Tanggal
15 Agustus 2012 Amilah dan Dul menikah. Sebuah pernikahan sederhana atas sebuah
cinta lama yang bersemi kembali. Masa-masa pacaran Amilah dan Dul dilalui
semasa sekolah hingga menjadi guru. Tapi Tuhan tak menghendaki perjodohan kedua
remaja itu. Dul menikah dengan pilihan orang tuanya.
Di
pelaminan terlihat cerah di wajah Dul, tapi kelelahan di mata Amilah menyalami
tamu-tamu yang datang menyaksikan pengantin yang tak remaja lagi. Denting cinta kembali bersemi setelah kandas bertahun-tahun.
****
Amilah
baru saja ke luar dari gerbang rumah. Ia diantar ayahnya dengan naik motor Vespa tua. Ia tak
mempermasalahkan vespa berkarat itu yang penting bisa berangkat mengajar dengan
selamat.. dari arah berlawanan sebuah mobil melaju kencang menyerempet Amilah
dan ayahnya. Ayah Amilah dilarikan ke rumah sakit karena lukanya.
“ Cuma
luka ringan. Tak perlu dikhawatirkan.. ia bisa pulang dan rawat jalan.”
Amilah
bersyukur mendengar penjelasan dokter.
Ia ingat kata-kata ayahnya ‘Kapan kau menikah? Kamu sudah tak muda lagi.” Kata
itu selalu diucapkan setiap kali ia sakit.
Di
Rumah sakit, Amilah berpapasan dengan seorang pemuda yang tidak asing baginya.
“Apa
kita pernah berjumpa?”
“Di
terminal Mallengkeri” jawab Amilah sambil tersenyum. “ Bukankah kau Fajrin?
“Tante
teman ayahku, kan? Kata Fajrin.
Amilah
mengangguk memandangi wajah Fajrin yang mirip dengan Dul, tinggi, putih ada tahi lalat di dagunya.
“Maaf
tante, lain kali bisa ketemu lagi. Aku buru-buru ada kerjaan. aku di sini,
dibagian administrasi.”
“Sampai
ketemu lagi.” Kata Amilah setengah melambai. Lalu menutup mulutnya. Bagaimana
kabar Dul sekarang? Aku lupa menanyakannya. Rasanya aku ingin bertemu setelah
memandang wajah anaknya.
Setiba
di rumahnya. Dul, pria yang pernah menjalin cinta dengannya berdiri di teras rumah.
Sejak isteri Dul meninggal, ia sering menyempatkan diri bertemu dengan Amilah. Bagi
Amilah, tak ada kecewa dua kali atas penghinaan keluarga Dul atas keluarga Amilah.
Semuanya tak akan pernah terulang.
“Mengapa
kamu ke sini.” Tanya Amilah
Aku
mendengar cerita dari anakku. Bahwa ayahmu lagi sakit” jawaban Dul membuat Amilah kaget. Siapa yang
menceritakan semua ini?
“Masuklah
dulu” ayah Amilah menyelah di pintu.
Dul
tak menerima ajakan itu. Ia pamit pergi sebelum menyampaikan pernyataan turut
bersedih atas musibah kemarin.
Walau
keadaan telah berubah dan keluarga Dul menyadari kehilafannya, Dul merasa malu
bertemu dengan ayah Amilah. Ayah Dul telah menyepelekan keluarga sederhana ini
sehingga ia tak jadi menikah dengan Amilah, 25 tahun lalu. Tapi ayah Amilah tak
menghiraukan itu karena prinsipnya kemuliaan ada di hati masing-masing, bukan
dari pujian atau pemberian siapapun.
Berdiri
di pinggir jalan menunggu angkot, Amilah kegerahan. Sejak motor ayahnya rusak
ia selalu naik angkot. Sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca jendelanya
perlahan turun. “mari!, aku mengantarmu.’ Kata Dul yakin.
Amilah
bingung sejenak. Apakah aku harus menerima ajakan Dul? Kalau tidak, ia melirik
jam tangannya. Jam pelajaran hampir dimulai. Ia naik dan duduk di samping Dul.
“Aku
menjemputmu nanti siang.” Kata Dul ketika Amilah membuka pintu mobil di depan
sekolah SMA Pembina. Amilah tidak menjawab. Ia cuma tersenyum. Ia tidak
mengharapkan itu lagi. Masa lalu biarlah berlalu.
Sepulang
sekolah, Amilah mampir makan Coto
Makassar di samping sekolahan. Coto Makassar adalah makanan pavoritnya. Disaat memesan coto seseorang menyenggolnya.
“Maaf
Tante.” Kata gadis itu
“Wah,
kamu kan Jenny anak Dul. Dengan siapa ke sini? Kata Amilah sambil memegang
tangan Jenny.
“Iya
Tante. Tapi, Dul itu siapa?”
“Maaf,
maksud aku Abdullah, ayah kamu”
“Idih,
Tante ini siapa sih. Sok kenal.” Ada kesal di wajah Jenny.
Amilah
jadi kecewa ia meninggalkan penjual coto dan berjalan menuju halte. Ia dongkol
tak nyangka kalau Jenny tak mengenal dia. Apa ia sengaja? Atau....
Sebuah
mobil membunyikan klatson di depannya. Kaca jendela pelan terbuka. Dul
tersenyum di sana.
“Ayo,
naik!.”
Amilah
menjadi ragu. Di mobil itu ada Jenny
dan Fajrin.”Tak usah repot-repot lagi
pula aku bisa naik angkot.” Kata Amilah sambil melihat wajah Jenny yang
cemberut.
“Cepatlah,
kita semua hendak ke rumahmu” kata Dul sambil membuka pintu.
Bagai
kerbau dicocok hidungnya, Amilah menurut saja duduk di depan di samping Dul.
Rasa
kaku ada di wajah Amilah. Bayangkan, baru saja Jenny mempermalukannya di depan
umum. Walau begitu ia harus tegar seperti tak pernah terjadi apa-apa. Amilah
menengok ke belakang “Jenny, kapan datang?
“Tadi
pagi Tante.” Jawab Jenny dengan ketus. Amilah bertambah kaku.
Di
depan rumah Amilah, Dul mematikan mesin mobilnya. Ia mengajak anaknya untuk
turun.
“Ini
rumah Tante? Ih!, kok ada bebeknya sih. Menjijikkan”
Dul
membentak “Jenny! Diam.”. Dul
menghampiri Amilah “ Maaf atas ucapan Jenny tadi”.
Rumah
Amilah memang terkesan kumuh. Selain rumahnya
kecil juga ada kandang bebek. Bau busuk menyengat hidung. Tapi, ayahnya tak mau meninggalkan
rumah itu walau Amilah punya rumah sendiri yang terpaksa dikontrakkan karena menemani
ayahnya yang sendirian.
“Oh,
nak Dul. Ayo silahkan masuk.” Kata ayah Amilah sambil membuka pintu. “
“Perkenalkan anak
aku. Fajrin dan Jenny”
“Wah sudah dewasa
ya?”
“Ibunya
meninggal.” Kata Dul sendu.
“ Turut berduka
yang sedalam-dalamya. Maaf telah mengungkit masa lalu”
“Tak apa, itulah
sebabnya aku ke sini. Maksud kedatangan ku mau melamar Amilah.
Mendengar
ucapan Dul, Amilah kaget, suaranya tersendat di kerongkongan. Ia tidak
menyangka kalau Dul mau melamar dirinya.
“Apa?..
Tak mungkin!” Jenny berlari meninggalkan rumah Amilah. Ia menangis berlari ke
jalan raya. Terdengar derik rem mobil dan dentuman keras. Semuanya berlari ke arah
suara itu. Jenny tergeletak di pinggir selokan. Wajahnya berlumuran darah...
Walau
lukanya agak parah, Jenny menyampaikan permohonan maaf pada Amilah atas
kekesalannya. Amilah cuma tersenyum mengiakan. Menggenggam tangan Jenny lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang.
“Tak ada pernikahan tanpa restumu.” Bisik Amilah lembut.
Jenny
menumpuk tangan Amilah dan tangan ayahnya di atas dadanya. Ia tersenyum puas memandangi
wajah Amilah bergantian dengan wajah ayahnya. Tapi Tuhan berkehendak lain.
Jerik tangis menghiasi ruang UGD rumah sakit. Jenny pergi untuk selamanya..
duka cita menyelimuti keluarga itu. Jasad Jenny di kuburkan di samping pusara
ibunya.
Nu’man Rayyan
Kelas IX A
SMP NEGERI 4 SINJAI TIMUR
Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar