Separuh Mimpiku
Nurlayli
Pagi cerah, embun dingin menembus pagi, kuraih switer
merah. Aku berjalan seputar pekarangan menikmati indahnya bunga-bunga, burung
berkicauan dan aroma rumput basah yang memanjakan indra penciumanku. Di bawah
pohon aku duduk menyandarkan kampasku. Aku melukis. Aku suka melukis. Cita-citaku menjadi pelukis terkenal.
Goresan-goresan tipis di kampasku membentuk kupu-kupu cantik berwarnah merah
dengan latar bunga-bunga berwarna biru. Sebuah panorama alam yang begitu indah.
Aku puas.
Matahari sepenggalan, kubereskan alat-alat lukisku dan
bergegas pulang ke rumah.
Ke sekolah aku selalu bersama Indry teman sebangkuku. Ia setia menungguku. Sepanjang jalan aku suka
memperhatikan keindahan alam karena aku
hanya bisa menuangkan perasaanku melalui lukisan
***
Sejak kelas VII Di SMP 4 Sinjai Timur tempatku
bersekolah, aku ikut pengembangan diri IPA Biologi. Bukan pilihanku, aku dimasukkan saja ke sana.
Sebenarnya aku ingin sekali ikut pengembangan diri Seni Lukis tapi aku tidak
diberi kesempatan memilih. Mungkin karena aku pintar sehingga guru memasukkanku
ke sana.
Sabtu, 9 Maret 2014.
Aku
diikutkan dalam olimpiade IPA Biologi
bersama empat teman lainnya yang ikut olimpiade IPA Fisika, Matematika dan IPS.
Entah kenapa aku merasa sangat takut. Aku takut tidak juara dan guru pasti
menyalahkanku.
Rasa
takut ini kusampaikan pada Kiky temanku.
“Udah tak usah takut. Ngak apa-apa koq. Sekalian
cari-cari pengalaman” kiky berusaha meyakinkanku.
Hari ini hari terakhir aku belajar karena lomba sudah
mau diadakan. Aku sangat deg-degang dan semalaman aku tak dapat tidur karena
gangguan anjing yang menggonggong sepanjang malam.
Hari ini, hari tersulit yang aku rasakan, aku dan
teman-teman saling memberi semangat dan keyakinan. Kami berempat dipanggil guru
Pembina. Kami diberi pengarahan. Aku disuruh pulang lebih awal karena olimpiade
dilaksanakan pukul 13.00 Wita.
Aku mengajak ketiga temanku untuk beristirahat di
rumahku karena rumah mereka jauh.
Menjelang berangkat, aku sholat berjamaah lalu makan bersama.
“Doa sholat dhuhurku tadi, mudah-mudahan SMP 4 bisa
juara meskipun hanya salah satu dari empat pelajaran tersebut” kataku dengan
penuh semangat di meja makan.
Kiky mengacungkan jempolnya tanda suka dengan doaku.
Aku berjalan memasuki ruangan IPA Biologi di SMP 1
tempat olimpiade dilaksanakan. Ternyata
Cuma aku yang ditunggu. Aku langsung duduk dan berdoa agar bisa menjawab
soal dengan mudah.
Sebuah buku hijau tua diletakkan di depanku. dan
selembar kertas jawaban. Di situ terterah tulisan “Soal Olimpiade IPA BIologi
Tahun 2014., jumlah soal 100 nomor” .
Aku
kaget, astagfirullah, banyak banget. Bagaimana aku bisa menjawabnya dalam waktu
dua jam.
Perlahan-lahan kubuka buku itu.
Nomor
1 sampai nomor 5, kuyakini benar. Tapi
ketika aku hendak menjawab soal lainnya, kepalaku terasa pusing. Keringatku
membasahi kerudung yang kukenakan. Aku seperti orang demam, panasku turun naik.
Satu jam berlalu, aku berhasil menyelesaikan 50 soal. Walau tidak yakin benar semua, aku
berusaha konsentrasi menyelesaikan 50 soal berikutnya.
Ada 40 orang peserta dalam ruangan yang diawasi oleh seorang laki-laki. Aku menoleh
melihat satu-persatu perserta. Aku sama
sekali tidak yakin akan mengalahkan
mereka
Dua jam berlalu, aku berhasil menyelesaikan semua
soal. Aku kesulitan dalam penerapan
bahasa latin. Aku pasrah saja meninggalkan hasil kerjaku di atas meja dan berjalan
menuju pengawas menerima sebungkus nasi
dan sebuah amplop.
Seluruh peserta memperbincangkan soal-soal dalam lomba
itu bersama Pembinanya. Tapi aku tidak. Guru pembinaku tidak datang. Aku diam
saja sambil bersandar di tiang penyangga teras.
Ibu Pembina akhirnya datang menjemputku. Ia tersenyum
padaku
“Gampang atau susah”? Tanya ibu Pembina.
Aku bingung mau jawab bagaimana. Kalau aku bilang
susah, nanti ibu Pembina kecewa. Jadi aku hanya tersenyum saja.
Ibu Pembina mengajakku pulang iku di boncengan motornya.
Aku setuju saja.
Diperjalanan ibu Pembina menceritakan tentang tanteku
yang juara pertama ketika ikut lomba olimpiade IPA Biologi. Ia berharap
mudah-mudahan aku bisa seperti tanteku.
Aku hanya berdoa dalam hati mudah-mudahan Tuhan
menolongku.
Selang beberapa hari hasil olimpiade sudah keluar.
Bapak kepala sekolah mengumumkan pada upacara Senin kalau dari SMP 4 tak
satupun yang dapat medali. Aku kaget dan menunduk malu. Aku sangat malu pada guru pembinaku, aku tak
berani melihatnya walaupun dari jarak jauh.
Sejak pengumuman itu, aku tak berani bertemu dengan
ibu Pembina. Aku selalu menghindar.
Minggu, 23 April 2014
Pak Taslim, Guru seni budaya di SMP 4 menemuiku. Ia
mengajakku ikut lomba seni lukis membatik.
Hatiku bersorak, mimpiku untuk melukis dan memperlihatkan hasil karyaku
sebentar lagi terwujud. Pak Taslim memberiku sebuah cat air, kuas, dan buku
gambar supaya aku bisa belajar sebelum lomba dimulai.
Aku berlatih di rumah setiap waktu bersama
pembimbingku, Wahyu kakakku. Ia pernah menjuarai lomba lukis.
Jam alarm HPku mengagetkanku. Sudah pukul 06.00 aku bergegas bersih-bersih
dan menuju ruang makan. Nasi goreng,
telur dadar dan segelas susu sudah disediakan ibu. Aku langsung melahapnya. Aku
harus siap sebelum Pak Taslim datang menjemputku.
Aku sudah menunggu di teras ketika Pak Taslim dan Ayub
Hendrawan datang. Ayub Hendrawan adik kelasku yang juga mengikuti pestival ini. Kami pun berangkat bersama ke
kantor Dinas Pendidikan untuk mendengarkan pengarahan. Entah mengapa perasaanku
jauh lebih tenang dan santai dibandingkan waktu mengikuti olimpiade IPA
Biologi.
Dari Dinas Pendidikan kami dibawa ke SMK 1, tempat
lomba diadakan. Rusangan putih abu-abu menyambutku. Aku mengangkat kaki kananku
diiringi doa sebagai awal langkahku menuju ke impianku. Aku memilih tempat
duduk dekat jendela.
“Bukanlah kamu peserta melukis batik?” Seseorang
mendekatiku.
Dengan bingung aku menjawab “Ya”
“Oh Maaf Dek, ruangan membatik bukan di sini tapi di
sebelah ruangan ini”
Aku tersenyum
malu dan langsung keluar ruangan diiringi berpasang-pasang mata
menatapku.
Pak Taslim menjemputku di ruang batik. Aku disuruh
masuk dan lagi-lagi aku memilih tempat duduk dekat jendela.
Pengawas membagikan kertas gambar ukuran besar dan cat
air.
Aku mulai membuat sketsa kupu-kupu untuk lukisanku.
Karena terburu-buru. Kertas gambar yang sudah selesai kuberi sketsa ternyata
terbalik karena ada stempel di pinggir kertas itu sehingga tidak baik untuk
diwarnai. Aku mengulanginya lagi.
Warna pertama yang kuambil adalah warna hitam sebagai
latar gambarku. Ternyata kualitas cat air yang dibagikan kurang bagus. Aku menggantinya
dengan cat air yang kubawa dari sekolah. Kualitasnya lebih baik. Muncul masalah
baru. Warnah hitamnya tidak cukup karena kertasnya cukup besar. Aku terdiam
sejenak lalu memberanikan diri untuk
meminta cat air warna hitam peserta lomba lainnya yang ada di depanku.
Gadis itu sangat baik. Walaupun aku saingannya, ia
ihlas memberiku cat hitamnya.
Aku kembali konsentrasi menyelesaikan gambarku.
Waktu berlalu jam yang ditentukan berakhir, aku
menyodorkan gambarku kepada panitia dengan rasa puas. Aku mendapat hadiah
sebungkus nasi dari panitia..
***
Cuaca pagi ini cerah, aku pun merasa segar dan senang
melangkah memasuki pekarangan sekolah. Ketika melintas di depan ruang guru, Pak
Taslim memanggilku ke mejanya. Pak
Taslim memberiku sebuah bungkusan persegi
empat. Di atasnya tertulis untuk Nurlayli, juara 2 lomba membatik dan
sebuah amplop.
Aku sempat kaget. Kupegang dadaku lalu kemudian aku
tersenyum karena aku juara 2 untuk lomba lukis pertamaku.
Perjalananku masih panjang dan mimpiku untuk
menjadi pelukis belum tercapai seluruhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar