Thank U so
much!
Well, saya paling
suka menulis bagian ini. entah mengapa, mungkin karena dari sini saya bisa
menghaturkan terima kasih kepada semua yang telah membantu sehingga cerpenku ini bisa selesai.
Ucapan terima kasih
saya haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan anugrah yang tak terkira,
termasuk kesempatan.
Kepada om dan tante
orang tuaku tercinta, yang selalu mengajarkan saya banyak hal, terutama kasih
sayang.
Kepada Bapak Drs.
Syamsul Alam, Kepala Sekolahku, Bapak
Abd. Karim, S.pd wali kelasku serta
guru-guru SMP 4 Sinjai Timur, yang telah banyak menasihati, mengarahkan dan
membina, terima kasih atas kerja kerasnya buat kami.
Teristimewa terima
kasih buat Ibu Sutrawati, S.Pd Guru bahasa Indonesia kelas IX Tp.2011-2012,
atas arahan dan bantuannya hingga saya
sedikit tahu bagaimana menulis.
Buat temanku Citra Amel, Dewi, Imar, Firos, Olivia, Syania, Siti, Ulfa di
Bekasi, Aku kangen. Dan untuk teman sekolahku di SMP 4
Sinjai Timur, selamat membaca. Jangan lupa kritik dan sarannya.
Mangarabombang,
November 2011
Diana Nabilla
EMBAH
Diana Nabilla
Selasa,
12 Juli 2010, embah dimakamkan di Pemakaman
Pondok Ungu. Guru dan sahabatku datang melayat. Teman-temanku berkumpul dan
menghiburku agar aku tidak sedih. Mereka memeluk dan mengelap air mataku.
Di
liang lahad, aku melihat embah tertidur lalu sedikit demi sedikit ditimbun
menutupi jasad embah. Kutaburkan bunga seakan kumenabur kasih sayangnya yang
selama ini ia berikan kepadaku.
Kutolehkan
wajahku ke langit. “Ya Allah sayangilah ia sebagaimana ia menyayangiku.
Ampunilah dosa-dosanya. Tempatkanlah ia di rumah surgamu. Aku sangat menyayanginya ya, Allah.” Tiba-tiba
angin menghembus lembut seperti itulah jawaban dariNYA.
Kusobek
selembar kertas putih. Kurangkai sebuah puisi
curahan hati dengan tinta hijau.
Pikiranku
terus melangkah
Untuk
menemui embah...
Bibir
ini tak akan pernah
Bosan
untuk menyebut namamu..
Telah
tumbuh ukiran kisah
Saat
bersamamu embah..
Waktu
demi waktu
Bahkan...
Tahun
pertahun
Aku
mencoba bertahan
Hidup
tanpamu embah...
Rasa ini
tak akan bisa terhapus
Embah..
Aku
tetap sayang padamu
Aku
rindu saat kita bersama
Tawa
dan kasih sayangmu terus
Berderai
menghantuiku..
Bila
tiba saatnya kita
Bertemu...
Aku
ingin merangkai kata-kataku
Saat
menyambutmu bibir ini akan
Berkata
Embah
aku kangen
Puisi kumasukkan ke dalam balon gas lalu kulepaskan
tali balon itu. kubiarkan ia melayang terbawa ombak langit. Semoga balon itu
sampai kepadanya.
Kulihat
langit sepertinya sudah menelan balonku. Akupun melangkah pergi dengan rasa
kehilangan.
***
Dari
usia lima tahun, kasih sayang embah begitu tulus kepadaku. Embah selalu bangun
pukul 05.00. hanya untuk membeli semangkuk bubur. Embah tahu tukang bubur akan
berangkat pukul 05.20 dan tidak akan melewati rumahku yang terletak di sebuah
gang kecil yang sepi. Ia bergegas pergi membeli bubur dengan mangkuk Hello
kitty idolaku sebelum aku terbangun.
Kadang aku terjaga dari tidur, kumenoleh, tak ada embah di sampingku. Aku menangis berlari
ke belakang rumah. Kulihat dari jauh embah memesan bubur. Aku berlari dan berteriak
sekeras mungkin “Embaaah...!”
Embah
pun tersenyum melihatku. Aku menangis semakin keras dan embah memarahiku “Embah Cuma beli bubur enggak kemana-mana
kok, ngapain disusulin segala. Udah gak pake sendal lagi.”
Akupun
terdiam. Kuhapus air mataku tetapi napasku masih tak beraturan. Bubur
pesanannya pun sudah jadi. Embah menggendongku. Ia tersenyum dan mengelap air mataku dengan bajunya “Sudah jangan nangis! Nih embah sudah ada.”
“Iya tapi embah janji jangan pergi
lagi yah!” jawabku.
“Iya sayangku, manisku.” Ia langsung menciumi kedua
pipiku.
Ketika
sampai di rumah. Aku dan embah duduk di teras depan rumah. Seperti biasa aku
berada di pangkuannya. Ia menggoyangkan kedua kakinya sehingga aku tertawa.
Lalu menyuapiku dengan sendok pelastik
ukuran kecil yang muat di mulutku. Sebelum sendok itu masuk ke dalam mulutku ia
membelok-belokkannya “Ngeeeng tut, ech!
Salah.” ia menabrakkan sendok itu kehidungku padahal mulutku sudah
kubuka. Kedua kalinya ia baru memasukkan
bubur itu ke dalam mulutku. Embah tahu kalau aku ini susah sekali makan, malah
aku lahap makan kalau sedang sakit.
Sudah enam sendok yang masuk ke mulutku. “Embah,
Kenyang.” kataku
Embah menjawab dengan nada tinggi “Kenyang-kenyang, baru juga enam sendok. Tambah lagi sepuluh sendok
lagi.”
“Aaaaah uweeee...” Aku pura-pura mau muntah.
“Ekh liat tuh ada lalat besar.”
Aku
berlari mengambil sapu lidi. Kupukul lalat itu hingga mati. Aku dan embah
tertawa melihat lalat yang kupukul ternyata bukan lalat.
Tak
terasa buburnya pun sudah habis. Embah sangat pintar sekali menyiasatiku untuk
makan.
Embah
memberikan kasih sayang yang sangat tulus di hari-hariku. Aku tersenyum,
tertawa dan bahagia bersama. Kadang aku bermain tebak-tebakan.
Hal
yang sangat indah adalah saat menemaninya kalau ia lagi mencuci. Aku selalu
bersamanya walaupun pada saat itu aku belum bisa apa-apa hanya bisa membantu
memeras baju. Ia selalu memujiku “Anak
pintar, nanti kalau kamu sudah dewasa, mencuci baju sendiri ya.”
Aku
pun menjawab dengan semangat “Iya Mbah.”
Dialah
segala-galanya bagiku. Embalah yang mengajariku sopan santun, membaca dan
menulis sehingga aku masuk SD tanpa TK dulu. Ia yang selalu memberiku support untuk mengejar cita-citaku. ia
yang menungguku selagi aku kelas 1 SD Dipengasinan
Lima kota Bekasi, juga selalu memarahiku ketika aku mendapat nilai jelek.
Itulah tempat dimana aku membagi suka dan duka bersama. Embah bangga. Itulah
yang tetap muncul dalam dada jika melihat embah diusianya menjelang
61 tahun, ia
tetap terlihat sehat walau terkadang sakit, penyakit rematik Embah
kadang kumat.
***
Setelah
lulus ujian nasional SD, aku meminta mamah yang hadir tetapi ia tak mau. Ia
selalu berkata “Mama malu, mama tidak bisa ngomongnya.” Embahlah yang datang
untuk mengambil laporku. Dari kelas satu mama sudah begitu, bahkan ketika ada acara sekolah,
embah yang selalu bertindak sebagai waliku.
Hatiku
selalu berkata, “Mungkin ia malu mempunyai anak sepertiku.” Akupun jarang
bertemu dengan mama. Walau ia jauh dariku, aku merasa biasa-biasa saja kepadanya,
berbeda jika aku jauh dari Embahku.
Di
saat aku ada masalah, aku tak pernah cerita kepada mama. Hanya pada embah
kuceritakan semua masalahku. Menurutku mamah tak pernah mengerti perasaanku. Mamah selalu berpikir negatif tentang diriku.
Suatu
malam, Aku mengantar temanku untuk ke rumah saudaranya, ia menelpon lalu aku
angkat. “Halo, Mama!, Assalamualaikum.”
“Waalaikumusalam,
kamu dimana?”
“Aku
di jalan mau pulang.”
Teleponnya pun terputus karena alasan yang tidak
jelas, mungkin jaringan selular yang belakangan selalu bermasalah.
Beberapa
menit kemudian SMS dari
mamah masuk. “Kamu jadi anak enggak sopan banget sih, Mamah telpon
seenaknya aja dimatiin. Kamu jangan
macam-macam ya... Tadi mama denger suara motor berisik.”
Aku
pun membalas “Nggak sopan gimana sih, Ma! Hpnya mati sendiri, iya memang
berisik kan aku lagi di jalan.”
Sesampainya
di rumah mamah terdiam, aku duduk di sebelah embah.
“Dari
mana kamu?” tanya mamah padaku.
“Aku
kan tadi udah bilang aku abis ngantarin temanku ke rumah saudaranya.” jawabku.
“Lalu
kenapa tadi bunyi suara motor terus HPnya dimatiin?”
“Ya
Allah, tadi kan lagi di jalan, Mah. Kan di jalanan bukan aku aja yang lewat.
Banyak orang lain!. Terus HPnya mati
sendiri.”
Mama
membentakku “Alah!, udalah tidak usah alasan sekarang. Kamu tak boleh megang HP
lagi.”
“Terserah
Mamah.” jawabku sambil menyerahkan HP. Tiba-tiba tangan mama melayang menampar pipiku. Perih!
Tapi
hatiku terasa lebih perih lagi.
Aku
segera berlari menuju kamar.
Embah
melihat itu langsung memarahi mamaku “Elo boleh marahin anak lo, tapi lo jangan
mukul dia. Gue aja yang ngurusin dia
enggak pernah gue nampar.”
Mamah dan ibunya berdebat beberapa menit. Embah masuk ke kamarku dan embah menangis
ketika melihatku menangis”. Sabar ya nak.”
Aku
menjawab dengan suara kurang jelas, “Iya, Mbah. Enggak apa-apa kok.”
***
Jika mamah
kehilangan sesuatu ia selalu menyalahkanku. Begitulah sikap mamah, aku menjadi
obyek kekesalannya. Tetapi walaupun ia seperti itu, aku selalu berdoa semoga
suatu hari nanti mama bisa menjadi sesosok ibu seperti ibu pada umumnya. Sejak
kulahir, aku tak pernah mengecap kasih sayang
seorang ibu. Aku selalu mendapat kasih sayang dari embah. Selama ini aku
tak pernah mau banyak nanya soal mamah kepada embah. Embahlah yang selalu
menceritakan bagaimana keadaanku dulu.
Menurut
cerita embah, mamah menyusuiku hanya sekali ketika sejak aku terlahir di dunia
ini. Apalagi dulu ini aku sering sakit-sakitan. Mengalami sakit paru-paru,
filek, batuk yang tak henti-henti. Embahlah yang mengurusku hingga sekarang ini, tapi mamah yang mencari nafkah.
Aku bergeming
mendengar penjelasan embah. Walau mamah kadang bersikap tidak enak, tetapi
setiap hari ia membanting tulang untuk membiayaiku. Aku merasa berdosa telah
menilainya salah.
***
Ketika embah
mendapat warisan dari orang tuanya, ia
percayai warisan itu dipegang oleh anaknya. Tetapi musibah datang tak
diduga-duga, anak kandungnya sendiri menghabiskan warisan itu. Embah
menangis. Kasihan embah. Warisan itu
hilang begitu saja akibatnya, embah sakit-sakitan.
Sebelum warisan itu sampai di
tangannya, ia selalu bilang bahwa warisan itu akan ia ganti atas namaku. Begitu
sayangnya embah kepadaku, tetapi Allah berkehendak beda.
Suatu ketika, embah membangunkanku pukul 01.00 am.
“Diana, Sakit kepala Embah.”
Aku
pun bangun dan memijiti kepada embah. Sudah lama embah meminta diaantar ke
rumah sakit tetapi biaya tidak memungkinkan.
Yah
Allah, tidak teganya aku saat melihat embah seperti itu. Om, dan tante bangun.
Suasana rumah semakin tegang akhirnya
omku menelepon kakaknya yang tega merampas warisan yang bukan haknya.
Mereka ngobrol beberapa lama akhirnya
disepakati embah dibawah ke Rumah Sakit
Ananda Pondok Ungu kota Bekasi. Embah dirawat di kelas dua nomor ruang 106.
Di ruang itu ada dua buah ranjang. Embah menempati ranjang di sudut kanan.
Kurebahkan tubuhku di ranjang lainnya kubiarkan semua beban tubuhku terhempas
di atasnya.
Embah
tersenyum padaku. Kubalas senyumannya. Di tangannya dipasangi impus. Tetapi
sepertinya ia merasa nyaman karena sudah berada di rumah sakit. tentunya ia
mendapat pelayanan yang baik. Hatiku merasa lega.
Dari
Hari kehari keadaan embah semakin membaik. Embah menjalani sken. Hasil sken
menunjukkan bahwa di otak embah banyak darah menyumbat. Darah menggumpal di
sela-sela otak. Itulah sebabnya saraf-sarafnya terganggu. Kepala terasa sangat
berat seperti di tusuk-tusuk jarum. Dokter menyarankan agar embah tidak boleh
banyak pikiran.
Aku
tertegun mendengar dokter berkata seperti itu. Seandainya musibah itu tak
menimpah embah mungkin tak seperti ini jadinya.
***
Setelah enam hari dirawat, hari Senin embah diizinkan
pulang dengan sekantong obat. Embah kelihatan sehat ia pun bercanda-canda
dengan dokter. Om mendorong kursi roda yang memang disediakan untuk mengantar
pasien menuju parkiran, embah hanya diam ketika di kursi roda itu, tak
ada kata yang keluar dari mulutnya, tak ada senyum yang membuat pipinya
mengembang lagi.
Aku
berjalan beriringan dengan kursi roda sambil membawa jinjingan, sekilas kulihat
raut wajahnya, tak sedikit pun kecerahan yang nampak. Aku telah kehilangan
keceriaannya. Diperjalanan ia berbicara seperlunya. Kutahan air mata ini saat
melihatnya seperti itu.
Di
rumah, embah bersandar dan meluruskan kakinya. Ia tersenyum kecil “Nak,
ambilkan minum. Embah mau makan obat.” katanya.
Cepat-cepat
kuberdiri menuju dapur dan kembali membawa gelas air minum yang ukurannya
besar. Gelas pavorit embah. Setiap kali ia minum memakai gelas itu. alasannya
menyukai gelas itu karena ngak capek bolak balik mengambil air. Saat habisnya lama.
Aku tertawa
saat mengingat perkataannya. Padahal jarak antara ruang tamu dan dapur tidak
makan waktu lima menit.
Tetangga berdatangan untuk melihat
keadaan embah. Ia terlihat ceria melayani tamunya. Walaupun embah jarang
keluar, tetapi tetangga senang dengan embah karena embah tak pernah menggossip
seperti ibu-ibu lainnya. Embah orangnya tak banyak ngomong. Tetangga
menganggap embah sebagai orang tuanya. Enggak salah kalau selama ini aku
menyebutnya “Malaikat.” Seorang yang tak
pernah meminta imbalan dan selalu berjiwa sabar.
Perasaanku
seperti ada batu yang mengganjal saat embah berkata “Wee.. ngak jadi mati.”
pernah sayang kepadaku. Tetapi tidak seperti ini
seharusnya ia berprilaku kepadaku.”
Embah
mungkin tahu bagaimana perasaanku, embah memelukku sambil mengusap kepalaku.
Embah
berkata “Kalau mamahmu ngomong apa-apa, kamu diem aja.”
Aku
hanya terdiam.
Jantungku
berdetat sangat kencang.
Malam
hari badannya gemetaran dan panas. Aku duduk disampingnya memegang tangan
embah. Kuangkat tanganku “Ya Allah aku
hidup di dunia ini serasa sendiri aku masih sangat membutuhkan embah.
Aku mohon ya Allah.”
***
Dulu
selagi embah sehat embah pernah bilang “Kamu kelas satu SMP masuk siang, mana
panas. Nanti kalau kamu kelas 2 masuk pagi. Enak tuh sekalian bangunin embah
pagi-pagi.” sambil embah tersenyum melihatku. Tapi hari ini ketika impian embah
aku masuk pagi di kelas 2 SMP- IT T-Taqwa terwujud, ia terbaring lemah. Sebenarnya aku berat untuk meninggalkannya
dalam keadaan seperti itu.
Di
sekolah Amel sehabat terdekatku bertanya “Bagaimana keadaan embahmu Di”
“Kemarin sepulang dari rumah sakit embah kelihatan
baikan tetapi tadi malam embah kurang baik badannya gemetaran dan panas. “
“Sabar
ya Di, aku sama sahabat- sahabat lainnya selalu mendoai kesehatan embahmu kok.”
Aku
bahagia mendengar Amel berkata seperti itu, dan tak tau kenapa perlahan air
mata ini berlinang. Amel memelukku ikut bersedih melihatku. Amel memang tau
bagaimana kisah hidupku, aku dan Amel dekat saat kelas 1 SMP. Ketika itu kami
selalu duduk bareng. Itulah membuat kami bersahabat. Ketika aku ada masalah aku
selalu cerita kepadanya begitu juga
sebaliknya ia selalu cerita
kepadaku disaat ia bersedih atau senang.
Kalau ia pergi berekreasi ia selalu membelikanku sesuatu yang sama
miliknya.
Sebenarnya
kami bersahabat sepuluh orang
persahabatan kami bernama CADIFOSU yang berarti Citra Amel, Diana, Dewi, Imar, Firos, Olivia, Syania, Siti, Ulfa.
Itulah
persahabatan kami semua cewek kelas VIII2. Mungkin semua orang heran kenapa
sahabatan banyak banget. Ya, itulah kami. Kami tak mau memilih-milih teman yang
mana yang pinter, yang mana yang kaya semua bagi kami sederajat hal itulah yang
mempererat persahabatan kami.
***
Ketka Pak Rahman mengajar tiba-tiba
terdengar suara HP “Allahu Akbar-Allahu Akbar.” Pak Rahman memang suka sakali
mendengar suara adzan sehingga nada pangilan HPnya pun ia pasang suara adzan.
Setelah menerima telpon, pak Rahman
bertanya kepadaku.
“Kamu bawa HP?” “Iya Pak.” Sahutku
“Sana kamu ke luar telpon ommu, lihat di Hpmu banyak
SMS tadi ommu bilang kamu disuruh telpon balik.”
“Iya
Pak.” aku pun keluar membawa Hpku
berdiri menghadap lapangan kubuka SMS dari omku.
“Kirimkan Nomor Om Rizal, Embah kritis, cepat kamu
pulang. Embah nanyain kamu.”
Setelah
membaca SMS itu buru-buru aku menelepon omku lalu kusebutkan nomor OM Rizal dan
kujanji cepat-cepat tiba di rumah. Aku kembali masuk dengan wajah tak
bersemangat. Pikiranku seperti kosong tak kuhiraukan suara teman-temanku.
“Kamu
disuruh pulang?” kata pak Rahman.
“Iya
Pak. Embah saya kritis.”
“Baiklah
kamu boleh pulang. salam untuk keluargamu. Kamu hati-hati.”
Suasana
kelas VIII menjadi sunyi, hanya terdengar suara kakiku. Kuambil tas tanpa
melihat siapapun. Pikiranku tertuju hanya kepada embah.
Di
rumah, kulihat embah terbaring telentang. Di ruang tamu. Aku duduk di
sampingnya. Kuraih dan Kucium tangan kanannya “Embah, aku sudah pulang nih.”
Mata
yang tadinya tertutup, terbuka perlahan. Ia menjawab sambil tersenyum melihatku
“Ekh kamu udah pulang ya.” Mata itu tertutup lagi. embah seperti sedang terbuai
mimpi yang tidak bisa ia tinggalkan. Kupaggil-panggil ia tak membuka matanya.
Tanteku
cerita “Tadi embah bangun dan duduk bersandar lalu ia minta dibikinin bubur
sewaktu bubur itu matang embah bercanda-canda sama tante. Tiba-tiba ia tersenyum dan merem tidak bangun
lagi. ia sempat bertanya. Diana mana?
Tante jawab Diana lagi sekolah” sudah setelah ia bertanya itu embah enggak
bangun-bangun lagi. makanya tante heran pas kamu pulang kok embah bangun.
Soalnya dari tadi ia tante bangunin enggak melek-melek seperti tidak mendengar
suara apa-apa.”
Badan
embah panas. Denyut nadinya sangat cepat, kadang berdenyut lambat. Anak-anak
embah sudah berkumpul tetapi embah tidak juga membuka matanya.
Aku mencoba memanggil embah. Ia
menjawab “iya, apa?” dengan nada yang agak tinggi sepertinya ia tidak mau
diganggu. Embah seharian belum makan. Bubur yang dimintanya pun belum sama
sekali ia coba. Aku mengambil bubur serta segelas air putih di dapur. kusuapi
bubur ke mulut embah. Embah menelan bubur itu. kedua kalinya bubur itu tidak di
telan kucaba menyuapi air dengan sendok kecil tetapi air itu pun keluar dari
mulutnya.
Rasa
takut akan kehilangan semakin
menghantuiku. Ketika adzan isya berkumandang
embah menarik nafas panjang untuk yang ketiga kalinya dan
menghembuskannya perlahan. Lalu Jantungnya tak berdetak lagi.
Pukul
07.40pm embah telah tiada. Aku seperti tidak menerima kepergian embah.
Kumenatap wajah embah, sepertinya ia sangat tenang.
“Ya Allah mengapa kau mengambil embah? Apa jadinya hidupku ini tanpa
kasih sayangnya” aku meratap, menangis terisak.
Seakan aku tak percaya.
malam ini aku tidur di ruangan bersama embah. Aku bermimpi berada dalam
ruangan yang putih tak ada jendela hanya ada kursi coklat. Aku duduk di
kursi itu lalu embah datang tersenyum padaku. Embah berkata “Nak, kamu
baik-baik ya, jaga dirimu. Nurut sama Om dan Tante” ia tersenyum mencium
keningku lalu perlahan ia menjauh “Embah harus pergi.”
“Embah
aku ikut. Aku tak mau sendiri tampa embah.”
Embah
memegang tanganku dan memarahiku agar aku tidak ikut dengannya.
Setelah
bangun, aku berpikir, mamah sibuk
bekerja, bapak sudah meninggal sejak aku berada dalam kandungan sembilan bulan.
Aku hanya punya embah dan sekarang embah pergi. Aku seperti sebatang kara di
dunia ini.
***
Di
rumah, Aku bersandar ke tembok, kutarik nafas panjang. Kuraih album kenangan
bersama embah. Kubuka halaman pertama. Kulihat foto embah menciumku. Aku tersenyum.
Kukuatkan jari-jari ini membuka halaman kedua. Mataku kembali basah.
Cepat-cepat kututup album itu.
Kumenoleh
ke pintu kamarku. Kulihat aku dan embah sedang bercanda. Kucoba memejamkan mata
tetapi bayangan itu datang lagi. Kulihat aku dan embah sedang menonton televisi
bersama. Aku berhalusinasi.
Aku mencoba untuk kuat menghadapi cobaan ini tetapi aku tak bisa.
Terlalu banyak kenangan bersamanya. Aku menagis terisak. Aku berteriak sekeras
mungkin “Ya Allah maafkan aku yang tak bisa menerima kepergian embah. Terlalu cepat
bagiku ya Allah.”
Mama yang sedang di luar mungkin mendengar suaraku. Ia
masuk mendekatiku. Ia menangis memeluk dan mengusap-ngusap kepalaku “Nak maafin
mamah yang nak atas sikap mamah selama ini. Mama janji akan menjadi sosok yang memberikan
kasih sayang yang tulus sebagaimana embah menyayangimu nak.”
“Iya Mam, tak usah meminta maaf.
Mama enggak ada salah kepadaku.” jawabku.
“Mungkin Mama selama ini terlalu
sibuk dengan pekerjaan Mama. Sehingga Mama kurang memperhatikan kamu dan kurang
mengerti perasaanmu nak. Mama tau sikap mama selama ini tak membuatmu nyaman.
Maafkan mama nak.”
Perlahan kulepaskan pelukannya.
Kutatap keteduhan matanya.
Dalam hati aku berkata “Aku tak
pernah merasa sakit hati Mam, atas perilakumu. Aku mengerti perasaanmu.”
Kuusap air matanya “Aku telah
memaklumi keadaanmu Mam, tak pantas bila kau meminta maaf kepadaku. Akulah yang
seharusnya meminta maaf kepadamu. Mungkin aku sebagai anak kurang baik dan aku
sempat berpikir yang tidak-tidak tentangmu.”
“Mamah sayang kepadamu, nak.”
“Iya Mam, aku sayang kepadamu.”
Sahutku.
Kepergian embah membuat mama
sadar. Mungkin Allah telah mengabulkan doa-doaku.
***
Dari
hari ke hari, mamah semakin sayang padaku, tetapi aku tetap mengikuti Om
dan Tante adik mama ke Sulawesi. Aku bermukim di rumah nenek di Sinjai. Tepat
di tahun ajaran baru 2011/2012, aku
masuk di kelas IX SMP Negeri 4 Sinjai
Timur. Kenangan manis bersama embah masih selalu teringat di benakku. Aku
sayang embah. Orang yang terbaik di seluruh dunia. Aku kangeeen.
Diana Nabiila
November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar