Senin, 27 Oktober 2014

CERPEN


SESAL
Syatrawati/IXc


Jam menunjukkan pukul 6.30 ketika aku terbangun pagi itu. Kubuka jendela dan membiarkan angin sejuk memasuki kamarku. Kuhirup udara segar dalam dalam sambil menikmati aroma embun pagi dan sinaran matahari lembut menyinari tubuhku.
Hari ini hari Jumat, hari dimana diadakan Senam Kesegaran Jasmani sebelum pelajaran dimulai. Aku harus berangkat lebih pagi dari biasanya  Aku bergegas ke kamar mandi,  mengenakan baju olahragaku dan berlari ke sekolah.
Bel berbunyi ketika aku sampai di pintu gerbang sekolah. Aku meletakkan tasku di depan kelas untuk ikut SKJ.   Hari ini tidak seperti biasanya. Semua siswa kelas VII dan VIII memakai baju pramuka. Hanya  kelas IX yang mengenakan baju olah raga.
Setelah SKJ, guru olahraga mengumumkan kalau pada setiap hari Jumat dan Sabtu,  siswa mengenakan pakaian pramuka kecuali siswa yang hari itu berolahraga yang diperkenankan memakai baju olahraga.
Aku panik sejenak, aku tak punya baju pramuka dan pada hari Sabtu aku tidak ada pejaran olahraga. Bagaimana ini.
Sabtu pagi, sebagian besar temanku sudah memakai baju pramuka dan sebagian lagi masih memakai baju putih biru seperti biasanya. Semua sudah punya rencana untuk membeli paling lambat besok Minggu. Aku diam saja tak bergeming.

Seminggu berlalu tak terasa dan sebelum ke  sekolah hari Kamis itu, aku langsung  menyuruh  ibu membelikanku baju pramuka dan mengatakan kalau tidak dibelikan baju pramuka, aku tak akan kesekolah.
”Iya, nanti ibu belikan tapi nanti setelah lebaran.” bujuk ibuku.
“Baju pramukanya dipakai Jumat besok” aku merengek. Ibu terdiam.
“Pokoknya aku tak mau kesekolah kalau tidak punya baju pramuka. Besok harus ada baju pramuka” kataku memaksa.
“Kepalaku sakit. Ibu tidak bisa ke pasar. Bagaimana kalau hari Minggu setelah lebaran” ibu membujukku tapi aku tidak menanggapinya.
Ibu pun memaksakan diri ke pasar untuk membelikanku baju pramuka. Kulihat ia sudah jauh berjalan membawa keranjang belanjaannya ketika aku meninggalkan pekarangan dan  berlari ke sekolah.
Sepulang sekolah ayah mencegatku di pintu.
“Ibumu belum pulang dari pasar” keluh Ayahku
Firasatku buruk . “Apakah barang belanjaan ibuku hilang?”
Aku mencoba menenangkan diri dengan menonton televisi sambil menunggu ibu pulang. Terdengar suara motor berhenti di depan rumah.  Aku berlari ke pintu. Ada yang aneh, ibu pulang naik ojek. ibu tidak membawa keranjang belanjaannya. Ia hanya membawa kantong plastik.
Dengan mata memerah seperti telah menangis, ibuku duduk memijit kepalanya dan bercerita kalau barang belanjaannya hilang saat dia meletakkan di depan sebuah toko untuk membeli terigu dan bahan kue lebaran.
Mendegar cerita ibu, aku tertunduk menyesal. Mengapa aku memaksa ibuku ke pasar padahal dia sedang sakit. Guru olahraga memberi  kesempatan untuk memakai baju pramuka.
Aku tertunduk. Air mataku menetes menyesali  lakuku. Uang yang digunakan ibuku untuk membeli baju pramuka adalah hasil panen bulan lalu. Ia jual gabahnya yang semestinya disimpan untuk dimakan.
Mestinya aku tidak sekeras itu, Ayahku petani. Hidup sederhana. Terseot-seot ia membiayai kami berempat bersaudara. Kakak sulungku Jamil  kelas X di SMA, adik perempuanku Mia kelas VI sekolah Dasar. Adik bungsuku Daud, baru berusia dua tahun.
Jamil orangnya jahil, pemarah, dan  suka menganggu, Mia sangat manja dan menyebalkan. Aku hanya suka Daud, teman bermainku jika pulang sekolah.
Aku mungkin boleh dibilang egois. Aku katakan demikian karena aku sering marah jika disalahkan walaupun itu kesalahanku. Pernah suatu hari aku disuruh membeli obat untuk kakakku yang sedang sakit. Tetapi obat yang kubeli tidak sesuai dengan obat yang diminta ibuku.
“Kenapa kamu membeli obat ini” keluh ibuku.
“Hanya obat ini yang ada” kataku bela diri.
“Kalau tidak ada obat lain di sana, mengapa kamu tidak pergi ke tempat lain. Memangnnya penjual hanya satu?” kata ibuku dengan nada tinggi.
“Tempat lain kan jauh. Kalau mau, Ibu saja yang pergi ke sana dan jangan pernah menyuruhku lagi” Kataku dengan suara yang lebih keras.
Aku kemudian berlari ke kamar dan membating pintu. Aku marah dan mogok makan. Tak kuhiraukan siapapun yang mengajakku makan. Tapi kemudian aku merasa lapar dan perutku terasa melilit. Aku tidak mau keluar kamar karena gengsi. Aku sudah mengatakan pada ibu kalau aku tidak mau makan. Karena tuntutan perut, saat ibu dan adik-adikku keluar rumah, aku ke dapur untuk makan lalu kemabli lagi kekamar melanjutkan mogok makanku.
Dengan langkah kecapean ibuku berdiri memijit kepalanya. Aku merasa sangat kasihan. Aku berdiri mengikuti ibu menuju kamarnya. Dengan perlahan ia membuka kerudungnya dan mengganti bajunya dengan daster. Lalu tertidur lemas. Hatiku pedih.
Aku ke kamar dan menangis menyesali nasibku.

***

Terdengar takbir berkumandang dari Masjid Jami dekat alun-alun. Aku bangkit dari tempat tidur, kubangunkan  Mia yang tidur di sampingku. Kubuka jendela dan kubiarkan udara segar memasuki kamarku. Kuhirup udara segar dengan aroma embun pagi. Kuikutkan tekad dalam hati untuk berubah menjadi lebih baik.
Dengan Mukena bersiap hendak sholat Idul Adha. Aku menemui ibuku di kamarnya. Aku memeluknya dengan buliran air mata.
“Maafkan aku Ibu, aku berjanji mulai hari ini akan lebih baik”
Ibu mencium keningku lalu memadangku dengan senyum “Aku tidak apa-apa Ria, aku ikhlas berbuat apapun untuk kalian semua.”
Air mataku mengalir lebih deras. Kupeluk ibu erat-erat.  Kurasakan punggungnya yang kurus karena penderitaannya membesarkan anak-anaknya. Oh Tuhan muliakanlah Ibuku di sisi-MU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar