Sabtu, 26 November 2022

Rabu, 15 Desember 2021

 


BERKUNJUNG KE RUMAH NENEK

Athiyya Sabila Afif

Aku bangun lebih pagi di hari pertama libur semester karena hari ini aku bersama ayah dan ibuku akan mengunjngi nenek yang bertempat tinggal di kota Makassar.

Karena jarak tempat tinggalku dan kota Makassar cukup jauh maka diperlukan bekal sekaligus oleh-oleh buat nenek. Buras dan abon ikan.

Kami sarapan bersama dengan hidangan seperti bekal yang sudah disiapkan. Buras, mie instan, dan ikan kering. Terasa enak dinikmati pagi.

Sementara aku mandi, ibu menaikkan barang-barang dalam mobil. Sepupuku ikut serta dalam perjalanan ini. Ketika aku keluar dari kamar mandi Wahda sepupuku ada di kamarku melihat-lihat Hpnya. Aku segera berganti baju dan menaikkan tasku dalam bagasi.

Belum pukul 08.00 ketika kami meninggalkan rumah. Ibu duduk di depan di samping ayahku yang menyetir sementara aku dan Wahda duduk di belakang.

Melewati jalan  mendaki dan menikun kiri kanan di atas jurang. kami berada di daerah pengunungan tempat wisata. Wahda mulai pusing dan akhirnya muntah. Wahda tertidur hingga tak sempat melihat pemandangan pengunungan yang indah.

Dua jam berlalu jalan mulai macet. Banyak kendaraan berlalu lalang. Kita sudah memasuki daerah wisata Malino. Mobil berjalan lambat karena kendaraan padat merayap. Aku melihat-lihat kota Malino dari atas mobil. Banyak penjual buah, sayur dan cemilan khas. Ada pula tempat berkuda dan tempat foto-foto yang tersaji sepanjang jalan.

Melewati keramaian, kendaraan mulai berkurang. Kami berisirahat menikmati hidangan khas Malino yaitu cindol Malino. Teksturnya beda dengan cendok yang biasa aku makan. Yang pasti lebih enak.

Perjalanan dilanjutkan melewati jalan cukup luas dan menurut. Tampak dari ketinggian Dam Bili-bili yang luas membentang sepanjang jalan. Lalu mobil berbelok ke kanan melewati penurunan yang lebih tajam dan ramai. Pertanda kota Makassar semakin dekat.

Aku sangat mengantuk di siang terik itu. Mataku tak kuasa untuk kubuka. Aku menyandarkan kepalaku di jok mobil . “Bangun, kita sudah sampai“. Seru ibuku.

 


SAHABAT SEJATI

Andi Wahdaniar Ramadani

Setelah lulus SD aku harus berpisah dengan teman karibku Arsyi. Pasalnya teman sebangkuku tidak direstui oleh orang tuanya untuk ikut bersamaku ke Pesantren.

Arsyi sangat pintar, cantik, rajin dan sopan. Ia hobbi menggambar. Ia mengajariku bagaimana menggabar hingga pada suatu hari aku ikut lomba menggambar. Arsyi juara pertama dan aku juara tiga.

Berangkatlah aku ke sekolah tujuan. Pesantren. Aku berpisah dengan orang tua dan sahabat saya. Cita-citaku ingin menjadi hafizah dan pasih berbahasa Arab.

Mondok di pesantren bukanlah perkara gampang. Aku selalu rindu orang tuaku, rindu rumah dan lingkunganku karena aku pertama kali berpisah dengan orang tua.

Tiga hari dalam pondok, aku ditemani ibuku untuk penyesuaian dengan lingkungan baru. Setelh tiga hari ibuku pulang ke rumah dan peraturan pondok sudah mulai berlaku. Waktu makan sangat sedikit sampai aku dihukum makan karena melewati waktu yang ditentukan dan terlambat ke masjid. dari situ aku berusaha mengubah kebiasaanku yang tidak disiplin.

Jika malam datang rasa rindu kepada orang tuaku kembali datang dan aku menangis. Saat yang bersamaan aku harus menyetor hafalan ke Ustazaf memacu jumlah hafalanku agar tidak sia-sia orang tuaku membiayaiku mondok di pesantren.

Mungkin kebiasaan tidur larut malam membuat aku sakit. Tiga hari aku demam membuat orang tuaku datang menemaniku  di pondok. Aku sangat senang aku bisa tidur bersama orang tuaku kembali. Keadaanku juga membaik dan aku kembali mengikuti kegiatan pondok sampai larut malam.

Esok hari ketika ayah datang menjemput ibuku, aku kembali menangis. Aku menangis minta pulang Orang tuaku tentu saja tidak setuju. Aku tetap merengek hingga orang tuaku terdiam tidak tahu mau berbuat bagaimana. Ustazah datang membujukku dan membiarkan aku melihat orang tuaku pergi meninggalkan pondok. Air mataku berderai melihat mobilnya semakin menjauh.

Satu jam kemudian aku kabur dari pondok.

Tiga bulan berlalu aku kembali bertemu Arsyi. Aku keluar dari pondok dengan alasan tidak bisa berpisah dengan orang tua. Walau aku tidak satu sekolah dengan Arsyi aku bersyukur bisa bertemu setiap hari di luar sekolah.

 


                                                           TETANGGA BANGKU

                                                                       Riki Renaldi

Sebelum mengenal dia hidupku terasa biasa-biasa saja.  Tetapi setelah berkenalan dengan tetangga bangkuku entah kenapa jika bermain bersama tenam di sore dan malam hari terasa lebih indah, terasa lebih bersemangat, dan hatiku terasa berbunga-bunga dibanding hari-hari sebelumnya.

Jika hendak ke sekolah saya merasa wajib menyeterika bajuku agar terlihat licin, menyisir rambutku dengan mengolesinya minyak rambut, menyemprotkan sedikit parfum, dan bercermin meyakinkan penampilanku..

Itu bermula saat pertama masuk SMP saya bertemu dengan teman-teman baru. Di hari pertama itu saya tidak tahu dimana ruang kelas saya. Saya mencari kelasku dengan berpindah-pindah  mencari namaku di pengumuman yang tertempel di depan kelas. Ternyata kelas 7A.

Setelah saya masuk kelas ternyata semua kursi sudah penuh dan tidak ada yang kosong. Aku terlambat. Saya merasa ragu dan malu bertemu teman karena tidak kebagian kursi.

Di saat kebingungan ternyata ada yang mengenali saya. Ia teman sekampung dan duduk di kelas 8. Ia membantu saya mengambil kursi dan meja di kelasnya. Ternyata meja belajar di SD dan di SMP beda. Meja dan kursinya perorangan. Ia mengangkat kursi dan saya mengangkat mejanya.

Saya meletakkan kursi itu paling belakang karena tak ada pilihan lain lalu saya menyibukkan diri mempersiapkan buku sambil menunggu guru datang.

Terdengar suara lembut menyapaku “Hai“ aku terkesiap menatap wajahnya. Ia mengajakku berkenalan. Saya tidak menolak. 

 


                                                       PETUALANGAN RANDY

                                                        Ashabul Kahfi Ramadhan

Aku masih ingat akhir bulan Mei tahun 2018 perpisahan dengan sahabat saya. Siswa kelas lima  berkumpul untuk mengambil rapor untuk naik kelas 6 atau tinggal kelas 5. Setelah pembagian rapor ternyata empat orang tinggal kelas di antara 20 siswa. Salah satunya adalah Randy, sahabatku.

Randy takut pulang ke rumah karena takut pada orang tuanya. Karena Randy kelihatannya bingung dengan musibah yang menimpanya, aku mengajak dia ke rumahku untuk bermalam karena di rumahku tak tak ada  siapa-siapa. orang tuaku pergi ke rumah saudaranya.

Esok harinya aku dan Randy pergi ke rumah Yadi untuk bermain-main. Kami bermain bola. Karena asiknya bermain aku tak sengaja menendang bola dan kena kaca jendela hingga pecah.

Ibunya Yadi berteriak.  Spontan aku dan Randy berlari pulang ke rumah.

Hari sudah siang ketika aku ada di rumah. Aku merasa lapar. Ada ikar lima ekor yang enak jika digoreng. Tapi Randy mengusulkan untuk dibakar. aku pun setuju untuk dibakar saja. Karena ikannya lima ekor aku membakarnya 3 ekor dan menyimpannya 2 ekor untuk makan malam.

Setelah ikan bakar itu masak, Randy pergi BAB dan aku pergi menggambil piring. Ternyata ikannya hilang 2 ekor. Mungkin dimakan anjing. Ikan pun tinggal 1 ekor dan dimakan berdua. Kami tidak kenyang.

Karena Randy punya uang sepuluh ribu, kami pergi makan bakso yang harga 5 ribu. Pukul 01.00 siang kami mampir ke pekarangan sekolah untuk bermain-main sampai pukul 4 sore. pas kami hendak pulang ibunya Randy datang mencari tapi Randy lari dan bersembunyi.

 Aku kembali ketemu Randy di rumah setelah keluar dari persembunyiannya.

Hari semakin sore aku dan Randy mandi sebelum ke Masjid sholat  magrib.

 Tapi sepadai-pandai tupai melompat akhirnya Randy tertangkap juga. Randy terpaksa menyerahkan diri karena setelah sholat Isya kepergok ayahnya.

 


SEKOLAH BARU YANG INDAH

Aryadi Sanjaya

Waktu itu udara masih begitu dingin ketika aku memaksakan diri menyingkap selimutku. Hari itu adalah hari dimana aku harus mulai lagi rutinitas seperti biasa sebagai seorang pelajar.

Aku baru saja lulus dari sekolah dasar. Lulus dengan hasil memuaskan. Aku menghabiskan masa liburan panjang yang bertepatan dengan libur hari raya. Hari libur yang cukup panjang sehingga aku lupa berapa lamanya aku berlibur. Liburan yang panjang membuatku bosan berada di rumah.

 Lulus SD aku melanjutkan ke SMP paforitku. Beruntung aku bisa lolos bersama beberapa teman kelasku di SD.

Hari pertama aku masuk sekolah, aku terkesiap berdiri di depan pintu masuk. Beberapa pohon cemara pinsil menjulang tinggi serasa menjemPutku. Beberapa Ibu dan bapak guru berdiri di pintu masuk dan menyalami kami. Aku merasa tersanjung.

Lapangan sekolah luas berumput hijau yang bersih. Aku yakin ini adalah tempat upacara sekaligus  tempat berolahraga karena tiang bendera berdiri tegak dan dari kejauhan tampak lapangan polly, lapangan basket, dan lapangan sepak takrow.

Lapangan yang luas ini di kelilingi dengan ruang kelas. Dimana tiap-tiap bagian depan kelas ditumbuhi bunga-bunga yang tumbuh subur menghijau dan berbunga. Di sisi kanan ada Mushollah yang dicat berwarna hijau.  ada kantin, dan petunjuk ke arah mana menuju toilet Suasananya sangat menyenangkan.

Aku berkenalan dengan teman baruku. Satu persatu datang menyalamiku. Ainun adalah salah satu teman sekelasku. Ia murah senyum dan cantik.

Kegiatan pertama adalah mengikuti Masa Orientasi Siswa atau biasa disingkat MOS . berbagai materi yang kami ikuti antara lain pengenalan sekolah dan kesepakatan kelas.

Hari Senin hari pertama mengikuti pelajaran. Aku masuk kelas dan mencari tempat duduk. Aku duduk di belakang berdampingan dengan Riki teman dari lain SD. Perawakannya kecil, kulit sawo matang  berambuk cepak. Di samping kiriku ada Ainun kenalan pertamaku.

Tiba-tiba seorang pria berperawakan besar, tinggi, berkulit coklat  masuk ke kelas. Kami semua langung terdiam dan memberi salam. Melihat perawakannya, aku merasa takut  sampai aku gemetar.

“Aduh, bagaimana ini“ keluhku pada Ainun.

“Sudah, Diam. Jangan ribut dulu. Belum tentu bapak itu galak“ jawab Ainun sambil melototiku.

Bapak itu memperkenalkan diri lalu melanjutkan materi pelajaran. Suaranya lembut dan berkesan sangat sabar. Beliau memberi materi dengan sederhana sehingga mudah dipahami. Pelan-pelan rasa takutku berganti dengan rasa simpatik. Aku menarik napas lega.

Kamis, 09 Desember 2021


 

HAMPA

Anggun Reskiana ixb

Tahun 2020 saat virus corona dinyatakan sebagai Pandemi Covid-19 di Indonesia, semua sekolah tatap muka ditutup dan dialihkan menjadi sekolah online.

Aku masih ingat pada hari Selasa, tanggal 17 Maret 2020, siswa dikumpulkan di lapangan mendengarkan pengumuman bahwa sekolah diliburkan selama dua Minggu.

Ternyata kami tidak hanya libur dua Minggu tapi satu tahun lebih. Sampai saat ini saja pandemi belum berakhir entah sampai kapan.

Tahun 2020 rasanya tahun terberat yang pernah aku lalui. Bukan karena masalahku tapi kondisi lingkungan yang memaksakan menerima kenyataan seperti ini. Belajar di rumah bukanlah perkara gampang. Biayanya mahal dan monoton.

Pandemic merubah banyak hal dalam hidupku aku yang biasanya produktif sekali kini menjadi pemalas. Aku yang dulu suka akan keramaian kini aku lebih nyaman saat sendirian berbicara dengan diriku sendiri. Setiap hari hanya di rumah. Tidak boleh kemana-mana. Keluar rumah harus pakai masker karena satu dengan lainnya saling mencurigai. Aku merasa bosan tidak ada yang menarik dari keseharianku.

Setiap hari hanya makan, minum, tidur, dan melakukan beberapa aktifitas tak berarti. Terkadang aku berpikir ingin kembali ke tahun 2019 dimana semua terasa indah apa daya waktu tidak bisa diputar kembali.

Aku menangis meminta kepada orang tuaku untuk pindah sekolah. Di pikiranku saat itu jika aku pindah sekolah aku kembali menemukan diriku yang dulu. Aku bisa kembali semangat untuk membanggakan kedua orang tuaku. Aku bisa kembali meraih prestasi. Mungkin keputusanku bukanlah keputusan yang terbaik, apalagi aku mau pindah ke Pondok Pesantren. Aku iri melihat tamanku yang sudah menjadi hafiz/hafizah. Namun dengan segala alasanku mereka  tetap menyuruhku bersabar dan tetap bersekolah di sini.

Huh……….! Aku benar-benar bingung. Nilaiku terus menurun karena semangat belajarku yang hampIr punah.  jika aku terus begini aku bisa jadi apa?.

Seiring berjalannya waktu, kini kami kembali bersekolah walau secara terbatas. Aku berharap kembali menjadi diriku sendiri. Rasa kangen dengan teman-temanku terobati, semangatku mulai tumbuh kembali. Harapan hari esok bersemi   untuk menggapai impianku masuk ke SMA paforit.

Rabu, 08 Desember 2021

 


BERBURU BABI

A.Muhammad Aiman 

Sinar mentari pagi menerobos lewat cela jendela rumah dan membangunkanku pagi itu. Dengan rasa malas aku merangkak turun dari pembaringan dan membuka jendela. Burung-burung ramai berkicau sekitar rumah. Keriuk pelan dari perutku mengingatkanku kalau aku belum makan sejak kemarin.

Di hari Minggu ini, adalah hari istimewa bagiku. Aku janjian dengan teman-teman untuk pergi berburu babi di hutan. Aku bergegas sarapan dan mandi lalu menunggu teman di teras rumah.

Kanji temanku datang lebih pagi menjemputku. Aku segera mengabil tombakku dan pergi berboncengan motor..

Di hutan Manggala terletak tak jauh dari perkampungan penduduk. Di sinilah babi bersarang dan menyerang tanaman petani pada malam hari. Sabenarnya orang-orang di kampung tidak tega membunuh babi. Tapi karena babi-babi itu merusak sawah, kebun dan tanaman yang ada di dalamnya, maka bergotong royonglah penduduk untuk mengusir dan menangkap babi dari hutan itu.

Setelah sampai di pinggiran hutan Manggala, sudah ramai warga yang datang. Ada yang membawa anjing dan tombak.  Yang tidak punya anjing hanya membawa tombak atau parang.  Aku ikut bergabung dengan mereka.

Tepat pukul 08.00 warga pun berpencar. Ada yang menunggu di atas gunung, ada juga di pinggiran hutan, dan yang punya anjing, langsung masuk ke dalam hutan untuk mencari sarang babi.

Aku dan Kanji berada di posisi menunggu di pinggir hutan. Sesaat  hening kemudian terdengar suara anjing menggonggong. Aku sudah hafal bagaimana gonggongan anjing yang menemukan babi. Aku dan Kanji berlari ke arah dari mana suara gonggongan itu berasal. Seekor babi ukuran sedang lari terbibit-bibit di kejar anjing. Beberapa orang yang menghadang menancapkan tombaknya. Sang babi mengerang kesakitan. Terkapar berlumuran darah. Anjing berkerumun mengigit hingga babi tak bergerak lagi. Salah seorang warga mengusir anjing-anjing yang berkerumum dan babi itu digantung di atas pohon. Satu ekor berhasil dibunuh.

Aku bersandar di pohon menyekat keringatku. Para pemilik anjing memanggil anjingnya kembali dengan siulan atau dengan menyebut namanya dan kembali mencari mangsa berikutnya.

Dari kejauhan terdengar lagi gonggongan seperti sebelumnya. Aku tidak berlari ke arah gonggongan anjing. Tetapi aku berlari ke arah mana suara rebut-ribut penghadang babi. Seekor lagi sudah terkapar ketika aku sampai.

Demikian peristiwa serupa terjadi berkali-kali hingga aku tak kuasa lagi menyaksikan semua pembataian karena kegerahan. Aku duduk bersandar di bawah pohon sambil menunggu para warga berkumpul.

Setelah pukul 13.00, perburuan dihentikan. Para peserta berkumpul di persawahan di pinggir hutan dengan membawa babi-babi yang berhasil dibunuh. Dua belas ekor babi berhasil dibunuh.

Setelah disampaikan pengumuman perburuan berikutnya oleh tetua kampung, babi-babi itu dibagi-bagi untuk makanan anjing.

Rasa lapar dan letih membuatku  buru-buru ingin sampai di rumah.