Kamis, 01 November 2012

EMBAH



Thank U so much!

Well, saya paling suka menulis bagian ini. entah mengapa, mungkin karena dari sini saya bisa menghaturkan terima kasih kepada semua yang telah membantu sehingga  cerpenku ini bisa selesai.
Ucapan terima kasih saya haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan anugrah yang tak terkira, termasuk kesempatan.
Kepada om dan tante orang tuaku tercinta, yang selalu mengajarkan saya banyak hal, terutama kasih sayang.
Kepada Bapak Drs. Syamsul  Alam, Kepala Sekolahku, Bapak Abd. Karim, S.pd wali kelasku  serta guru-guru SMP 4 Sinjai Timur, yang telah banyak menasihati, mengarahkan dan membina, terima kasih atas kerja kerasnya buat kami.
Teristimewa terima kasih buat Ibu Sutrawati, S.Pd Guru bahasa Indonesia kelas IX Tp.2011-2012, atas arahan dan bantuannya  hingga saya sedikit tahu bagaimana menulis.
Buat temanku Citra Amel, Dewi, Imar, Firos, Olivia, Syania, Siti, Ulfa di Bekasi, Aku kangen. Dan untuk teman sekolahku di SMP 4 Sinjai Timur, selamat membaca. Jangan lupa kritik dan sarannya.
Mangarabombang, November 2011 
                                                                        Diana Nabilla

EMBAH
Diana Nabilla

            Selasa, 12 Juli 2010, embah dimakamkan di Pemakaman Pondok Ungu. Guru dan sahabatku datang melayat. Teman-temanku berkumpul dan menghiburku agar aku tidak sedih. Mereka memeluk dan mengelap air mataku.
            Di liang lahad, aku melihat embah tertidur lalu sedikit demi sedikit ditimbun menutupi jasad embah. Kutaburkan bunga seakan kumenabur kasih sayangnya yang selama ini ia berikan kepadaku.
            Kutolehkan wajahku ke langit. “Ya Allah sayangilah ia sebagaimana ia menyayangiku. Ampunilah dosa-dosanya. Tempatkanlah ia di rumah surgamu. Aku  sangat menyayanginya ya, Allah.” Tiba-tiba angin menghembus lembut seperti itulah jawaban dariNYA.
            Kusobek selembar kertas putih. Kurangkai sebuah puisi  curahan hati dengan tinta hijau.
Pikiranku terus melangkah
Untuk menemui embah...
Bibir ini tak akan pernah
Bosan untuk menyebut namamu..

Telah tumbuh ukiran kisah
Saat bersamamu embah..
Waktu demi waktu

Bahkan...
Tahun pertahun
Aku mencoba bertahan
Hidup tanpamu embah...
Rasa ini tak akan bisa terhapus
Embah..
Aku tetap sayang padamu
Aku rindu saat kita bersama
Tawa dan kasih sayangmu terus
Berderai menghantuiku..

Bila tiba saatnya kita
Bertemu...
Aku ingin merangkai kata-kataku
Saat menyambutmu bibir ini akan
Berkata
Embah aku kangen
Puisi kumasukkan ke dalam balon gas lalu kulepaskan tali balon itu. kubiarkan ia melayang terbawa ombak langit. Semoga balon itu sampai kepadanya.
            Kulihat langit sepertinya sudah menelan balonku. Akupun melangkah pergi dengan rasa kehilangan.
***
Dari usia lima tahun, kasih sayang embah begitu tulus kepadaku. Embah selalu bangun pukul 05.00. hanya untuk membeli semangkuk bubur. Embah tahu tukang bubur akan berangkat pukul 05.20 dan tidak akan melewati rumahku yang terletak di sebuah gang kecil yang sepi. Ia bergegas pergi membeli bubur dengan mangkuk Hello kitty idolaku sebelum aku terbangun.
Kadang aku terjaga dari tidur, kumenoleh,  tak ada embah di sampingku. Aku menangis berlari ke belakang rumah. Kulihat dari jauh embah memesan bubur. Aku berlari dan berteriak sekeras mungkin “Embaaah...!”
            Embah pun tersenyum melihatku. Aku menangis semakin keras dan embah memarahiku “Embah Cuma beli bubur enggak kemana-mana kok, ngapain disusulin segala. Udah gak pake sendal lagi.”
            Akupun terdiam. Kuhapus air mataku tetapi napasku masih tak beraturan. Bubur pesanannya pun sudah jadi. Embah menggendongku. Ia tersenyum dan  mengelap air mataku dengan bajunya “Sudah jangan nangis! Nih embah sudah ada.”
            “Iya tapi embah janji jangan pergi lagi yah!” jawabku.
            “Iya sayangku, manisku.” Ia langsung menciumi kedua pipiku.
            Ketika sampai di rumah. Aku dan embah duduk di teras depan rumah. Seperti biasa aku berada di pangkuannya. Ia menggoyangkan kedua kakinya sehingga aku tertawa. Lalu  menyuapiku dengan sendok pelastik ukuran kecil yang muat di mulutku. Sebelum sendok itu masuk ke dalam mulutku ia membelok-belokkannya “Ngeeeng tut, ech! Salah.” ia menabrakkan sendok itu kehidungku padahal mulutku sudah kubuka.  Kedua kalinya ia baru memasukkan bubur itu ke dalam mulutku. Embah tahu kalau aku ini susah sekali makan, malah aku lahap makan kalau sedang sakit.

Sudah enam sendok yang masuk ke mulutku. “Embah, Kenyang.” kataku
Embah menjawab dengan nada tinggi “Kenyang-kenyang, baru juga enam sendok. Tambah lagi sepuluh sendok lagi.”
            “Aaaaah uweeee...” Aku pura-pura mau muntah.
            “Ekh liat tuh ada lalat besar.”
            Aku berlari mengambil sapu lidi. Kupukul lalat itu hingga mati. Aku dan embah tertawa melihat lalat yang kupukul ternyata bukan lalat.
            Tak terasa buburnya pun sudah habis. Embah sangat pintar sekali menyiasatiku untuk makan.
            Embah memberikan kasih sayang yang sangat tulus di hari-hariku. Aku tersenyum, tertawa dan bahagia bersama. Kadang aku bermain tebak-tebakan.
            Hal yang sangat indah adalah saat menemaninya kalau ia lagi mencuci. Aku selalu bersamanya walaupun pada saat itu aku belum bisa apa-apa hanya bisa membantu memeras baju. Ia selalu memujiku “Anak pintar, nanti kalau kamu sudah dewasa, mencuci baju sendiri ya.”
            Aku pun menjawab dengan semangat “Iya Mbah.”
            Dialah segala-galanya bagiku. Embalah yang mengajariku sopan santun, membaca dan menulis sehingga aku masuk SD tanpa TK dulu. Ia yang selalu memberiku support untuk mengejar cita-citaku. ia yang menungguku selagi aku kelas 1 SD Dipengasinan Lima kota Bekasi, juga selalu memarahiku ketika aku mendapat nilai jelek. Itulah tempat dimana aku membagi suka dan duka bersama. Embah bangga. Itulah yang tetap muncul dalam dada jika melihat embah diusianya   menjelang   61   tahun,  ia    tetap terlihat sehat walau terkadang sakit, penyakit rematik Embah kadang kumat.
***
            Setelah lulus ujian nasional SD, aku meminta mamah yang hadir tetapi ia tak mau. Ia selalu berkata “Mama malu, mama tidak bisa ngomongnya.” Embahlah yang datang untuk mengambil laporku. Dari kelas satu mama  sudah begitu, bahkan ketika ada acara sekolah, embah yang selalu bertindak sebagai waliku.
            Hatiku selalu berkata, “Mungkin ia malu mempunyai anak sepertiku.” Akupun jarang bertemu dengan mama. Walau ia jauh dariku, aku merasa biasa-biasa saja kepadanya, berbeda jika aku jauh dari Embahku.
            Di saat aku ada masalah, aku tak pernah cerita kepada mama. Hanya pada embah kuceritakan semua masalahku. Menurutku mamah tak pernah mengerti perasaanku. Mamah  selalu berpikir negatif tentang diriku.
            Suatu malam, Aku mengantar temanku untuk ke rumah saudaranya, ia menelpon lalu aku angkat. “Halo, Mama!, Assalamualaikum.”
            “Waalaikumusalam, kamu dimana?”
            “Aku di jalan mau pulang.”
Teleponnya pun terputus karena alasan yang tidak jelas, mungkin jaringan selular yang belakangan selalu bermasalah.
            Beberapa menit kemudian    SMS  dari   mamah masuk. “Kamu jadi anak enggak sopan banget sih, Mamah telpon seenaknya aja dimatiin.   Kamu    jangan  macam-macam ya... Tadi mama denger suara motor berisik.”
            Aku pun membalas “Nggak sopan gimana sih, Ma! Hpnya mati sendiri, iya memang berisik kan aku lagi di jalan.”
            Sesampainya di rumah mamah terdiam, aku duduk di sebelah embah.
            “Dari mana kamu?” tanya mamah padaku.
            “Aku kan tadi udah bilang aku abis ngantarin temanku ke rumah saudaranya.” jawabku.
            “Lalu kenapa tadi bunyi suara motor terus HPnya dimatiin?”
            “Ya Allah, tadi kan lagi di jalan, Mah. Kan di jalanan bukan aku aja yang lewat. Banyak orang  lain!. Terus HPnya mati sendiri.”
            Mama membentakku “Alah!, udalah tidak usah alasan sekarang. Kamu tak boleh megang HP lagi.”
            “Terserah Mamah.” jawabku sambil menyerahkan HP. Tiba-tiba tangan mama melayang  menampar pipiku. Perih!
            Tapi hatiku terasa lebih perih lagi.
            Aku segera berlari menuju kamar.
            Embah melihat itu langsung memarahi mamaku “Elo boleh marahin anak lo, tapi lo jangan  mukul dia. Gue aja yang ngurusin dia enggak pernah gue nampar.”
Mamah dan ibunya berdebat beberapa menit.  Embah masuk ke kamarku dan embah menangis ketika melihatku menangis”. Sabar ya nak.”
            Aku menjawab dengan suara kurang jelas, “Iya, Mbah. Enggak apa-apa kok.”
***
Jika  mamah kehilangan sesuatu ia selalu menyalahkanku. Begitulah sikap mamah, aku menjadi obyek kekesalannya. Tetapi walaupun ia seperti itu, aku selalu berdoa semoga suatu hari nanti mama bisa menjadi sesosok ibu seperti ibu pada umumnya. Sejak kulahir, aku tak pernah  mengecap  kasih sayang  seorang ibu. Aku selalu mendapat kasih sayang dari embah. Selama ini aku tak pernah mau banyak nanya soal mamah kepada embah. Embahlah yang selalu menceritakan bagaimana keadaanku dulu.
            Menurut cerita embah, mamah menyusuiku hanya sekali ketika sejak aku terlahir di dunia ini. Apalagi dulu ini aku sering sakit-sakitan. Mengalami sakit paru-paru, filek, batuk yang tak henti-henti. Embahlah yang mengurusku hingga  sekarang ini, tapi mamah yang mencari nafkah.
            Aku bergeming mendengar penjelasan embah. Walau mamah kadang bersikap tidak enak, tetapi setiap hari ia membanting tulang untuk membiayaiku. Aku merasa berdosa telah menilainya salah.
***
 Ketika embah mendapat warisan dari orang tuanya, ia  percayai warisan itu dipegang oleh anaknya. Tetapi musibah datang tak diduga-duga, anak kandungnya sendiri menghabiskan warisan itu. Embah menangis.  Kasihan embah. Warisan itu hilang begitu saja akibatnya, embah sakit-sakitan.
            Sebelum warisan itu sampai di tangannya, ia selalu bilang bahwa warisan itu akan ia ganti atas namaku. Begitu sayangnya embah kepadaku, tetapi Allah berkehendak beda.
Suatu ketika, embah membangunkanku pukul 01.00 am. “Diana, Sakit kepala Embah.”
            Aku pun bangun dan memijiti kepada embah. Sudah lama embah meminta diaantar ke rumah sakit tetapi biaya tidak memungkinkan.
            Yah Allah, tidak teganya aku saat melihat embah seperti itu. Om, dan tante bangun. Suasana rumah  semakin tegang akhirnya omku menelepon kakaknya yang tega merampas warisan yang bukan haknya.
             Mereka ngobrol beberapa lama akhirnya disepakati embah dibawah ke Rumah Sakit Ananda Pondok Ungu kota Bekasi. Embah dirawat di kelas dua nomor ruang 106. Di ruang itu ada dua buah ranjang. Embah menempati ranjang di sudut kanan. Kurebahkan tubuhku di ranjang lainnya kubiarkan semua beban tubuhku terhempas di atasnya.
            Embah tersenyum padaku. Kubalas senyumannya. Di tangannya dipasangi impus. Tetapi sepertinya ia merasa nyaman karena sudah berada di rumah sakit. tentunya ia mendapat pelayanan yang baik. Hatiku merasa lega.
            Dari Hari kehari keadaan embah semakin membaik. Embah menjalani sken. Hasil sken menunjukkan bahwa di otak embah banyak darah menyumbat. Darah menggumpal di sela-sela otak. Itulah sebabnya saraf-sarafnya terganggu. Kepala terasa sangat berat seperti di tusuk-tusuk jarum. Dokter menyarankan agar embah tidak boleh banyak pikiran.
            Aku tertegun mendengar dokter berkata seperti itu. Seandainya musibah itu tak menimpah embah mungkin tak seperti ini jadinya.
***
Setelah enam hari dirawat, hari Senin embah diizinkan pulang dengan sekantong obat. Embah kelihatan sehat ia pun bercanda-canda dengan dokter. Om mendorong kursi roda yang memang disediakan untuk mengantar pasien menuju parkiran, embah hanya diam ketika di   kursi  roda  itu,  tak ada kata yang keluar dari mulutnya, tak ada senyum yang membuat pipinya mengembang lagi. 
            Aku berjalan beriringan dengan kursi roda sambil membawa jinjingan, sekilas kulihat raut wajahnya, tak sedikit pun kecerahan yang nampak. Aku telah kehilangan keceriaannya. Diperjalanan ia berbicara seperlunya. Kutahan air mata ini saat melihatnya seperti itu.
            Di rumah, embah bersandar dan meluruskan kakinya. Ia tersenyum kecil “Nak, ambilkan minum. Embah mau makan obat.” katanya.
            Cepat-cepat kuberdiri menuju dapur dan kembali membawa gelas air minum yang ukurannya besar. Gelas pavorit embah. Setiap kali ia minum memakai gelas itu. alasannya menyukai gelas itu karena ngak capek bolak balik mengambil air. Saat  habisnya lama.
            Aku tertawa saat mengingat perkataannya. Padahal jarak antara ruang tamu dan dapur tidak makan waktu lima menit.
            Tetangga berdatangan untuk melihat keadaan embah. Ia terlihat ceria melayani tamunya. Walaupun embah jarang keluar, tetapi tetangga senang dengan embah karena embah tak pernah   menggossip   seperti ibu-ibu lainnya. Embah orangnya tak banyak ngomong. Tetangga menganggap embah sebagai orang tuanya. Enggak salah kalau selama ini aku menyebutnya “Malaikat.”  Seorang yang tak pernah meminta imbalan dan selalu berjiwa sabar.
            Perasaanku seperti ada batu yang mengganjal saat    embah    berkata      “Wee.. ngak jadi mati.”
pernah sayang kepadaku. Tetapi tidak seperti ini seharusnya ia berprilaku kepadaku.”    
            Embah mungkin tahu bagaimana perasaanku, embah memelukku sambil mengusap kepalaku.
            Embah berkata “Kalau mamahmu ngomong apa-apa, kamu diem aja.”
            Aku hanya terdiam.
 Jantungku berdetat sangat kencang.
            Malam hari badannya gemetaran dan panas. Aku duduk disampingnya memegang tangan embah. Kuangkat tanganku “Ya Allah aku  hidup di dunia ini serasa sendiri aku masih sangat membutuhkan embah. Aku mohon ya Allah.”
***
            Dulu selagi embah sehat embah pernah bilang “Kamu kelas satu SMP masuk siang, mana panas. Nanti kalau kamu kelas 2 masuk pagi. Enak tuh sekalian bangunin embah pagi-pagi.” sambil embah tersenyum melihatku. Tapi hari ini ketika impian embah aku masuk pagi di kelas 2 SMP- IT T-Taqwa terwujud, ia terbaring lemah.  Sebenarnya aku berat untuk meninggalkannya dalam keadaan seperti itu.
            Di sekolah Amel sehabat terdekatku bertanya “Bagaimana keadaan embahmu Di”
“Kemarin sepulang dari rumah sakit embah kelihatan baikan tetapi tadi malam embah kurang baik badannya gemetaran dan panas. “
            “Sabar ya Di, aku sama sahabat- sahabat lainnya selalu mendoai kesehatan embahmu kok.”
            Aku bahagia mendengar Amel berkata seperti itu, dan tak tau kenapa perlahan air mata ini berlinang. Amel memelukku ikut bersedih melihatku. Amel memang tau bagaimana kisah hidupku, aku dan Amel dekat saat kelas 1 SMP. Ketika itu kami selalu duduk bareng. Itulah membuat kami bersahabat. Ketika aku ada masalah aku selalu cerita kepadanya begitu juga  sebaliknya ia  selalu cerita kepadaku disaat ia bersedih atau senang.  Kalau ia pergi berekreasi ia selalu membelikanku sesuatu yang sama miliknya.
            Sebenarnya kami bersahabat  sepuluh orang persahabatan kami bernama CADIFOSU yang berarti Citra Amel, Diana, Dewi, Imar, Firos, Olivia, Syania, Siti, Ulfa.
            Itulah persahabatan kami semua cewek kelas VIII2. Mungkin semua orang heran kenapa sahabatan banyak banget. Ya, itulah kami. Kami tak mau memilih-milih teman yang mana yang pinter, yang mana yang kaya semua bagi kami sederajat hal itulah yang mempererat persahabatan kami.
***
            Ketka Pak Rahman mengajar tiba-tiba terdengar suara HP “Allahu Akbar-Allahu Akbar.” Pak Rahman memang suka sakali mendengar suara adzan sehingga nada pangilan HPnya pun ia pasang suara adzan. Setelah menerima telpon,  pak Rahman bertanya kepadaku.
“Kamu bawa HP?” “Iya Pak.” Sahutku
“Sana kamu ke luar telpon ommu, lihat di Hpmu banyak SMS tadi ommu bilang kamu disuruh telpon balik.”
            “Iya Pak.”  aku pun keluar membawa Hpku berdiri menghadap lapangan kubuka SMS dari omku.
“Kirimkan Nomor Om Rizal, Embah kritis, cepat kamu pulang. Embah nanyain kamu.”
            Setelah membaca SMS itu buru-buru aku menelepon omku lalu kusebutkan nomor OM Rizal dan kujanji cepat-cepat tiba di rumah. Aku kembali masuk dengan wajah tak bersemangat. Pikiranku seperti kosong tak kuhiraukan suara teman-temanku.
            “Kamu disuruh pulang?”  kata pak Rahman.
            “Iya Pak. Embah saya kritis.”
            “Baiklah kamu boleh pulang. salam untuk keluargamu. Kamu hati-hati.”
            Suasana kelas VIII menjadi sunyi, hanya terdengar suara kakiku. Kuambil tas tanpa melihat siapapun. Pikiranku tertuju hanya kepada embah.
            Di rumah, kulihat embah terbaring telentang. Di ruang tamu. Aku duduk di sampingnya. Kuraih dan Kucium tangan kanannya “Embah, aku sudah pulang nih.”
            Mata yang tadinya tertutup, terbuka perlahan. Ia menjawab sambil tersenyum melihatku “Ekh kamu udah pulang ya.” Mata itu tertutup lagi. embah seperti sedang terbuai mimpi yang tidak bisa ia tinggalkan. Kupaggil-panggil ia tak membuka matanya.
            Tanteku cerita “Tadi embah bangun dan duduk bersandar lalu ia minta dibikinin bubur sewaktu bubur itu matang embah bercanda-canda sama tante. Tiba-tiba        ia tersenyum dan merem tidak bangun lagi. ia sempat  bertanya. Diana mana? Tante jawab Diana lagi sekolah” sudah setelah ia bertanya itu embah enggak bangun-bangun lagi. makanya tante heran pas kamu pulang kok embah bangun. Soalnya dari tadi ia tante bangunin enggak melek-melek seperti tidak mendengar suara apa-apa.”
            Badan embah panas. Denyut nadinya sangat cepat, kadang berdenyut lambat. Anak-anak embah sudah berkumpul tetapi embah tidak juga membuka matanya.
            Aku mencoba memanggil embah. Ia menjawab “iya, apa?” dengan nada yang agak tinggi sepertinya ia tidak mau diganggu. Embah seharian belum makan. Bubur yang dimintanya pun belum sama sekali ia coba. Aku mengambil bubur serta segelas air putih di dapur. kusuapi bubur ke mulut embah. Embah menelan bubur itu. kedua kalinya bubur itu tidak di telan kucaba menyuapi air dengan sendok kecil tetapi air itu pun keluar dari mulutnya.
            Rasa takut akan kehilangan  semakin menghantuiku. Ketika adzan isya berkumandang  embah menarik nafas panjang untuk yang ketiga kalinya dan menghembuskannya perlahan. Lalu Jantungnya tak berdetak lagi.
            Pukul 07.40pm embah telah tiada. Aku seperti tidak menerima kepergian embah. Kumenatap wajah embah, sepertinya ia sangat tenang.
            “Ya Allah mengapa kau mengambil embah? Apa jadinya hidupku ini tanpa kasih sayangnya” aku meratap, menangis terisak.  Seakan aku tak percaya.
            malam ini aku tidur di ruangan bersama embah. Aku bermimpi berada dalam ruangan yang putih tak ada jendela hanya ada kursi coklat. Aku duduk di kursi itu lalu embah datang tersenyum padaku. Embah berkata “Nak, kamu baik-baik ya, jaga dirimu. Nurut sama Om dan Tante” ia tersenyum mencium keningku lalu perlahan ia menjauh “Embah harus pergi.”
            “Embah aku ikut. Aku tak mau sendiri tampa embah.”
            Embah memegang tanganku dan memarahiku agar aku tidak ikut dengannya.
            Setelah bangun, aku berpikir,  mamah sibuk bekerja, bapak sudah meninggal sejak aku berada dalam kandungan sembilan bulan. Aku hanya punya embah dan sekarang embah pergi. Aku seperti sebatang kara di dunia ini.
***
            Di rumah, Aku bersandar ke tembok, kutarik nafas panjang. Kuraih album kenangan bersama embah. Kubuka halaman pertama. Kulihat foto embah menciumku. Aku tersenyum. Kukuatkan jari-jari ini membuka halaman kedua. Mataku kembali basah. Cepat-cepat kututup album itu.
            Kumenoleh ke pintu kamarku. Kulihat aku dan embah sedang bercanda. Kucoba memejamkan mata tetapi bayangan itu datang lagi. Kulihat aku dan embah sedang menonton televisi bersama. Aku berhalusinasi.
            Aku mencoba untuk kuat menghadapi cobaan ini tetapi aku tak bisa. Terlalu banyak kenangan bersamanya. Aku menagis terisak. Aku berteriak sekeras mungkin “Ya Allah maafkan aku yang tak bisa menerima kepergian embah. Terlalu cepat bagiku ya Allah.” 
Mama yang sedang di luar mungkin mendengar suaraku. Ia masuk mendekatiku. Ia menangis memeluk dan mengusap-ngusap kepalaku “Nak maafin mamah yang nak atas sikap mamah selama ini. Mama janji akan menjadi sosok yang  memberikan kasih sayang yang tulus sebagaimana embah menyayangimu nak.”
                “Iya Mam, tak usah meminta maaf. Mama enggak ada salah kepadaku.” jawabku.
                “Mungkin Mama selama ini terlalu sibuk dengan pekerjaan Mama. Sehingga Mama kurang memperhatikan kamu dan kurang mengerti perasaanmu nak. Mama tau sikap mama selama ini tak membuatmu nyaman. Maafkan mama nak.”
                Perlahan kulepaskan pelukannya. Kutatap keteduhan matanya.
                Dalam hati aku berkata “Aku tak pernah merasa sakit hati Mam, atas perilakumu. Aku mengerti perasaanmu.”
                Kuusap air matanya “Aku telah memaklumi keadaanmu Mam, tak pantas bila kau meminta maaf kepadaku. Akulah yang seharusnya meminta maaf kepadamu. Mungkin aku sebagai anak kurang baik dan aku sempat berpikir yang tidak-tidak tentangmu.”
                “Mamah sayang kepadamu, nak.”
                “Iya Mam, aku sayang kepadamu.” Sahutku.
                Kepergian embah membuat mama sadar. Mungkin Allah telah mengabulkan doa-doaku.

***

                Dari hari ke hari, mamah  semakin  sayang padaku, tetapi aku tetap mengikuti Om dan Tante adik mama ke Sulawesi. Aku bermukim di rumah nenek di Sinjai. Tepat di tahun ajaran baru  2011/2012, aku masuk di kelas IX  SMP Negeri 4 Sinjai Timur. Kenangan manis bersama embah masih selalu teringat di benakku. Aku sayang embah. Orang yang terbaik di seluruh dunia. Aku kangeeen.

                                                                                                                       Diana Nabiila
                                                                                                                     November 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar