Senin, 27 Oktober 2014

CERPEN


SESAL
Syatrawati/IXc


Jam menunjukkan pukul 6.30 ketika aku terbangun pagi itu. Kubuka jendela dan membiarkan angin sejuk memasuki kamarku. Kuhirup udara segar dalam dalam sambil menikmati aroma embun pagi dan sinaran matahari lembut menyinari tubuhku.
Hari ini hari Jumat, hari dimana diadakan Senam Kesegaran Jasmani sebelum pelajaran dimulai. Aku harus berangkat lebih pagi dari biasanya  Aku bergegas ke kamar mandi,  mengenakan baju olahragaku dan berlari ke sekolah.
Bel berbunyi ketika aku sampai di pintu gerbang sekolah. Aku meletakkan tasku di depan kelas untuk ikut SKJ.   Hari ini tidak seperti biasanya. Semua siswa kelas VII dan VIII memakai baju pramuka. Hanya  kelas IX yang mengenakan baju olah raga.
Setelah SKJ, guru olahraga mengumumkan kalau pada setiap hari Jumat dan Sabtu,  siswa mengenakan pakaian pramuka kecuali siswa yang hari itu berolahraga yang diperkenankan memakai baju olahraga.
Aku panik sejenak, aku tak punya baju pramuka dan pada hari Sabtu aku tidak ada pejaran olahraga. Bagaimana ini.
Sabtu pagi, sebagian besar temanku sudah memakai baju pramuka dan sebagian lagi masih memakai baju putih biru seperti biasanya. Semua sudah punya rencana untuk membeli paling lambat besok Minggu. Aku diam saja tak bergeming.

Seminggu berlalu tak terasa dan sebelum ke  sekolah hari Kamis itu, aku langsung  menyuruh  ibu membelikanku baju pramuka dan mengatakan kalau tidak dibelikan baju pramuka, aku tak akan kesekolah.
”Iya, nanti ibu belikan tapi nanti setelah lebaran.” bujuk ibuku.
“Baju pramukanya dipakai Jumat besok” aku merengek. Ibu terdiam.
“Pokoknya aku tak mau kesekolah kalau tidak punya baju pramuka. Besok harus ada baju pramuka” kataku memaksa.
“Kepalaku sakit. Ibu tidak bisa ke pasar. Bagaimana kalau hari Minggu setelah lebaran” ibu membujukku tapi aku tidak menanggapinya.
Ibu pun memaksakan diri ke pasar untuk membelikanku baju pramuka. Kulihat ia sudah jauh berjalan membawa keranjang belanjaannya ketika aku meninggalkan pekarangan dan  berlari ke sekolah.
Sepulang sekolah ayah mencegatku di pintu.
“Ibumu belum pulang dari pasar” keluh Ayahku
Firasatku buruk . “Apakah barang belanjaan ibuku hilang?”
Aku mencoba menenangkan diri dengan menonton televisi sambil menunggu ibu pulang. Terdengar suara motor berhenti di depan rumah.  Aku berlari ke pintu. Ada yang aneh, ibu pulang naik ojek. ibu tidak membawa keranjang belanjaannya. Ia hanya membawa kantong plastik.
Dengan mata memerah seperti telah menangis, ibuku duduk memijit kepalanya dan bercerita kalau barang belanjaannya hilang saat dia meletakkan di depan sebuah toko untuk membeli terigu dan bahan kue lebaran.
Mendegar cerita ibu, aku tertunduk menyesal. Mengapa aku memaksa ibuku ke pasar padahal dia sedang sakit. Guru olahraga memberi  kesempatan untuk memakai baju pramuka.
Aku tertunduk. Air mataku menetes menyesali  lakuku. Uang yang digunakan ibuku untuk membeli baju pramuka adalah hasil panen bulan lalu. Ia jual gabahnya yang semestinya disimpan untuk dimakan.
Mestinya aku tidak sekeras itu, Ayahku petani. Hidup sederhana. Terseot-seot ia membiayai kami berempat bersaudara. Kakak sulungku Jamil  kelas X di SMA, adik perempuanku Mia kelas VI sekolah Dasar. Adik bungsuku Daud, baru berusia dua tahun.
Jamil orangnya jahil, pemarah, dan  suka menganggu, Mia sangat manja dan menyebalkan. Aku hanya suka Daud, teman bermainku jika pulang sekolah.
Aku mungkin boleh dibilang egois. Aku katakan demikian karena aku sering marah jika disalahkan walaupun itu kesalahanku. Pernah suatu hari aku disuruh membeli obat untuk kakakku yang sedang sakit. Tetapi obat yang kubeli tidak sesuai dengan obat yang diminta ibuku.
“Kenapa kamu membeli obat ini” keluh ibuku.
“Hanya obat ini yang ada” kataku bela diri.
“Kalau tidak ada obat lain di sana, mengapa kamu tidak pergi ke tempat lain. Memangnnya penjual hanya satu?” kata ibuku dengan nada tinggi.
“Tempat lain kan jauh. Kalau mau, Ibu saja yang pergi ke sana dan jangan pernah menyuruhku lagi” Kataku dengan suara yang lebih keras.
Aku kemudian berlari ke kamar dan membating pintu. Aku marah dan mogok makan. Tak kuhiraukan siapapun yang mengajakku makan. Tapi kemudian aku merasa lapar dan perutku terasa melilit. Aku tidak mau keluar kamar karena gengsi. Aku sudah mengatakan pada ibu kalau aku tidak mau makan. Karena tuntutan perut, saat ibu dan adik-adikku keluar rumah, aku ke dapur untuk makan lalu kemabli lagi kekamar melanjutkan mogok makanku.
Dengan langkah kecapean ibuku berdiri memijit kepalanya. Aku merasa sangat kasihan. Aku berdiri mengikuti ibu menuju kamarnya. Dengan perlahan ia membuka kerudungnya dan mengganti bajunya dengan daster. Lalu tertidur lemas. Hatiku pedih.
Aku ke kamar dan menangis menyesali nasibku.

***

Terdengar takbir berkumandang dari Masjid Jami dekat alun-alun. Aku bangkit dari tempat tidur, kubangunkan  Mia yang tidur di sampingku. Kubuka jendela dan kubiarkan udara segar memasuki kamarku. Kuhirup udara segar dengan aroma embun pagi. Kuikutkan tekad dalam hati untuk berubah menjadi lebih baik.
Dengan Mukena bersiap hendak sholat Idul Adha. Aku menemui ibuku di kamarnya. Aku memeluknya dengan buliran air mata.
“Maafkan aku Ibu, aku berjanji mulai hari ini akan lebih baik”
Ibu mencium keningku lalu memadangku dengan senyum “Aku tidak apa-apa Ria, aku ikhlas berbuat apapun untuk kalian semua.”
Air mataku mengalir lebih deras. Kupeluk ibu erat-erat.  Kurasakan punggungnya yang kurus karena penderitaannya membesarkan anak-anaknya. Oh Tuhan muliakanlah Ibuku di sisi-MU.

Sabtu, 25 Oktober 2014

CERPEN


DIMANA KAU IBU
Putri Yuni Wahyuni

Pagi itu aku bangun telat. Sudah pukul 06.00 aku bergegas beres-beres lalu berangkat ke sekolah. Seperti biasa hari Senin sebeum pelajaran dimulai, akan diadakan upacara penaikan bendera. Aku harus lebih pagi dari biasanya.
Walau perasaanku hari itu kurang enak, aku tetap ikut upacara. Entah kenapa di saat upacara berlangsung. Aku mendadak pusing, mata berkunang-kunang. Kedua kakiku rasanya tak kuasa untuk menopang tubuhku. Aku oleng.
Kia yang berdiri di sampingku meihat kejadian itu. “Aku pusing” keluhku pada Kia.
            Ia memanggilku “Airin, aku membawamu saja ke ruang UKS”
Aku menggeleng “Tidak usah aku masih kuat”
Aku mencoba bertahan tapi di akhir upacara, aku oleng dan terjatuh teman-teman memapaku ke ruang UKS. Di ruang UKS  aku panik dan menangis karena napasku sesak. Guru Pembina Siswa mengobatiku dengan mantra. Perasaanku lebih tenang hingga kemudian aku dibolehkan ke ruang kelas.
Saat pelajaran berlangsung, Pak Sigit guru IPS yang bertindak sebagai Wali kelas IXD memasuki ruang kelas untuk mengecek siswa “Saya membawa formulir untuk biodata calon siswa yang akan mendapatkan bantuan Pendidikan Gratis bagi siswa tidak mampu”kata Pak Sigit.
Pak sigit lalu menghampiriku dan bertanya.
“Airin, ibumu kerja apa?
“Ibuku merantau ke Malaysia dan bekerja di kebun kelapa sawit”
“Ayahmu?”
“Aku ikut ayah,  ayah dan ibuku telah berpisah kurang lebih sembilan tahun lalu. Ayahku kerja serabutan. Kadang ikut ke laut dan kalau tak ada tawaran, kerja apa saja”
“Berapa besar kiriman ibumu perbulannya”
Pertanyaan Pak Sigit melelehkan air mataku. Aku bersandar pada Afika untuk mengimbangi perasaanku.  Aku merasa sedih atas pertanyaan Pak Sigit. Aku tak tega mengungkit-ungkit masa laluku. Terlalu menyedihkan buatku. Aku mau tak ada orang yang bertanya tentang itu agar aku bisa melupakan kisah lamaku.
“Jangankan kiriman uang, kabar beritanya pun tak pernah ada” jawabku
Aku terjatuh tak berdaya. Saat aku sadar, ternyata aku di ruang UKS ditemani Afika ketua kelasku.  Afika orangnya cerewet namun lucu dan baik hati.

***


            Kubuka pintu jendela, kutatap langit biru. Burung-burung bersiul dengan merdu . pintu kamar berderik terbuka. Aku membalikkan tubuh. Ibuku berdiri  dengan senyum ragu-ragu. Aku ikut tersenyum untuk seseorang ibu yang berdiri di hadapanku. Aku merengek dengan manja. Ibu membelaiku dengan penuh kasih sayang dan mengelus rambutku. Tak seperti hari-hari sebelumnya. Aku merasakan sesuatu yang beda dengan ibu Pagi  ini.

            “Rin” Ibu memanggilku sambil menagis.
“Kenapa menangis” tanyaku curiga.
Kuangkat kepala ibu  “Ibu kenapa?”
Ibu mengecup keningku dengan lembut. Aku tak kuasa menahan tangis.
“Airin, Ibu tidak apa-apa. Kamu jaga dirimu baik-baik.”
Aku semakin heran dibuatnya “Emangnya Ibu mau kemana?”
“Rin, Ibu harus pergi mencari nafkah” kata ibu sambil membelai rambutku.
“Kenapa mesti ibu? Ayah kemana, Bu?” desakku.
“Rin, Ibu minta maaf. Ibu tidak bisa ceritakan semuanya karena kamu masih kecil. Nanti kamu akan tahu sendiri bila kamu telah tumbuh dewasa.”
“Tapi Bu..” Ibu memotong pembicaraanku.
“Kamu harus ihlas melepaskan Ibu. Baik-baiklah dengan Nenekmu”
Aku memeluk ibu dengan sekuat mungkin air mataku tak henti-hentinya membasahi pipiku.

Keesokan harinya ibu pergi meninggalkan aku dan adik lelakiku. Rasanya hati ini tidak ikhlas melepaskan orang yang  kusayangi.  
“Aku akan selalu merindukan Ibu.” Kataku kemudian.
“Airin, Ibu titip adikmu” kata ibu sambil melangkah perlahan meninggalkan pekarangan. Menaiki metro mini dan pergi.
Peristiwa itu sudah lama berlalu. 9 tahun hukanlah waktu yang singkat untuk kulaui. Setiap hari aku selalu menuggu siapa tahu tiba-tiba ibu datang. Ibu telah pergi ke Malaysia tanpa kabar berita. Entah kapan bisa bertemu kembali. Hari-hariku dirundung rindu. Dalam sholatku aku selalu bersujud mendoakan ibu agar cepat kembali. Setiap  saat aku selalu  menatap foto ibu bersamaku ketika aku masih bayi. Jika senja datang dan ayam sudah naik di pohon, dan anak ayam berciap-ciap hendak dikeloni ibunya, rasa rinduku kepada ibu tak tertahankan. Aku menangis memeluk adikku menunggu dan menunggu kepulangan ibu di rumah nenekku.
Belakangan kuketahui ibu pergi  karena sebuah pertengkaran hebat dengan ayah. Lalu ayah ke kemapungnya di Sinjai. Memang tiap hari Aku sering mendengar mereka bertengkar. Jika demikian aku cuma menangis menutup kuping yang terasa hendak pecah.  Lalu kemudian ayah dan ibu bercerai.
“Mengapa Ibu dan ayah mesti bercerai?” keluhku dalam hati. Dalam lubuk hatiku aku menyimpan kebencian kepada orang tuaku. Mereka tak mengerti perasaan akan-anaknya. mereka hanya memikirkan diri sendiri .


Hari-hariku diisi dengan rasa kesepian. Di pikiranku hanya ada ibu, ibu dan ibu. Tiba-tiba adikku Firly memanggilku.
“Kakak Airin kenapa?
Sejenak aku menatap wajah adikku yang mirip ibu “Kakak tidak apa-apa”
“Terus kenapa Kakak Airin bengong”Firly,
“Tidak ada apa-apa  Kakak Cuma kangen saja sama Ibu”
“Bukan Kakak saja yang kangen. Firly juga tapi kata nenek, kita harus sabar.
Aku memeluk adikku. Bocah 5 tahun ini membuatku tetap semangat.

Jika malam  menjelang dan Firly hendaK tidur, aku selalu menyuruhnya tidur duluan. Ia selalu meminta kuceritakan dongeng untuknya.  Aku selalu mengiyakan sambil mencubit lembut pipinya. Firly tersenyum sambil memegang buku dongeng sekolah. Firly tertidur pulas dengan dongengku yang itu-itu juga.

Tanggal, 17 Maret 2006, Firly terkena sakit.  Wajahnya kusut dan layu terbaring lemas di atas tempat tidur. Berbagai upaya yang dilakukan nenek untuk menyembuhkan Firly hingga siang itu  Tuhan berkehendak lain. Firly mengigau menyebut nama ibu. Aku menghampiri Firly untuk membangunkannya. Tak banyak reaksi dari Firly. Aku panik dan menangis. Kucium keningnya. Kurasakan  panas yang luar biasa di dahinya. Aku tak tahu berbuat apa. Tubuhku terasa lemas. Kupeluk adikku yang sepertinya tak sadarkan diri. Nafasnya turun naik dan aku semakin panik.
Nenek menarikku menjauh dan membiarkan Firly terbaring tenang. Nafasnya semakin lama semakin pelan hingga wajahnya semakin pucat dan tak bergerak.
Aku menjerit minta tolong lalu memeluk adikku “ Firly bangun, jangan tinggalkan aku. Kakak Cuma punya kamu.”
Nenek menenangkan dan membelai rambutku tapi entah kenapa aku menyalahkan Tuhan dalam hidupku. “Ya Tuhan, apa salahku kenapa kamu mengambil orang yang aku sayangi? Kenapa-kenapa ya Tuhan?” dulu ayah, lalu ibu dan sekarang adikku satu-satunya kau ambil pula”
Aku menagis menjerit-jerit. Tak kuasa nenekku menenangkanku.
Kusaksikan semua prosesi penguburan adikku, di atas timbunan tanah merah aku berdoa, semoga adikku menungguku di surga.
Aku berjalan lunglai kembali ke rumah. Perasaanku kacau tak kuasa aku menerima kenyataan ini.

Sehari setelah Firly meninggal, paman menjemputku ke Sinjai. Aku menolak karena aku tak ingin berpisah dengan adikku walaupun dalam bentuk kuburan. Om Faisal memaksaku. Aku tak bisa menolak. Sekali lagi hatiku terluka. Aku berkemas mengumpukan pakaianku dengan linangan air mata dan selanjutnya berangkat ke Sinjai meninggalkan nenek yang menyayangiku. Aku kembali kehilangan.
Setelah perjalanan jauh setengah hari lamanya, aku sampai di Sinjai. Aku diantar ke sebuah rumah ukuran kecil yang kelihatannya sepi. Aku diam tak bergeming. Aku menurut Om Faisal saja.  Dari pintu masuk kulihat seseorang tidur terlentang di atas bale-bale beralaskan kasur. Aku masuk dengan ragu-ragu. Kutatapi wajah yang terbaring. Ternyata ayahku yang telah lama menghilang. Aku memeluknya. Aku bersyukur telah dipertemukan dengan ayahku. Matanya layu, badannya kurus, aku menangis karena kasihan. Aku bertekad untuk merawat ayahku agar aku tidak kehilangan sekali lagi.

Entah kenapa Om Faisal mengembalikanku ke Bone setelah sepuluh hari bersama ayahku. Mungkin karena keadaan ayahku yang kian membaik atau mungkin karena sekolahku. Yang kutinggalkan.
Setelah om Faisal hendak pulang, ia mengingatkanku agar jika kelak tamat sekolah dasar, aku harus ikut ayah ke Sinjai. Aku mengangguk saja. Tiga tahun lagi dan itu masih terlalu lama bagiku.

Aku betul-betul ke Sinjai menjelang pendaftaran siswa baru untuk masuk SMP. Ayahku menyarankan untuk masuk SMP terdekat, yaitu SMP 4 Sinjai Timur. Aku menurut. Saja. Om Faisal banyak membantuku untuk masuk sekolah itu termasuk menyiapkan keperluan sekolah.

Kini aku ikhlas tinggal bersama ayah walau jauh dari keramaian kota.  Dengan pekerjaan ayahku sebagai nelayan, hidupku jauh dari pas-pasan. Kembali aku memasuki hidup yang serba sulit bersama ayahku yang hidup sendiri.
Ternyata serumah dengan ayah bukanlah hal yang menyenangkan. Ia selalu memarahi dan bahkan memukulku. Ayah tidak sayang padaku, aku korban pelampiasan kemarahannya pada ibu. Tak ada pilihan lain, aku harus bertahan. Karena dialah satu-satunya orang tuaku kini.
Pernah suatu hari karena persoalan sepele ayah memarahiku habis-habisan. Aku melawan. Aku memuntahkan kekesalanku pada ayah. Aku melawan dan berkata “Aku benci, benci, benci  sama ayah.” Kata-kata kasar itu keluar dari mulutku. “Kenapa ayah tidak memikirkan perasaanku. Gara-gara ayah ibu pergi meninggalkan kita dan Firly meninggal”
“Airin, jaga ucapanmu” bentak ayah. “ ini bukan salah ayah. Bukan ayah yang mau berpisah dengan ibumu” bela ayah.
“Ayah bohong, ayah selalu membentak ibu” suaraku semakin keras.
“Airin!” ayah mendamparku.
Aku menjerit memegang pipiku “Ayah jahat, ayah selalu memukulku, ayah tak pernah sayang padaku.” Aku berlari ke tempat tidur. Hanya tangis yang bisa kulakukan. Dalam perih seperti ini, aku cuma ingat ibuku yang kini entah dimana taka ada kabar berita demikian pula biaya hidup yang dijanjikan tak pernah ia kirim kepadaku. Apakah ia masih hidup?


***


Kehadiran Arya di ruang UKS membuyarkan lamunanku  “Ayo pulang”
            Aku bangkit perlahan lalu mengikuti Arya ke tempat parkir. Aku kembali ke rumah berboncengan dengan Arya, sepupuku. Ia yang setiap hari mengantar dan menjemputku ke sekolah. Terima kasih Arya.

CERPEN

Separuh Mimpiku
Nurlayli


Pagi cerah, embun dingin menembus pagi, kuraih switer merah. Aku berjalan seputar pekarangan menikmati indahnya bunga-bunga, burung berkicauan dan aroma rumput basah yang memanjakan indra penciumanku. Di bawah pohon aku duduk menyandarkan kampasku. Aku melukis. Aku suka melukis.  Cita-citaku menjadi pelukis terkenal. Goresan-goresan tipis di kampasku membentuk kupu-kupu cantik berwarnah merah dengan latar bunga-bunga berwarna biru. Sebuah panorama alam yang begitu indah. Aku puas.
Matahari sepenggalan, kubereskan alat-alat lukisku dan bergegas pulang ke rumah.

Ke sekolah aku selalu bersama Indry teman sebangkuku.  Ia setia menungguku. Sepanjang jalan aku suka memperhatikan  keindahan alam karena aku hanya bisa menuangkan perasaanku melalui lukisan

***

Sejak kelas VII Di SMP 4 Sinjai Timur tempatku bersekolah, aku ikut pengembangan diri IPA Biologi.  Bukan pilihanku, aku dimasukkan saja ke sana. Sebenarnya aku ingin sekali ikut pengembangan diri Seni Lukis tapi aku tidak diberi kesempatan memilih. Mungkin karena aku pintar sehingga guru memasukkanku ke sana.

Sabtu, 9 Maret 2014.
            Aku  diikutkan dalam olimpiade IPA Biologi bersama empat teman lainnya yang ikut olimpiade IPA Fisika, Matematika dan IPS. Entah kenapa aku merasa sangat takut. Aku takut tidak juara dan guru pasti menyalahkanku.
Rasa takut ini kusampaikan pada Kiky temanku.
“Udah tak usah takut. Ngak apa-apa koq. Sekalian cari-cari pengalaman” kiky berusaha meyakinkanku.
Hari ini hari terakhir aku belajar karena lomba sudah mau diadakan. Aku sangat deg-degang dan semalaman aku tak dapat tidur karena gangguan anjing yang menggonggong sepanjang malam.
Hari ini, hari tersulit yang aku rasakan, aku dan teman-teman saling memberi semangat dan keyakinan. Kami berempat dipanggil guru Pembina. Kami diberi pengarahan. Aku disuruh pulang lebih awal karena olimpiade dilaksanakan pukul 13.00 Wita.
Aku mengajak ketiga temanku untuk beristirahat di rumahku karena rumah mereka jauh.
Menjelang berangkat, aku sholat berjamaah  lalu makan bersama.
“Doa sholat dhuhurku tadi, mudah-mudahan SMP 4 bisa juara meskipun hanya salah satu dari empat pelajaran tersebut” kataku dengan penuh semangat di meja makan.
Kiky mengacungkan jempolnya tanda suka dengan doaku.
Aku berjalan memasuki ruangan IPA Biologi di SMP 1 tempat olimpiade dilaksanakan. Ternyata  Cuma aku yang ditunggu. Aku langsung duduk dan berdoa agar bisa menjawab soal dengan mudah.
Sebuah buku hijau tua diletakkan di depanku. dan selembar kertas jawaban. Di situ terterah tulisan “Soal Olimpiade IPA BIologi Tahun 2014., jumlah soal 100 nomor” .
Aku kaget, astagfirullah, banyak banget. Bagaimana aku bisa menjawabnya dalam waktu dua jam.
Perlahan-lahan kubuka buku itu.
Nomor 1 sampai nomor 5,  kuyakini benar. Tapi ketika aku hendak menjawab soal lainnya, kepalaku terasa pusing. Keringatku membasahi kerudung yang kukenakan. Aku seperti orang demam, panasku turun naik.
Satu jam berlalu, aku berhasil menyelesaikan  50 soal. Walau tidak yakin benar semua, aku berusaha konsentrasi menyelesaikan 50 soal berikutnya.
Ada 40 orang peserta dalam ruangan  yang diawasi oleh seorang laki-laki. Aku menoleh melihat satu-persatu perserta.  Aku sama sekali tidak yakin akan mengalahkan  mereka
Dua jam berlalu, aku berhasil menyelesaikan semua soal. Aku kesulitan  dalam penerapan bahasa latin. Aku pasrah saja meninggalkan hasil kerjaku di atas meja dan berjalan menuju pengawas menerima  sebungkus nasi dan sebuah amplop.
Seluruh peserta memperbincangkan soal-soal dalam lomba itu bersama Pembinanya. Tapi aku tidak. Guru pembinaku tidak datang. Aku diam saja sambil bersandar di tiang penyangga teras.
Ibu Pembina akhirnya datang menjemputku. Ia tersenyum padaku
“Gampang atau susah”? Tanya ibu Pembina.
Aku bingung mau jawab bagaimana. Kalau aku bilang susah, nanti ibu Pembina kecewa. Jadi aku hanya tersenyum saja.
Ibu Pembina mengajakku pulang iku di boncengan motornya. Aku setuju saja.
Diperjalanan ibu Pembina menceritakan tentang tanteku yang juara pertama ketika ikut lomba olimpiade IPA Biologi. Ia berharap mudah-mudahan aku bisa seperti tanteku.
Aku hanya berdoa dalam hati mudah-mudahan Tuhan menolongku.
Selang beberapa hari hasil olimpiade sudah keluar. Bapak kepala sekolah mengumumkan pada upacara Senin kalau dari SMP 4 tak satupun yang dapat medali. Aku kaget dan menunduk malu.  Aku sangat malu pada guru pembinaku, aku tak berani melihatnya walaupun dari jarak jauh.
Sejak pengumuman itu, aku tak berani bertemu dengan ibu Pembina. Aku selalu menghindar.

Minggu, 23 April 2014
Pak Taslim, Guru seni budaya di SMP 4 menemuiku. Ia mengajakku ikut lomba seni lukis membatik.  Hatiku bersorak, mimpiku untuk melukis dan memperlihatkan hasil karyaku sebentar lagi terwujud. Pak Taslim memberiku sebuah cat air, kuas, dan buku gambar supaya aku bisa belajar sebelum lomba dimulai.
Aku berlatih di rumah setiap waktu bersama pembimbingku, Wahyu kakakku. Ia pernah menjuarai lomba lukis.
Jam alarm HPku mengagetkanku.  Sudah pukul 06.00 aku bergegas bersih-bersih dan menuju ruang makan.  Nasi goreng, telur dadar dan segelas susu sudah disediakan ibu. Aku langsung melahapnya. Aku harus siap sebelum Pak Taslim datang menjemputku.
Aku sudah menunggu di teras ketika Pak Taslim dan Ayub Hendrawan datang. Ayub Hendrawan adik kelasku yang juga mengikuti  pestival ini. Kami pun berangkat bersama ke kantor Dinas Pendidikan untuk mendengarkan pengarahan. Entah mengapa perasaanku jauh lebih tenang dan santai dibandingkan waktu mengikuti olimpiade IPA Biologi.
Dari Dinas Pendidikan kami dibawa ke SMK 1, tempat lomba diadakan. Rusangan putih abu-abu menyambutku. Aku mengangkat kaki kananku diiringi doa sebagai awal langkahku menuju ke impianku. Aku memilih tempat duduk dekat jendela.
“Bukanlah kamu peserta melukis batik?” Seseorang mendekatiku.

Dengan bingung aku menjawab “Ya”
“Oh Maaf Dek, ruangan membatik bukan di sini tapi di sebelah ruangan ini”
Aku tersenyum  malu dan langsung keluar ruangan diiringi berpasang-pasang mata menatapku.
Pak Taslim menjemputku di ruang batik. Aku disuruh masuk dan lagi-lagi aku memilih tempat duduk dekat jendela.
Pengawas membagikan kertas gambar ukuran besar dan cat air.
Aku mulai membuat sketsa kupu-kupu untuk lukisanku. Karena terburu-buru. Kertas gambar yang sudah selesai kuberi sketsa ternyata terbalik karena ada stempel di pinggir kertas itu sehingga tidak baik untuk diwarnai. Aku mengulanginya lagi.
Warna pertama yang kuambil adalah warna hitam sebagai latar gambarku. Ternyata kualitas cat air yang dibagikan kurang bagus. Aku menggantinya dengan cat air yang kubawa dari sekolah. Kualitasnya lebih baik. Muncul masalah baru. Warnah hitamnya tidak cukup karena kertasnya cukup besar. Aku terdiam sejenak  lalu memberanikan diri untuk meminta cat air warna hitam peserta lomba lainnya yang ada di depanku.
Gadis itu sangat baik. Walaupun aku saingannya, ia ihlas memberiku cat hitamnya.
Aku kembali konsentrasi menyelesaikan gambarku.
Waktu berlalu jam yang ditentukan berakhir, aku menyodorkan gambarku kepada panitia dengan rasa puas. Aku mendapat hadiah sebungkus nasi dari panitia..

***

Cuaca pagi ini cerah, aku pun merasa segar dan senang melangkah memasuki pekarangan sekolah. Ketika melintas di depan ruang guru, Pak Taslim memanggilku  ke mejanya. Pak Taslim memberiku sebuah bungkusan persegi  empat. Di atasnya tertulis untuk Nurlayli, juara 2 lomba membatik dan sebuah amplop.
Aku sempat kaget. Kupegang dadaku lalu kemudian aku tersenyum karena aku juara 2 untuk lomba lukis pertamaku.
Perjalananku masih panjang dan mimpiku untuk menjadi pelukis belum tercapai seluruhnya.