
Ibu pun memaksakan diri ke pasar untuk membelikanku
baju pramuka. Kulihat ia sudah jauh berjalan membawa keranjang belanjaannya ketika
aku meninggalkan pekarangan dan berlari
ke sekolah.
Sepulang sekolah ayah mencegatku di pintu.
“Ibumu belum pulang dari pasar” keluh Ayahku
Firasatku buruk . “Apakah barang belanjaan ibuku
hilang?”
Aku mencoba menenangkan diri dengan menonton televisi
sambil menunggu ibu pulang. Terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Aku berlari ke pintu. Ada yang aneh, ibu
pulang naik ojek. ibu tidak membawa keranjang belanjaannya. Ia hanya membawa
kantong plastik.
Dengan mata memerah seperti telah menangis, ibuku
duduk memijit kepalanya dan bercerita kalau barang belanjaannya hilang saat dia
meletakkan di depan sebuah toko untuk membeli terigu dan bahan kue lebaran.
Mendegar cerita ibu, aku tertunduk menyesal. Mengapa
aku memaksa ibuku ke pasar padahal dia sedang sakit. Guru olahraga memberi kesempatan untuk memakai baju pramuka.
Aku tertunduk. Air mataku menetes menyesali lakuku. Uang yang digunakan ibuku untuk
membeli baju pramuka adalah hasil panen bulan lalu. Ia jual gabahnya yang
semestinya disimpan untuk dimakan.
Mestinya aku tidak sekeras itu, Ayahku petani. Hidup
sederhana. Terseot-seot ia membiayai kami berempat bersaudara. Kakak sulungku
Jamil kelas X di SMA, adik perempuanku
Mia kelas VI sekolah Dasar. Adik bungsuku Daud, baru berusia dua tahun.
Jamil orangnya jahil, pemarah, dan suka menganggu, Mia sangat manja dan
menyebalkan. Aku hanya suka Daud, teman bermainku jika pulang sekolah.
Aku mungkin boleh dibilang egois. Aku katakan demikian
karena aku sering marah jika disalahkan walaupun itu kesalahanku. Pernah suatu
hari aku disuruh membeli obat untuk kakakku yang sedang sakit. Tetapi obat yang
kubeli tidak sesuai dengan obat yang diminta ibuku.
“Kenapa kamu membeli obat ini” keluh ibuku.
“Hanya obat ini yang ada” kataku bela diri.
“Kalau tidak ada obat lain di sana, mengapa kamu tidak
pergi ke tempat lain. Memangnnya penjual hanya satu?” kata ibuku dengan nada
tinggi.
“Tempat lain kan jauh. Kalau mau, Ibu saja yang pergi
ke sana dan jangan pernah menyuruhku lagi” Kataku dengan suara yang lebih
keras.
Aku kemudian berlari ke kamar dan membating pintu. Aku
marah dan mogok makan. Tak kuhiraukan siapapun yang mengajakku makan. Tapi
kemudian aku merasa lapar dan perutku terasa melilit. Aku tidak mau keluar
kamar karena gengsi. Aku sudah mengatakan pada ibu kalau aku tidak mau makan.
Karena tuntutan perut, saat ibu dan adik-adikku keluar rumah, aku ke dapur untuk
makan lalu kemabli lagi kekamar melanjutkan mogok makanku.
Dengan langkah kecapean ibuku berdiri memijit
kepalanya. Aku merasa sangat kasihan. Aku berdiri mengikuti ibu menuju
kamarnya. Dengan perlahan ia membuka kerudungnya dan mengganti bajunya dengan
daster. Lalu tertidur lemas. Hatiku pedih.
Aku ke kamar dan menangis menyesali nasibku.
***
Terdengar takbir berkumandang dari Masjid Jami dekat
alun-alun. Aku bangkit dari tempat tidur, kubangunkan Mia yang tidur di sampingku. Kubuka jendela
dan kubiarkan udara segar memasuki kamarku. Kuhirup udara segar dengan aroma
embun pagi. Kuikutkan tekad dalam hati untuk berubah menjadi lebih baik.
Dengan Mukena bersiap hendak sholat Idul Adha. Aku
menemui ibuku di kamarnya. Aku memeluknya dengan buliran air mata.
“Maafkan aku Ibu, aku berjanji mulai hari ini akan
lebih baik”
Ibu mencium keningku lalu memadangku dengan senyum
“Aku tidak apa-apa Ria, aku ikhlas berbuat apapun untuk kalian semua.”
Air mataku mengalir lebih deras. Kupeluk ibu
erat-erat. Kurasakan punggungnya yang
kurus karena penderitaannya membesarkan anak-anaknya. Oh Tuhan muliakanlah
Ibuku di sisi-MU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar