Jumat, 24 Oktober 2014

CERPEN KARYA SISWA


PILIHANKU SMP 4 SINJAI TIMUR
Andi Milyar Wahyu


Ketika tamat di SD Mi. Darul Istiqamah Bongki, saya sempat bingung saat  harus sekolah di SMP mana.
Di depan Masjid Al-Amin kutemui Amar yang sedang makan Siomay “Kalau tamat SD kamu lanjut dimana?
“Insya Allah saya akan masuk Pesantren Tujuh-tujuh. Kalau kamu?” Amar balik bertanya
“Saya belum tahu mau lanjut dimana” Jawabku
“Bagaimana kalau kita sama-sama lanjut di Pesantren Tujuh-tujuh”?
Aku tak bisa jawab. aku tersenyum saja lalu berpamitan pulang karena telah petang dan ayam telah pulang kekandangnya.
Di tengah jalan seorang ibu  yang memegang cangkul memanggilku. Aku mendekatinya.
“Tolong yah, menggalikan lubang
“Buat apa?” tanyaku
“Untuk mengubur kucing ini” katanya sambil menunjuk kucing yang tergeletak di sampingnya. “Kucing ini tertabrak mobil. Lanjutnya.
Aku pun mengambil cangkul dan mulai menggali.
“Jika kamu melihat kucing mati di jalan, ambillah dan kuburkan. Biar tidak busuk” katanya ketika aku memasukkan kucing itu ke dalam lobang.
Ketika aku pamit hendak pulang Ibu itu memberiku uang Rp.5.000,-. Aku menolak.
              “Saya ikhlas koq,Bu” kataku sambil menolak uangnya.
               “Saya juga ikhlas. Anggap saja sebagai tanda terima kasih saya atas bantuanmu, Nak”
              Saya mengambil uang itu dengan terpaksa walau aku juga sebenarnya membutuhakn uang.
Hari semakin malam ketika aku sampai di rumah
              “Dari mana saja kamu? Kenapa baru pulang dari siang kamu pergi. Kenapa terlambat pulang?” Bertubi-tubi pertanyaan kakakku.
            “Aku pulang sore. Tapi di jalan seorang ibu menyuruhku mengubur kucing lalu diberi upah Rp.5.000,-.”
            “jangan terlambat lagi. Sekarang mandi dan tabung uangmu itu” perintah kakakku sambil melipat baju.    
              Di rumah ini saya Cuma berdua dengan Kakakku, Mirna. Ia tidak tamat Sekolah dasar tapi pandai menjadit. Itulah mata pencaharianya. Ayah, ibu dan dua kakakku menetap di Lampung.  Saya juga Lahir di Lampung kemudian pindah ke Sinjai.
               Usai mandi dan ganti baju, aku menghampiri kakakku mengajukan pendapat. “saya mau lanjut ke Pesantren Tujuh-tujuh bersama temanku”
            “Boleh saja tapi tanya dulu Kak Daya Siapa tahu ia tidak setuju” jawab Mirna
              Daya adalah kakakku yang sudah menikah dan ikut suaminya menetap di Mangarabombang Sinjai Timur. Daya mengajar di sekolah Dasar.
           Aku surut beberapa tindak dan tidak melanjutkan usulanku.
            Minggu pagi  Kak Daya dan suaminya datang ke rumah. Ia membelikan kami mie pangsit di warung  depan rumah.
            Aku pun mengusulkan untuk bersekolah di Pesantren Tujuh-tujuh.
          “Kenapa jauh sekali. Yang dekat-dekat saja. Di SMP4 Sinjai Timur saja.  Sekalian kau tinggal di rumah.”
          Aku tertegun sebentak mendengar jawaban Kakakku lalu ku jawab “kabarnya SMP 4 iru sekolah pembuangan”
           “Kakakku menahan  suapannya “Siapa bilang, SMP 4 adalah sekolah berprestasi. Selalu menjuarai semua jenis pertandingan baik tingkat kecamatan maupun tingkat kabupaten.” Jawab kakakku bersemangat.
           “Lomba apa saja” aku menyela
              “Apa saja seperti olah raga dan olimpiade sains.” Jawab kakakku.
Aku mengangguk.
                Hari Senin aku dipanggil kakak Daya  ke Sinjai Timur. Hari itu pendaftaran di SMPN 4 Sinjai Timur dibuka sekaligus pindah rumah dari rumah kakakku yang satu ke yang lainnya
Aku diantar kakak iparku ke SMPn 4 untuk mendaftar. Untuk pertama kali saya  ke sana. Terasa asing rasanya. Sekolahnya di atas  bukit, pekaranganany luas ditumbuhi banyak pohon. Terasa sejuk apalagi siang hari karena angin laut yang bertiup sepanjang hari.  Saya menyukai sekolah ini.
Karena malu-malu, kakak iparku yang mengambilan saya formulir, mengisinya dan menyetorkannya kembali bersama kelengkapan yang diminta. Aku dinyatakan diterima. Lega hatiku.
Hari itu saya tidak tahu kalau ada perngenalan siswa baru. Pagi-pagi aku memperbaiku pintu kamar tidur ketika kakak iparku mengingatkan. Aku bergegas mandi dan berangkat sekolah dengan naik motor sambil memegang sapu lidi. Di persipangan Jalan Andi Akbar aku bertemu Anca yang saya belum kenal betul.  Saya memboncengnya ke sekolah.
Karena tidak tahu harus bagaimana, aku duduk saja di atas motor diparkiran sekolah sambil melihat-lihat pohon jati yang sedang berbunga. Saya belum punya teman. Dua guru memasuki pekarang yang belakangan kuketahui berama Pak Suardi dan Pak Abd. Karim. Beliau menyuruh kami memungut sampah.   Aku bersama teman-teman yang hadir melaksanakan perintah itu dengan sigap. Dauh pohon jati berserakan. Itulah yang dipungut satu persatu.
Karena sudah kuanggap selesai, Kembali saya duduk di atas motor sambil menggigit kuku. Datanglah lima orang siswa yang saya tidak kenal. Ia memperkenalkan diri, Aldi, Risal, Arham, Fajar, dan Nawir. Aldi menyodorkan padaku sebiji permen sambil bertanya “ Anak mana?
“Anak Cokro” jawabku. Ia pun memberiku lagi permen lalu pergi.
Ternyata saat  pembagian gugus, saya berada di gugus VIIC. Saya bertemu Aldi yang telah meberiku gula-gula. Ternyata saya satu kelas dengannya.
Kami disuruh membersihkan kelas sebelum berlomba memilih tempat duduk masing-masing. Aku sebangku dengan Aldi, teman terbaikku hingga kini.
Jumat pertama di sekolah itu kami disuruh berkumpul dilapangan untuk senam kesegaran jasmani dilanjutkan dengan memilih pengembangan diri apa yang akan kita ikuti.  Aku bingun mau pilih yang mana. Terlalu banyak pilihan. Matematika, fisika, bahasa Inggeris, menjahit, computer, olah raga dan banyak lagi.
Arham, siswa kelas VIIb  mengajakku ke pengembangan diri atletik yang dibina langsung oleh guru olah raga Pak Ompo. Kesan pertamaku guru olah raga ini galak tapi ternyata ketika kami diajak berkumpul di samping laboratorium  dan menentukan bidang atletik apa yang akan kumasuki, penilaianku pada guru olah ragaku berubah total. Ia baik, layaknya seorang ayah.
Aku memilih lompat tinggi sebagai pilihanku. Aku mencoba berkali-kali tapi selalu gagal melompat sesuai teori gaya gunting. Pak Ompo selalu menyemangatiku sehingga aku semakin bersemangat melompat hingga akhirnya capek sendiri. Aku duduk mengasoh di bawah pohon dan guru berkulit coklat itu menghampiriku.
“Jika kamu ingin berhasil, kamu harus berlatih terus dan sering-seringlah menggantungkan kakimu” kata pria paru baya itu.
Aku mengangguk.
Setelah capek berolah raga aku masuk kelas dan bergabung dengan teman-teman yang lagi nyanyi bersama  guna kenal lebih akrab lagi. Aku puas telah dapat berbaur dengan-teman-teman baruku.
Tak terasa semester I tiba. Saat ujian semua siswa siswa sibuk membuat catatan. Ada yang menulis di meja, di kursi, di kertas dan di paha. Tetapi ada juga yang mengandalkan temannya. Aku juga panic. Maklum saja ini adalah semester pertama di sekolah ini. Seperti apa dan bagaimana belum tahu.
Setelah pelaksanaan ujian semester, tibalah aku pada kesempatan menguji nyaliku dalam Porseni antar kelas. Walaupun ragu dan tidak percaya diri, aku tetapi milih lompat tinggi sesuai pengembangan diri yang kuikuti dan memberanikan diri mendaftar pada ketua OSIS.
Pada lompatan I, II,dan III, aku berhasil, aku masuk tiga besar. Mistar lompatan pun dinaikkan. Aku melihat mistar lompatan semakin tinggi.
Saat lompatan pertama, kaki tersangkut di mistar lompatan. Masih ada kesempatan kedua. Aku mencoba menenangkan diri agar tidak terlalu termotivasi untuk juara karena bisa mempengaruhi staminaku..
Kesempatan kedua juga gagal. Pak Ompo mendekatiku dan berkata “Perkuat  hentakan dan angkat kaki setinggi-tingginya”
Aku mencoba teori itu dan aku lolos. Mistar lompatan dinaikkan lain.  Nyaliku mengecil. Terlalu tinggi di perasaanku. Aku gagal dan gagal.
Saat pengumuman pemenang lompat tinggi diumumkan pemenangnya masing-masing , Agus kelas IXC, Irvan kelas IXA dan aku kelas VIIC.  Aku melompat kegirangan. Walaupun aku Cuma juara III,inilah pretasi pertama seumur hidupku. Kutekan dadaku dan bertekad dalam hati untuk menjadi njuara I pada Porseni tahun depan.
Aku terus berlatih dan berlatih pada setiap Jumat saat pengembangan diri dilaksanakan hingga sampai pada Porseni 2013.
Aku kembali mendaftar sebagai peserta lompat tinggi pada ketua OSIS. Walau sainganku semakin banyak, aku berhasil menyisihkan semuanya dan aku jadi pemenanganya. Aku diberi  uang dari wali kelasku Rp.10.000,- dan sebuah piagam.
Rasa senang luar Biasa. Berita ini kusampaikan pada kakakku dan orang tuaku di Lampung. Piagamku kupasang di dinding kamarku.  Liburan semesterku terasa berbunga-bunga. Terima kasih Tuhan
Sinjai, 20 Oktober 2014..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar