Sabtu, 25 Oktober 2014

CERPEN


DIMANA KAU IBU
Putri Yuni Wahyuni

Pagi itu aku bangun telat. Sudah pukul 06.00 aku bergegas beres-beres lalu berangkat ke sekolah. Seperti biasa hari Senin sebeum pelajaran dimulai, akan diadakan upacara penaikan bendera. Aku harus lebih pagi dari biasanya.
Walau perasaanku hari itu kurang enak, aku tetap ikut upacara. Entah kenapa di saat upacara berlangsung. Aku mendadak pusing, mata berkunang-kunang. Kedua kakiku rasanya tak kuasa untuk menopang tubuhku. Aku oleng.
Kia yang berdiri di sampingku meihat kejadian itu. “Aku pusing” keluhku pada Kia.
            Ia memanggilku “Airin, aku membawamu saja ke ruang UKS”
Aku menggeleng “Tidak usah aku masih kuat”
Aku mencoba bertahan tapi di akhir upacara, aku oleng dan terjatuh teman-teman memapaku ke ruang UKS. Di ruang UKS  aku panik dan menangis karena napasku sesak. Guru Pembina Siswa mengobatiku dengan mantra. Perasaanku lebih tenang hingga kemudian aku dibolehkan ke ruang kelas.
Saat pelajaran berlangsung, Pak Sigit guru IPS yang bertindak sebagai Wali kelas IXD memasuki ruang kelas untuk mengecek siswa “Saya membawa formulir untuk biodata calon siswa yang akan mendapatkan bantuan Pendidikan Gratis bagi siswa tidak mampu”kata Pak Sigit.
Pak sigit lalu menghampiriku dan bertanya.
“Airin, ibumu kerja apa?
“Ibuku merantau ke Malaysia dan bekerja di kebun kelapa sawit”
“Ayahmu?”
“Aku ikut ayah,  ayah dan ibuku telah berpisah kurang lebih sembilan tahun lalu. Ayahku kerja serabutan. Kadang ikut ke laut dan kalau tak ada tawaran, kerja apa saja”
“Berapa besar kiriman ibumu perbulannya”
Pertanyaan Pak Sigit melelehkan air mataku. Aku bersandar pada Afika untuk mengimbangi perasaanku.  Aku merasa sedih atas pertanyaan Pak Sigit. Aku tak tega mengungkit-ungkit masa laluku. Terlalu menyedihkan buatku. Aku mau tak ada orang yang bertanya tentang itu agar aku bisa melupakan kisah lamaku.
“Jangankan kiriman uang, kabar beritanya pun tak pernah ada” jawabku
Aku terjatuh tak berdaya. Saat aku sadar, ternyata aku di ruang UKS ditemani Afika ketua kelasku.  Afika orangnya cerewet namun lucu dan baik hati.

***


            Kubuka pintu jendela, kutatap langit biru. Burung-burung bersiul dengan merdu . pintu kamar berderik terbuka. Aku membalikkan tubuh. Ibuku berdiri  dengan senyum ragu-ragu. Aku ikut tersenyum untuk seseorang ibu yang berdiri di hadapanku. Aku merengek dengan manja. Ibu membelaiku dengan penuh kasih sayang dan mengelus rambutku. Tak seperti hari-hari sebelumnya. Aku merasakan sesuatu yang beda dengan ibu Pagi  ini.

            “Rin” Ibu memanggilku sambil menagis.
“Kenapa menangis” tanyaku curiga.
Kuangkat kepala ibu  “Ibu kenapa?”
Ibu mengecup keningku dengan lembut. Aku tak kuasa menahan tangis.
“Airin, Ibu tidak apa-apa. Kamu jaga dirimu baik-baik.”
Aku semakin heran dibuatnya “Emangnya Ibu mau kemana?”
“Rin, Ibu harus pergi mencari nafkah” kata ibu sambil membelai rambutku.
“Kenapa mesti ibu? Ayah kemana, Bu?” desakku.
“Rin, Ibu minta maaf. Ibu tidak bisa ceritakan semuanya karena kamu masih kecil. Nanti kamu akan tahu sendiri bila kamu telah tumbuh dewasa.”
“Tapi Bu..” Ibu memotong pembicaraanku.
“Kamu harus ihlas melepaskan Ibu. Baik-baiklah dengan Nenekmu”
Aku memeluk ibu dengan sekuat mungkin air mataku tak henti-hentinya membasahi pipiku.

Keesokan harinya ibu pergi meninggalkan aku dan adik lelakiku. Rasanya hati ini tidak ikhlas melepaskan orang yang  kusayangi.  
“Aku akan selalu merindukan Ibu.” Kataku kemudian.
“Airin, Ibu titip adikmu” kata ibu sambil melangkah perlahan meninggalkan pekarangan. Menaiki metro mini dan pergi.
Peristiwa itu sudah lama berlalu. 9 tahun hukanlah waktu yang singkat untuk kulaui. Setiap hari aku selalu menuggu siapa tahu tiba-tiba ibu datang. Ibu telah pergi ke Malaysia tanpa kabar berita. Entah kapan bisa bertemu kembali. Hari-hariku dirundung rindu. Dalam sholatku aku selalu bersujud mendoakan ibu agar cepat kembali. Setiap  saat aku selalu  menatap foto ibu bersamaku ketika aku masih bayi. Jika senja datang dan ayam sudah naik di pohon, dan anak ayam berciap-ciap hendak dikeloni ibunya, rasa rinduku kepada ibu tak tertahankan. Aku menangis memeluk adikku menunggu dan menunggu kepulangan ibu di rumah nenekku.
Belakangan kuketahui ibu pergi  karena sebuah pertengkaran hebat dengan ayah. Lalu ayah ke kemapungnya di Sinjai. Memang tiap hari Aku sering mendengar mereka bertengkar. Jika demikian aku cuma menangis menutup kuping yang terasa hendak pecah.  Lalu kemudian ayah dan ibu bercerai.
“Mengapa Ibu dan ayah mesti bercerai?” keluhku dalam hati. Dalam lubuk hatiku aku menyimpan kebencian kepada orang tuaku. Mereka tak mengerti perasaan akan-anaknya. mereka hanya memikirkan diri sendiri .


Hari-hariku diisi dengan rasa kesepian. Di pikiranku hanya ada ibu, ibu dan ibu. Tiba-tiba adikku Firly memanggilku.
“Kakak Airin kenapa?
Sejenak aku menatap wajah adikku yang mirip ibu “Kakak tidak apa-apa”
“Terus kenapa Kakak Airin bengong”Firly,
“Tidak ada apa-apa  Kakak Cuma kangen saja sama Ibu”
“Bukan Kakak saja yang kangen. Firly juga tapi kata nenek, kita harus sabar.
Aku memeluk adikku. Bocah 5 tahun ini membuatku tetap semangat.

Jika malam  menjelang dan Firly hendaK tidur, aku selalu menyuruhnya tidur duluan. Ia selalu meminta kuceritakan dongeng untuknya.  Aku selalu mengiyakan sambil mencubit lembut pipinya. Firly tersenyum sambil memegang buku dongeng sekolah. Firly tertidur pulas dengan dongengku yang itu-itu juga.

Tanggal, 17 Maret 2006, Firly terkena sakit.  Wajahnya kusut dan layu terbaring lemas di atas tempat tidur. Berbagai upaya yang dilakukan nenek untuk menyembuhkan Firly hingga siang itu  Tuhan berkehendak lain. Firly mengigau menyebut nama ibu. Aku menghampiri Firly untuk membangunkannya. Tak banyak reaksi dari Firly. Aku panik dan menangis. Kucium keningnya. Kurasakan  panas yang luar biasa di dahinya. Aku tak tahu berbuat apa. Tubuhku terasa lemas. Kupeluk adikku yang sepertinya tak sadarkan diri. Nafasnya turun naik dan aku semakin panik.
Nenek menarikku menjauh dan membiarkan Firly terbaring tenang. Nafasnya semakin lama semakin pelan hingga wajahnya semakin pucat dan tak bergerak.
Aku menjerit minta tolong lalu memeluk adikku “ Firly bangun, jangan tinggalkan aku. Kakak Cuma punya kamu.”
Nenek menenangkan dan membelai rambutku tapi entah kenapa aku menyalahkan Tuhan dalam hidupku. “Ya Tuhan, apa salahku kenapa kamu mengambil orang yang aku sayangi? Kenapa-kenapa ya Tuhan?” dulu ayah, lalu ibu dan sekarang adikku satu-satunya kau ambil pula”
Aku menagis menjerit-jerit. Tak kuasa nenekku menenangkanku.
Kusaksikan semua prosesi penguburan adikku, di atas timbunan tanah merah aku berdoa, semoga adikku menungguku di surga.
Aku berjalan lunglai kembali ke rumah. Perasaanku kacau tak kuasa aku menerima kenyataan ini.

Sehari setelah Firly meninggal, paman menjemputku ke Sinjai. Aku menolak karena aku tak ingin berpisah dengan adikku walaupun dalam bentuk kuburan. Om Faisal memaksaku. Aku tak bisa menolak. Sekali lagi hatiku terluka. Aku berkemas mengumpukan pakaianku dengan linangan air mata dan selanjutnya berangkat ke Sinjai meninggalkan nenek yang menyayangiku. Aku kembali kehilangan.
Setelah perjalanan jauh setengah hari lamanya, aku sampai di Sinjai. Aku diantar ke sebuah rumah ukuran kecil yang kelihatannya sepi. Aku diam tak bergeming. Aku menurut Om Faisal saja.  Dari pintu masuk kulihat seseorang tidur terlentang di atas bale-bale beralaskan kasur. Aku masuk dengan ragu-ragu. Kutatapi wajah yang terbaring. Ternyata ayahku yang telah lama menghilang. Aku memeluknya. Aku bersyukur telah dipertemukan dengan ayahku. Matanya layu, badannya kurus, aku menangis karena kasihan. Aku bertekad untuk merawat ayahku agar aku tidak kehilangan sekali lagi.

Entah kenapa Om Faisal mengembalikanku ke Bone setelah sepuluh hari bersama ayahku. Mungkin karena keadaan ayahku yang kian membaik atau mungkin karena sekolahku. Yang kutinggalkan.
Setelah om Faisal hendak pulang, ia mengingatkanku agar jika kelak tamat sekolah dasar, aku harus ikut ayah ke Sinjai. Aku mengangguk saja. Tiga tahun lagi dan itu masih terlalu lama bagiku.

Aku betul-betul ke Sinjai menjelang pendaftaran siswa baru untuk masuk SMP. Ayahku menyarankan untuk masuk SMP terdekat, yaitu SMP 4 Sinjai Timur. Aku menurut. Saja. Om Faisal banyak membantuku untuk masuk sekolah itu termasuk menyiapkan keperluan sekolah.

Kini aku ikhlas tinggal bersama ayah walau jauh dari keramaian kota.  Dengan pekerjaan ayahku sebagai nelayan, hidupku jauh dari pas-pasan. Kembali aku memasuki hidup yang serba sulit bersama ayahku yang hidup sendiri.
Ternyata serumah dengan ayah bukanlah hal yang menyenangkan. Ia selalu memarahi dan bahkan memukulku. Ayah tidak sayang padaku, aku korban pelampiasan kemarahannya pada ibu. Tak ada pilihan lain, aku harus bertahan. Karena dialah satu-satunya orang tuaku kini.
Pernah suatu hari karena persoalan sepele ayah memarahiku habis-habisan. Aku melawan. Aku memuntahkan kekesalanku pada ayah. Aku melawan dan berkata “Aku benci, benci, benci  sama ayah.” Kata-kata kasar itu keluar dari mulutku. “Kenapa ayah tidak memikirkan perasaanku. Gara-gara ayah ibu pergi meninggalkan kita dan Firly meninggal”
“Airin, jaga ucapanmu” bentak ayah. “ ini bukan salah ayah. Bukan ayah yang mau berpisah dengan ibumu” bela ayah.
“Ayah bohong, ayah selalu membentak ibu” suaraku semakin keras.
“Airin!” ayah mendamparku.
Aku menjerit memegang pipiku “Ayah jahat, ayah selalu memukulku, ayah tak pernah sayang padaku.” Aku berlari ke tempat tidur. Hanya tangis yang bisa kulakukan. Dalam perih seperti ini, aku cuma ingat ibuku yang kini entah dimana taka ada kabar berita demikian pula biaya hidup yang dijanjikan tak pernah ia kirim kepadaku. Apakah ia masih hidup?


***


Kehadiran Arya di ruang UKS membuyarkan lamunanku  “Ayo pulang”
            Aku bangkit perlahan lalu mengikuti Arya ke tempat parkir. Aku kembali ke rumah berboncengan dengan Arya, sepupuku. Ia yang setiap hari mengantar dan menjemputku ke sekolah. Terima kasih Arya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar