GARA-GARA MENGGANGGU SARANG LEBAH
Awaluddin
Di jalan aku berpapasan dengan
Harlan, Samsu, dan Pajri. Mereka mengajakku jalan bareng. Aku setuju saja. Aku mengikuti langkah mereka
entah kemana.
“Kita pergi mengambil sarang
lebah. Siapa tahu madunya sudah ada” seru Harlan .
Tanpa persetujuan kami, Harlan
berlari ke arah pohon asam yang ada dekat sekolahan.
“Pungut batu” ajak Syamsul “ Kita
melempari sarangnya biar jatuh”
Aku ikut memungut beberapa batu
untuk dipakai melempar sarang lebah. Harlan sudah sampai duluan dan mulai melempari
sarang lebah.
“Sarangnya ketinggian” keluhku
Lebah berkerumum dan mulai mendekati
kami.
“Ayo menjauh” seru Syamsu.
Tanpa aba-aba kami berlari
terbibit-bibit ketakutan.cukup jauh juga
aku berlari sore itu. Ngos-ngosan aku
hingga merasa perlu istirahat di bawah pohon mangga. Peluhku mengalir karena
kecapean.
“Kita membakar sarangnya “ ajak
Fahmi.
Kami semua berdiri dan mencari
daun kelapa.
Tak sulit untuk mencari daun
kepala. Fajir mengikatnya dan kami semua mengikuti mereka kembali ke pohon
asam.
Fajri membakar daun kelapa di
bawah pohon asam. Karena angin laut bertiup kencang, asapnya tak sampai ke
sarang lebah. Malah mengasapi kami semua hingga mata terasa perih.
“Awal, bagaimana kalau kamu
mengambil bamboo di dekat rumahku” kata Fajri.
Aku dan Syamsu pergi mengambil bambu
di dekat rumah Fajri.
Dengan bambu panjang, aku
berusaha menjatuhkan sarang lebah. Beberapa kali berusaha tapi tidak berhasil.
Karena kesal, kami kembali
melempar sarang lebah. Lebah beterbangan.kami berhamburan. Aku tak melihat
kalau seekor lebah mengikutiku dari belakang. Tiba-tiba pipiku terasa sakit. Aku meraba pipiku.
Seekor lebah menempel di sana. Aku panit kesakitan. Samsu, Fajri, dan Harlan
tidak menolongku, malah menertawaiku.
“Ayo, kita pulang saja. Lukamu
perlu diobati” ajak Samsu setelah melihat wajahku memerah dan bengkak.
Di rumah, aku ditegur ayah karena
melihat pipiku yang bengkak.
“Kenapa bengkak, Awal? Berkelahi ya!”
“Tidak, aku disengat lebah”
jawabku sambil memegang pipiku yang terasa panas dan sakit.
“Obati dengan balsem, biar tidak
tambah bengkak. Perintah ayah.
Aku menurut saja kata ayah lalu
pergi tidur untuk menghindari omelan ayah. Aku
tak bisa tidur karena kesakitan.
Ketika aku bangun pagi, aku
bercermin. Kupandangi wajahku yang Bengkak sebelah kiri . Aku menyesal telah
menganggu sarang lebah. Sarang lebah adalah rumah bagi lebah. Seperti aku,
punya rumah. Lebah pun demikian. Lebah
perlu rumah untuk berteduh dan beritirahat. Maafkan aku lebah. Aku tidak
akan menganggumu lagi demi setetes madu.
makaku masih bengkak. Aku memutuskan
untuk tidak ke sekolah. Ayahku setuju saja tapi syarat tidak tiduran saja di
rumah. Aku diberi tugas membersihkan kamar mandi. Aku menurut saja dari pada
bengong sendirian di rumah.
Selasa pagi aku ketemu Fajri dan Basri di gerbang sekolah.
“Mukamu sudah sembuh” selidik Basri.
“Masih bengkak dan masih terasa
sakit” aku balik bertanya.
“Bagaimana sarang lebahnya? Apa
sudah jatuh atau belum ?
“Memangnya kamu mau menganggu
sarang lebah lagi?” Tanya Fajri.
Keduanya kembali menertawaiku.
Aku menggeleng. Lalu bergegas
menuju kelas untuk menyembunyikan wajahku yang bengkak.
Teman-teman di depan kelas
menyambutku dengan tertawa mengejek.
“Kamu disengat lebah kan? Makanya
jangan suka ganggu rumah lebah.”
Iwan mencolekku di pintu kelas “ Kamu marah nga kalau rumahmu diganggu.”
Aku tak menghiraukan ucapan
mereka. Aku bergegas masuk kelas dan tidak keluar-keluar hingga lonceng jam
pulang berbunyi.
Sinjai, September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar