Jumat, 02 November 2012

STATUS CINTA AMILAH




Tanggal 15 Agustus 2012 Amilah dan Dul menikah. Sebuah pernikahan sederhana atas sebuah cinta lama yang bersemi kembali. Masa-masa pacaran Amilah dan Dul dilalui semasa sekolah hingga menjadi guru. Tapi Tuhan tak menghendaki perjodohan kedua remaja itu. Dul menikah dengan pilihan orang tuanya.
Di pelaminan terlihat cerah di wajah Dul, tapi kelelahan di mata Amilah menyalami tamu-tamu yang datang menyaksikan pengantin yang tak remaja lagi.  Denting cinta kembali bersemi  setelah kandas bertahun-tahun.
****
Amilah baru saja ke luar dari gerbang rumah. Ia diantar  ayahnya dengan naik motor Vespa tua. Ia tak mempermasalahkan vespa berkarat itu yang penting bisa berangkat mengajar dengan selamat.. dari arah berlawanan sebuah mobil melaju kencang menyerempet Amilah dan ayahnya. Ayah Amilah dilarikan ke rumah sakit karena lukanya.
“ Cuma luka ringan. Tak perlu dikhawatirkan.. ia bisa pulang dan rawat jalan.”
Amilah bersyukur mendengar  penjelasan dokter. Ia ingat kata-kata ayahnya ‘Kapan kau menikah? Kamu sudah tak muda lagi.” Kata itu selalu diucapkan setiap kali ia sakit.
Di Rumah sakit, Amilah berpapasan dengan seorang pemuda yang tidak asing baginya.
“Apa kita pernah  berjumpa?”
“Di terminal Mallengkeri” jawab Amilah sambil tersenyum. “ Bukankah kau Fajrin?
“Tante teman ayahku, kan? Kata  Fajrin.
Amilah mengangguk memandangi wajah Fajrin yang mirip dengan Dul, tinggi, putih  ada tahi lalat di dagunya.
“Maaf tante, lain kali bisa ketemu lagi. Aku buru-buru ada kerjaan. aku di sini, dibagian administrasi.”
            “Sampai ketemu lagi.” Kata Amilah setengah melambai. Lalu menutup mulutnya. Bagaimana kabar Dul sekarang? Aku lupa menanyakannya. Rasanya aku ingin bertemu setelah memandang wajah anaknya.
Setiba di rumahnya. Dul, pria yang pernah menjalin cinta dengannya berdiri di teras rumah. Sejak isteri Dul meninggal, ia sering menyempatkan diri bertemu dengan Amilah. Bagi Amilah, tak ada kecewa dua kali atas penghinaan keluarga Dul atas keluarga Amilah. Semuanya tak akan pernah terulang.
“Mengapa kamu ke sini.” Tanya Amilah
Aku mendengar cerita dari anakku. Bahwa ayahmu lagi sakit” jawaban  Dul membuat Amilah kaget. Siapa yang menceritakan semua ini?
“Masuklah dulu” ayah Amilah menyelah di pintu.
Dul tak menerima ajakan itu. Ia pamit pergi sebelum menyampaikan pernyataan turut bersedih atas musibah kemarin.
Walau keadaan telah berubah dan keluarga Dul menyadari kehilafannya, Dul merasa malu bertemu dengan ayah Amilah. Ayah Dul telah menyepelekan keluarga sederhana ini sehingga ia tak jadi menikah dengan Amilah, 25 tahun lalu. Tapi ayah Amilah tak menghiraukan itu karena prinsipnya kemuliaan ada di hati masing-masing, bukan dari pujian atau pemberian siapapun.
Berdiri di pinggir jalan menunggu angkot, Amilah kegerahan. Sejak motor ayahnya rusak ia selalu naik angkot. Sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca jendelanya perlahan turun. “mari!, aku mengantarmu.’ Kata Dul yakin.
Amilah bingung sejenak. Apakah aku harus menerima ajakan Dul? Kalau tidak, ia melirik jam tangannya. Jam pelajaran hampir dimulai. Ia naik dan duduk di samping Dul.
“Aku menjemputmu nanti siang.” Kata Dul ketika Amilah membuka pintu mobil di depan sekolah SMA Pembina. Amilah tidak menjawab. Ia cuma tersenyum. Ia tidak mengharapkan itu lagi. Masa lalu biarlah berlalu.
Sepulang sekolah, Amilah  mampir makan Coto Makassar di samping sekolahan. Coto Makassar adalah makanan pavoritnya.  Disaat memesan coto seseorang menyenggolnya.
“Maaf Tante.” Kata gadis itu
“Wah, kamu kan Jenny anak Dul. Dengan siapa ke sini? Kata Amilah sambil memegang tangan Jenny.
“Iya Tante. Tapi, Dul itu siapa?”
“Maaf, maksud aku Abdullah, ayah kamu”
“Idih, Tante ini siapa sih. Sok kenal.” Ada kesal di wajah Jenny.
Amilah jadi kecewa ia meninggalkan penjual coto dan berjalan menuju halte. Ia dongkol tak nyangka kalau Jenny tak mengenal dia. Apa ia sengaja? Atau....
Sebuah mobil membunyikan klatson di depannya. Kaca jendela pelan terbuka. Dul tersenyum di sana.
“Ayo, naik!.”
Amilah menjadi ragu. Di  mobil itu ada Jenny dan  Fajrin.”Tak usah repot-repot lagi pula aku bisa naik angkot.” Kata Amilah sambil melihat wajah Jenny yang cemberut.
“Cepatlah, kita semua hendak ke rumahmu” kata Dul sambil membuka pintu.
Bagai kerbau dicocok hidungnya, Amilah menurut saja duduk di depan di samping Dul.
Rasa kaku ada di wajah Amilah. Bayangkan, baru saja Jenny mempermalukannya di depan umum. Walau begitu ia harus tegar seperti tak pernah terjadi apa-apa. Amilah menengok ke belakang “Jenny, kapan datang?
“Tadi pagi Tante.” Jawab Jenny dengan ketus. Amilah bertambah kaku.
Di depan rumah Amilah, Dul mematikan mesin mobilnya. Ia mengajak anaknya untuk turun.
“Ini rumah Tante? Ih!, kok ada bebeknya sih. Menjijikkan”
Dul membentak “Jenny! Diam.”.  Dul menghampiri Amilah “ Maaf atas ucapan Jenny tadi”.
Rumah Amilah memang terkesan kumuh.  Selain rumahnya kecil juga ada kandang bebek. Bau busuk menyengat  hidung. Tapi, ayahnya tak mau meninggalkan rumah itu walau Amilah punya rumah sendiri yang terpaksa dikontrakkan karena menemani ayahnya yang sendirian.
“Oh, nak Dul. Ayo silahkan masuk.” Kata ayah Amilah sambil membuka pintu. “
“Perkenalkan anak aku. Fajrin dan Jenny”
“Wah sudah dewasa ya?”
“Ibunya meninggal.” Kata Dul sendu.
“ Turut berduka yang sedalam-dalamya. Maaf telah mengungkit masa  lalu”
“Tak apa, itulah sebabnya aku ke sini. Maksud kedatangan ku mau melamar Amilah.
Mendengar ucapan Dul, Amilah kaget, suaranya tersendat di kerongkongan. Ia tidak menyangka kalau Dul mau melamar dirinya.
“Apa?.. Tak mungkin!” Jenny berlari meninggalkan rumah Amilah. Ia menangis berlari ke jalan raya. Terdengar derik rem mobil dan dentuman keras. Semuanya berlari ke arah suara itu. Jenny tergeletak di pinggir selokan. Wajahnya berlumuran darah...
Walau lukanya agak parah, Jenny menyampaikan permohonan maaf pada Amilah atas kekesalannya. Amilah cuma tersenyum mengiakan. Menggenggam tangan Jenny  lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang. “Tak ada pernikahan tanpa restumu.” Bisik Amilah lembut.
Jenny menumpuk tangan Amilah dan tangan ayahnya di atas dadanya. Ia tersenyum puas memandangi wajah Amilah bergantian dengan wajah ayahnya. Tapi Tuhan berkehendak lain. Jerik tangis menghiasi ruang UGD rumah sakit. Jenny pergi untuk selamanya.. duka cita menyelimuti keluarga itu. Jasad Jenny di kuburkan di samping pusara ibunya.
                                                                                                                                Nu’man Rayyan
                                                                                       Kelas  IX A  SMP NEGERI 4 SINJAI TIMUR
Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar