DIMANA KAU
IBU
Putri Yuni
Wahyuni
Pagi itu aku bangun telat. Sudah pukul 06.00 aku
bergegas beres-beres lalu berangkat ke sekolah. Seperti biasa hari Senin sebeum
pelajaran dimulai, akan diadakan upacara penaikan bendera. Aku harus lebih pagi
dari biasanya.
Walau perasaanku hari itu kurang enak, aku tetap ikut upacara.
Entah kenapa di saat upacara berlangsung. Aku mendadak pusing, mata
berkunang-kunang. Kedua kakiku rasanya tak kuasa untuk menopang tubuhku. Aku
oleng.
Kia yang berdiri di sampingku meihat kejadian itu.
“Aku pusing” keluhku pada Kia.
Ia
memanggilku “Airin, aku membawamu saja ke ruang UKS”
Aku menggeleng “Tidak usah aku masih kuat”
Aku mencoba bertahan tapi di akhir upacara, aku oleng
dan terjatuh teman-teman memapaku ke ruang UKS. Di ruang UKS aku panik dan menangis karena napasku sesak.
Guru Pembina Siswa mengobatiku dengan mantra. Perasaanku lebih tenang hingga
kemudian aku dibolehkan ke ruang kelas.
Saat pelajaran berlangsung, Pak Sigit guru IPS yang
bertindak sebagai Wali kelas IXD memasuki ruang kelas untuk mengecek siswa
“Saya membawa formulir untuk biodata calon siswa yang akan mendapatkan bantuan
Pendidikan Gratis bagi siswa tidak mampu”kata Pak Sigit.
Pak sigit lalu menghampiriku dan bertanya.
“Airin, ibumu kerja apa?
“Ibuku merantau ke Malaysia dan bekerja di kebun
kelapa sawit”
“Ayahmu?”
“Aku ikut ayah,
ayah dan ibuku telah berpisah kurang lebih sembilan tahun lalu. Ayahku
kerja serabutan. Kadang ikut ke laut dan kalau tak ada tawaran, kerja apa saja”
“Berapa besar kiriman ibumu perbulannya”
Pertanyaan Pak Sigit melelehkan air mataku. Aku
bersandar pada Afika untuk mengimbangi perasaanku. Aku merasa sedih atas pertanyaan Pak Sigit.
Aku tak tega mengungkit-ungkit masa laluku. Terlalu menyedihkan buatku. Aku mau
tak ada orang yang bertanya tentang itu agar aku bisa melupakan kisah lamaku.
“Jangankan kiriman uang, kabar beritanya pun tak
pernah ada” jawabku
Aku
terjatuh tak berdaya. Saat aku sadar, ternyata aku di ruang UKS ditemani Afika
ketua kelasku. Afika orangnya cerewet
namun lucu dan baik hati.
***
Kubuka pintu jendela, kutatap langit
biru. Burung-burung bersiul dengan merdu . pintu kamar berderik terbuka. Aku
membalikkan tubuh. Ibuku berdiri dengan
senyum ragu-ragu. Aku ikut tersenyum untuk seseorang ibu yang berdiri di
hadapanku. Aku merengek dengan manja. Ibu membelaiku dengan penuh kasih sayang
dan mengelus rambutku. Tak seperti hari-hari sebelumnya. Aku merasakan sesuatu
yang beda dengan ibu Pagi ini.
“Rin” Ibu memanggilku sambil menagis.
“Kenapa menangis” tanyaku curiga.
Kuangkat kepala ibu
“Ibu kenapa?”
Ibu mengecup keningku dengan lembut. Aku tak kuasa
menahan tangis.
“Airin, Ibu tidak apa-apa. Kamu jaga dirimu
baik-baik.”
Aku semakin heran dibuatnya “Emangnya Ibu mau kemana?”
“Rin, Ibu harus pergi mencari nafkah” kata ibu sambil
membelai rambutku.
“Kenapa mesti ibu? Ayah kemana, Bu?” desakku.
“Rin, Ibu minta maaf. Ibu tidak bisa ceritakan semuanya
karena kamu masih kecil. Nanti kamu akan tahu sendiri bila kamu telah tumbuh
dewasa.”
“Tapi
Bu..” Ibu memotong pembicaraanku.
“Kamu
harus ihlas melepaskan Ibu. Baik-baiklah dengan Nenekmu”
Aku
memeluk ibu dengan sekuat mungkin air mataku tak henti-hentinya membasahi
pipiku.
Keesokan harinya ibu pergi meninggalkan aku dan adik
lelakiku. Rasanya hati ini tidak ikhlas melepaskan orang yang kusayangi.
“Aku akan selalu merindukan Ibu.” Kataku kemudian.
“Airin, Ibu titip adikmu” kata ibu sambil melangkah
perlahan meninggalkan pekarangan. Menaiki metro mini dan pergi.
Peristiwa itu sudah lama berlalu. 9 tahun hukanlah
waktu yang singkat untuk kulaui. Setiap hari aku selalu menuggu siapa tahu
tiba-tiba ibu datang. Ibu telah pergi ke Malaysia tanpa kabar berita. Entah
kapan bisa bertemu kembali. Hari-hariku dirundung rindu. Dalam sholatku aku
selalu bersujud mendoakan ibu agar cepat kembali. Setiap saat aku selalu menatap foto ibu bersamaku ketika aku masih
bayi. Jika senja datang dan ayam sudah naik di pohon, dan anak ayam
berciap-ciap hendak dikeloni ibunya, rasa rinduku kepada ibu tak tertahankan.
Aku menangis memeluk adikku menunggu dan menunggu kepulangan ibu di rumah nenekku.
Belakangan kuketahui ibu pergi karena sebuah pertengkaran hebat dengan ayah. Lalu
ayah ke kemapungnya di Sinjai. Memang tiap hari Aku sering mendengar mereka
bertengkar. Jika demikian aku cuma menangis menutup kuping yang terasa hendak
pecah. Lalu kemudian ayah dan ibu
bercerai.
“Mengapa Ibu dan ayah mesti bercerai?” keluhku dalam
hati. Dalam lubuk hatiku aku menyimpan kebencian kepada orang tuaku. Mereka tak
mengerti perasaan akan-anaknya. mereka hanya memikirkan diri sendiri .
Hari-hariku
diisi dengan rasa kesepian. Di pikiranku hanya ada ibu, ibu dan ibu. Tiba-tiba
adikku Firly memanggilku.
“Kakak
Airin kenapa?
Sejenak
aku menatap wajah adikku yang mirip ibu “Kakak tidak apa-apa”
“Terus
kenapa Kakak Airin bengong”Firly,
“Tidak
ada apa-apa Kakak Cuma kangen saja sama
Ibu”
“Bukan
Kakak saja yang kangen. Firly juga tapi kata nenek, kita harus sabar.
Aku
memeluk adikku. Bocah 5 tahun ini membuatku tetap semangat.
Jika malam
menjelang dan Firly hendaK tidur, aku selalu menyuruhnya tidur duluan.
Ia selalu meminta kuceritakan dongeng untuknya.
Aku selalu mengiyakan sambil mencubit lembut pipinya. Firly tersenyum
sambil memegang buku dongeng sekolah. Firly tertidur pulas dengan dongengku
yang itu-itu juga.
Tanggal, 17 Maret 2006, Firly terkena sakit. Wajahnya kusut dan layu terbaring lemas di
atas tempat tidur. Berbagai upaya yang dilakukan nenek untuk menyembuhkan Firly
hingga siang itu Tuhan berkehendak lain.
Firly mengigau menyebut nama ibu. Aku menghampiri Firly untuk membangunkannya.
Tak banyak reaksi dari Firly. Aku panik dan menangis. Kucium keningnya. Kurasakan panas yang luar biasa di dahinya. Aku tak
tahu berbuat apa. Tubuhku terasa lemas. Kupeluk adikku yang sepertinya tak
sadarkan diri. Nafasnya turun naik dan aku semakin panik.
Nenek menarikku menjauh dan membiarkan Firly terbaring
tenang. Nafasnya semakin lama semakin pelan hingga wajahnya semakin pucat dan
tak bergerak.
Aku
menjerit minta tolong lalu memeluk adikku “ Firly bangun, jangan tinggalkan
aku. Kakak Cuma punya kamu.”
Nenek menenangkan dan membelai rambutku tapi entah
kenapa aku menyalahkan Tuhan dalam hidupku. “Ya Tuhan, apa salahku kenapa kamu
mengambil orang yang aku sayangi? Kenapa-kenapa ya Tuhan?” dulu ayah, lalu ibu
dan sekarang adikku satu-satunya kau ambil pula”
Aku menagis menjerit-jerit. Tak kuasa nenekku
menenangkanku.
Kusaksikan
semua prosesi penguburan adikku, di atas timbunan tanah merah aku berdoa,
semoga adikku menungguku di surga.
Aku berjalan lunglai kembali ke rumah. Perasaanku
kacau tak kuasa aku menerima kenyataan ini.
Sehari setelah Firly meninggal, paman menjemputku ke
Sinjai. Aku menolak karena aku tak ingin berpisah dengan adikku walaupun dalam
bentuk kuburan. Om Faisal memaksaku. Aku tak bisa menolak. Sekali lagi hatiku
terluka. Aku berkemas mengumpukan pakaianku dengan linangan air mata dan selanjutnya
berangkat ke Sinjai meninggalkan nenek yang menyayangiku. Aku kembali
kehilangan.
Setelah perjalanan jauh setengah hari lamanya, aku
sampai di Sinjai. Aku diantar ke sebuah rumah ukuran kecil yang kelihatannya
sepi. Aku diam tak bergeming. Aku menurut Om Faisal saja. Dari pintu masuk kulihat seseorang tidur
terlentang di atas bale-bale beralaskan kasur. Aku masuk dengan ragu-ragu. Kutatapi
wajah yang terbaring. Ternyata ayahku yang telah lama menghilang. Aku
memeluknya. Aku bersyukur telah dipertemukan dengan ayahku. Matanya layu,
badannya kurus, aku menangis karena kasihan. Aku bertekad untuk merawat ayahku
agar aku tidak kehilangan sekali lagi.
Entah kenapa Om Faisal mengembalikanku ke Bone setelah
sepuluh hari bersama ayahku. Mungkin karena keadaan ayahku yang kian membaik
atau mungkin karena sekolahku. Yang kutinggalkan.
Setelah om Faisal hendak pulang, ia mengingatkanku
agar jika kelak tamat sekolah dasar, aku harus ikut ayah ke Sinjai. Aku
mengangguk saja. Tiga tahun lagi dan itu masih terlalu lama bagiku.
Aku betul-betul ke Sinjai menjelang pendaftaran siswa
baru untuk masuk SMP. Ayahku menyarankan untuk masuk SMP terdekat, yaitu SMP 4
Sinjai Timur. Aku menurut. Saja. Om Faisal banyak membantuku untuk masuk
sekolah itu termasuk menyiapkan keperluan sekolah.
Kini aku ikhlas tinggal bersama ayah walau jauh dari
keramaian kota. Dengan pekerjaan ayahku
sebagai nelayan, hidupku jauh dari pas-pasan. Kembali aku memasuki hidup yang
serba sulit bersama ayahku yang hidup sendiri.
Ternyata serumah dengan ayah bukanlah hal yang
menyenangkan. Ia selalu memarahi dan bahkan memukulku. Ayah tidak sayang
padaku, aku korban pelampiasan kemarahannya pada ibu. Tak ada pilihan lain, aku
harus bertahan. Karena dialah satu-satunya orang tuaku kini.
Pernah suatu hari karena persoalan sepele ayah
memarahiku habis-habisan. Aku melawan. Aku memuntahkan kekesalanku pada ayah.
Aku melawan dan berkata “Aku benci, benci, benci sama ayah.” Kata-kata kasar itu keluar dari
mulutku. “Kenapa ayah tidak memikirkan perasaanku. Gara-gara ayah ibu pergi
meninggalkan kita dan Firly meninggal”
“Airin, jaga ucapanmu” bentak ayah. “ ini bukan salah
ayah. Bukan ayah yang mau berpisah dengan ibumu” bela ayah.
“Ayah bohong, ayah selalu membentak ibu” suaraku
semakin keras.
“Airin!” ayah mendamparku.
Aku menjerit memegang pipiku “Ayah jahat, ayah selalu
memukulku, ayah tak pernah sayang padaku.” Aku berlari ke tempat tidur. Hanya
tangis yang bisa kulakukan. Dalam perih seperti ini, aku cuma ingat ibuku yang
kini entah dimana taka ada kabar berita demikian pula biaya hidup yang
dijanjikan tak pernah ia kirim kepadaku. Apakah ia masih hidup?
***
Kehadiran Arya di ruang UKS membuyarkan lamunanku “Ayo pulang”
Aku
bangkit perlahan lalu mengikuti Arya ke tempat parkir. Aku kembali ke rumah
berboncengan dengan Arya, sepupuku. Ia yang setiap hari mengantar dan
menjemputku ke sekolah. Terima kasih Arya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar