Senin, 26 November 2012

SEHARI DI BIRA



Bangun pagi, kulihat adik-adikku sibuk berdandan. Aku  malas bangun karena aku tak ikut Shalat Id di  lapangan. Aku datang bulan. ayahku sudah siap dengan setelan baju kok warna putih. Ia memanggil adik-adikku untuk menemaninya sarapan. Aroma ketupak daun pandang memaksaku untuk berdiri menghampiri meja makan. Kulihat ibu masih sibuk di dapur. Dengan rasa malas aku menghampiri ibu untuk membantu melaksanakan tugas pagi.
Kebiasaan pada hari lebaran adalah mengganti seprei dengan yang baru, membersihkan rumah dan menyiapkan makanan special untuk tamu. Beberapa ayam di potong dalam perayaan lebaran kali ini. Tak ketinggalan masakan kesukaanku, opor ayam dan buras.
Hari terasa singgkat. Para jamaah sudah pulang. Ramai keluarga yang datang mengucapkan selamat buat ayah dan ibuku. Mereka berjabat tangan dan berpelukan saling maaf memaafkan. Aku ikut makan bersama tamu yang datang. Aku memang merasa lapar karena kesibukan pagi.
Seseorang mengetuk pintu samping ketika aku duduk menonton televisi. Ternyata Mila tetanggaku berdiri di sama. Aku mengajaknya masuk tapi ia menolak.
:Bagaimana kalau kita ke Bira?” katanya sambil menjabat tanganku.
Aku tak menolaknya. Segera kurapikan meja makan dan pamit pada ibu. Aku berangkat bersama adik dan keponakanku. Semuanya ada 7 orang. Aku memilih duduk di belakang pada mobil bak terbuka itu. Tidak ada pelindung tapi menyenangkan karena angin yang menghembus menyejukkan suasana dan leluasa menyaksikan pemandangan yang indah.
aku duduk dekat Wahyu, temannya sopir sekaligus pacarnya Mila. Ia tidak pernah menoleh padaku. Mungkin karena aku belum kenal dengan dia. Tiba-tiba ia memberiku sebiji permen. Aku tak menolaknya. Segera kuambil dan kumakan.
Pemandangan sepanjang tepian pantai menghilangkan rasa mual karena mabuk darat. Laut dengan pasir putih yang membentang sejauh mata memandang,  pohon nyiur melambai menghadap laut yang tak beriak. kupucingkan mataku karena kilauan cahaya putih mempesona. Angin laut menghembus semilir, laju mobil diperlambat. Aku betul-betul menikmati keindahan ini, membuat suasana damai dalam hati. Tapi... cowok di sampingku belum juga bertutur kata padaku.
Memasuki pintu masuk pantai Bira, laut biru membentang menyambut kami. Rasa gembira di antara rombongan tak terbendung. Kami berlari-lari kecil  ke bungalow dan berdiri menatapi keindahan alam Bira. Seorang turis menghampiriku dan memeluk bahuku. Ia berkata “Hei” aku terkejut dan berlari keparkiran mengambil tasku.
Dengan HP aku buat foto dengan adikku. Beberapa kali kuabadikan kenangan indah ini lalu berjalan menelusuri bibir pantai. Dari jauh terlihat Babana Boat dengan penumpang berteriak-teriak kegirangan.
Lelah berjalan, aku memilih ikut menceburkan diri ke laut. Menikmati panasnya matahari, asinnya air dan dinginnya laut Bira. Aku berperang air dan pasir dengan keponakanku. Aku tinggal berdua karena yang lain masih berjalan—jalan. Kuajak keponakanku Meli untuk belajar berenang. Karena keasyikan aku tak sadar kalau rombonganku ada di sampingku. Wahyu bergabung denganku. Ia mulai ramah.
Wahyu mengajariku bermain bola air. Cukup menyenangkan apa lagi setelah aku sadar kalau aku cuma berdua Wahyu karena ditinggal menjauh teman lainnya. Aku mengajaknya berkenalan mulai bertanya alamat, nama dan tempat tinggalnya.
“Kau bisa berenang” ia mengangguk.
“Kalau begitu ajari aku berenang.”
Dia memegang tanganku dan membiarkanku mengayuhkan kaki. Ketika kucoba untuk lepas dari pegangannya, aku tenggelam. Ia segera menolongku dengan menopangku ke permukaan air. Aku tersipu malu. Selanjutnya ia menyuruhku berpegangan di pundaknya. Aku tertawa cekikikan.
Sambil bersenda gurau Wahyu berkata “Kenapa bebek bisa berenang sedangkan kamu tidak.?” Masa aku dibanding-bandingkan dengan bebek.
Sebagai jawaban, aku menyemprotkan air ke mukanya dan ia membalas padaku.
Suasana jadi berubah ketika teman lainnya mendekat dan menggoda padaku. Aku dan Wahyu cuma tersenyum malu, walau tangannya tak kepas padaku.
Tiga jam bersama dalam air, kami menepi untuk makan bersama.
Ketika hendak naik ke mobil, Wahyu mengajakku kembali duduk dekatnya. Aku tidak menolak. Aku  kembali menoleh sekali lagi melihat keindahan pantai Bira. Hempasan air menerpa pantai.
Dalam perjalanan pulang yang lain  tertidur. Aku mabuk, kepalaku pening. Tinggal aku dan Wahyu yang tak tidur. Wahyu menawarkan pahanya untuk aku tiduri. Aku menurut saja. Aku tertidur pulas hingga aku tak sadar kalau aku sudah sampai di rumah.
Wahyu membangunkanku dengan lembut. Aku tersenyum malu telah numpang tidur di pahanya.
Sebelum aku melompat turun, ia membisikkan padaku “Akankah kita bertemu lagi?”
Aku menjawab dengan anggukan dan senyum. Aku turun dari mobil dan melambaikan tangan padanya. Dalam hatiku berkata “Yah, kita akan bertemu kembali.”

Ilmiani
Kelas IXD SMP Negeri 4 Sinjai Timur
Oktober 2012

Jumat, 02 November 2012

STATUS CINTA AMILAH




Tanggal 15 Agustus 2012 Amilah dan Dul menikah. Sebuah pernikahan sederhana atas sebuah cinta lama yang bersemi kembali. Masa-masa pacaran Amilah dan Dul dilalui semasa sekolah hingga menjadi guru. Tapi Tuhan tak menghendaki perjodohan kedua remaja itu. Dul menikah dengan pilihan orang tuanya.
Di pelaminan terlihat cerah di wajah Dul, tapi kelelahan di mata Amilah menyalami tamu-tamu yang datang menyaksikan pengantin yang tak remaja lagi.  Denting cinta kembali bersemi  setelah kandas bertahun-tahun.
****
Amilah baru saja ke luar dari gerbang rumah. Ia diantar  ayahnya dengan naik motor Vespa tua. Ia tak mempermasalahkan vespa berkarat itu yang penting bisa berangkat mengajar dengan selamat.. dari arah berlawanan sebuah mobil melaju kencang menyerempet Amilah dan ayahnya. Ayah Amilah dilarikan ke rumah sakit karena lukanya.
“ Cuma luka ringan. Tak perlu dikhawatirkan.. ia bisa pulang dan rawat jalan.”
Amilah bersyukur mendengar  penjelasan dokter. Ia ingat kata-kata ayahnya ‘Kapan kau menikah? Kamu sudah tak muda lagi.” Kata itu selalu diucapkan setiap kali ia sakit.
Di Rumah sakit, Amilah berpapasan dengan seorang pemuda yang tidak asing baginya.
“Apa kita pernah  berjumpa?”
“Di terminal Mallengkeri” jawab Amilah sambil tersenyum. “ Bukankah kau Fajrin?
“Tante teman ayahku, kan? Kata  Fajrin.
Amilah mengangguk memandangi wajah Fajrin yang mirip dengan Dul, tinggi, putih  ada tahi lalat di dagunya.
“Maaf tante, lain kali bisa ketemu lagi. Aku buru-buru ada kerjaan. aku di sini, dibagian administrasi.”
            “Sampai ketemu lagi.” Kata Amilah setengah melambai. Lalu menutup mulutnya. Bagaimana kabar Dul sekarang? Aku lupa menanyakannya. Rasanya aku ingin bertemu setelah memandang wajah anaknya.
Setiba di rumahnya. Dul, pria yang pernah menjalin cinta dengannya berdiri di teras rumah. Sejak isteri Dul meninggal, ia sering menyempatkan diri bertemu dengan Amilah. Bagi Amilah, tak ada kecewa dua kali atas penghinaan keluarga Dul atas keluarga Amilah. Semuanya tak akan pernah terulang.
“Mengapa kamu ke sini.” Tanya Amilah
Aku mendengar cerita dari anakku. Bahwa ayahmu lagi sakit” jawaban  Dul membuat Amilah kaget. Siapa yang menceritakan semua ini?
“Masuklah dulu” ayah Amilah menyelah di pintu.
Dul tak menerima ajakan itu. Ia pamit pergi sebelum menyampaikan pernyataan turut bersedih atas musibah kemarin.
Walau keadaan telah berubah dan keluarga Dul menyadari kehilafannya, Dul merasa malu bertemu dengan ayah Amilah. Ayah Dul telah menyepelekan keluarga sederhana ini sehingga ia tak jadi menikah dengan Amilah, 25 tahun lalu. Tapi ayah Amilah tak menghiraukan itu karena prinsipnya kemuliaan ada di hati masing-masing, bukan dari pujian atau pemberian siapapun.
Berdiri di pinggir jalan menunggu angkot, Amilah kegerahan. Sejak motor ayahnya rusak ia selalu naik angkot. Sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca jendelanya perlahan turun. “mari!, aku mengantarmu.’ Kata Dul yakin.
Amilah bingung sejenak. Apakah aku harus menerima ajakan Dul? Kalau tidak, ia melirik jam tangannya. Jam pelajaran hampir dimulai. Ia naik dan duduk di samping Dul.
“Aku menjemputmu nanti siang.” Kata Dul ketika Amilah membuka pintu mobil di depan sekolah SMA Pembina. Amilah tidak menjawab. Ia cuma tersenyum. Ia tidak mengharapkan itu lagi. Masa lalu biarlah berlalu.
Sepulang sekolah, Amilah  mampir makan Coto Makassar di samping sekolahan. Coto Makassar adalah makanan pavoritnya.  Disaat memesan coto seseorang menyenggolnya.
“Maaf Tante.” Kata gadis itu
“Wah, kamu kan Jenny anak Dul. Dengan siapa ke sini? Kata Amilah sambil memegang tangan Jenny.
“Iya Tante. Tapi, Dul itu siapa?”
“Maaf, maksud aku Abdullah, ayah kamu”
“Idih, Tante ini siapa sih. Sok kenal.” Ada kesal di wajah Jenny.
Amilah jadi kecewa ia meninggalkan penjual coto dan berjalan menuju halte. Ia dongkol tak nyangka kalau Jenny tak mengenal dia. Apa ia sengaja? Atau....
Sebuah mobil membunyikan klatson di depannya. Kaca jendela pelan terbuka. Dul tersenyum di sana.
“Ayo, naik!.”
Amilah menjadi ragu. Di  mobil itu ada Jenny dan  Fajrin.”Tak usah repot-repot lagi pula aku bisa naik angkot.” Kata Amilah sambil melihat wajah Jenny yang cemberut.
“Cepatlah, kita semua hendak ke rumahmu” kata Dul sambil membuka pintu.
Bagai kerbau dicocok hidungnya, Amilah menurut saja duduk di depan di samping Dul.
Rasa kaku ada di wajah Amilah. Bayangkan, baru saja Jenny mempermalukannya di depan umum. Walau begitu ia harus tegar seperti tak pernah terjadi apa-apa. Amilah menengok ke belakang “Jenny, kapan datang?
“Tadi pagi Tante.” Jawab Jenny dengan ketus. Amilah bertambah kaku.
Di depan rumah Amilah, Dul mematikan mesin mobilnya. Ia mengajak anaknya untuk turun.
“Ini rumah Tante? Ih!, kok ada bebeknya sih. Menjijikkan”
Dul membentak “Jenny! Diam.”.  Dul menghampiri Amilah “ Maaf atas ucapan Jenny tadi”.
Rumah Amilah memang terkesan kumuh.  Selain rumahnya kecil juga ada kandang bebek. Bau busuk menyengat  hidung. Tapi, ayahnya tak mau meninggalkan rumah itu walau Amilah punya rumah sendiri yang terpaksa dikontrakkan karena menemani ayahnya yang sendirian.
“Oh, nak Dul. Ayo silahkan masuk.” Kata ayah Amilah sambil membuka pintu. “
“Perkenalkan anak aku. Fajrin dan Jenny”
“Wah sudah dewasa ya?”
“Ibunya meninggal.” Kata Dul sendu.
“ Turut berduka yang sedalam-dalamya. Maaf telah mengungkit masa  lalu”
“Tak apa, itulah sebabnya aku ke sini. Maksud kedatangan ku mau melamar Amilah.
Mendengar ucapan Dul, Amilah kaget, suaranya tersendat di kerongkongan. Ia tidak menyangka kalau Dul mau melamar dirinya.
“Apa?.. Tak mungkin!” Jenny berlari meninggalkan rumah Amilah. Ia menangis berlari ke jalan raya. Terdengar derik rem mobil dan dentuman keras. Semuanya berlari ke arah suara itu. Jenny tergeletak di pinggir selokan. Wajahnya berlumuran darah...
Walau lukanya agak parah, Jenny menyampaikan permohonan maaf pada Amilah atas kekesalannya. Amilah cuma tersenyum mengiakan. Menggenggam tangan Jenny  lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang. “Tak ada pernikahan tanpa restumu.” Bisik Amilah lembut.
Jenny menumpuk tangan Amilah dan tangan ayahnya di atas dadanya. Ia tersenyum puas memandangi wajah Amilah bergantian dengan wajah ayahnya. Tapi Tuhan berkehendak lain. Jerik tangis menghiasi ruang UGD rumah sakit. Jenny pergi untuk selamanya.. duka cita menyelimuti keluarga itu. Jasad Jenny di kuburkan di samping pusara ibunya.
                                                                                                                                Nu’man Rayyan
                                                                                       Kelas  IX A  SMP NEGERI 4 SINJAI TIMUR
Oktober 2012

DENDAM MEMBAWA PETAKA

     Bangun pagi dengan rasa kecewa. Aku tak jadi pindah sekolah ke kota dimana orang tuaku berada. Penyebabnya karena sekolah yang ingin aku tuju sudah penuh kuota siswanya dan tak bisa menerima siswa baru lagi. yang parah lagi aku jatuh tertimpa tangga. Selain tak bisa bersekolah di tempat tinggal orang tuaku, aku juga harus pindah dari sekolahku dahulu, sekolah dimana teman-teman dan aku berkumpul, sekolah dimana aku mendapat banyak pengalaman dan sekarang aku harus pindah karena sudah resmi keluar. Aku yang dulunya sekolah di SMP Negeri 2 Sinjai, kini harus bersekolah di SMP Negeri 4 Sinjai Timur.
            “Bangun nak, ini hari pertamamu di sekolah narumu. Kamu harus cepat” kata tante  dengan lembut. Dengan sigap aku bangkit berdiri merapikan tempat tidur lalu ke kamar mandi.
Aku diantar tanteku menemui kepala sekolah. Aku resmi diterima dan diantar ke kelas yang kebetulan saat itu  pelajaran bahasa indonesia, salah satu pelajaran yang aku sukai.
Guru bahasa Indonesia mengatakan “Yah anak-anak kita kedatangan teman baru, silahkan memperkenalkan diri nak”
“Assalamu alaikum, nama saya Muhammad Farhan, saya pindahan dari SMP Negeri 2 Sinjai Utara. Saya tinggal di rumah tante di jalan Andi Akbar. Sekian, Assalamu alaikum Wr.Wb”
“Silahkan duduk nak” kata guru yang mengajar saat itu.
Aku duduk sebangku dengan murid dengan tingginya sama denganku dan sedikit berkulit hitam.
“Hay!, aku menyapanya dengan ramah.
Hay juga” jawabnya enteng.
“Nama kamu, siapa?” tanyaku lagi.
“Perkenalkan nama saya Farid” katanya lagi.
Belum sempat aku bertanya lagi, guru berkata “Karena kamu murid baru di sini, mungkin kamu belum tahu nama saya, nama saya bu Basma. Saya guru bahasa Indonesia di sini. Tanpa memberitahu pun kamu pasti sudah tahu dari materi yang saya tulis di atas”
“Iya bu.“ jawabku menunduk.
Aku pun mulai belajar dengan teman-teman baruku. Aku  cepat akrab dengan teman sebangkuku Farid.
lonceng tanda istirahat. Siswa menyambutnya dengan senang. Semua teman kelasku berhamburan ke luar  kecuali aku dan Farid. Farid mengajakku mengobrol. Aku menurut saja karena tidak lapar. Aku sudah sarapan pagi.
“Kenapa kamu pindah?” kata Farid memandangku serius.
Sebenarnya aku ingin pindah ke rumah  orang tuaku yang ada di Pangajene. Terus aku urus surat pindah sekolah. Dan kebetulan di Pangkajene ada sekolah yang mau menerimaku, tapi setelah surat pindahku resmi ke luar. Sekolah yang ada di Pangkajene itu sudah penuh kuota siswanya dan tak bisa menerimaku lagi”
“Terus?” tanya Farid lagi
“Yah, aku pindah ke sini” kataku dengan spontan.
Belum sempat bertanya lagi, dari luar banyak siswa yang masuk. Aku dapat mengenal mereka. Itu teman-teman kelasku. Mereka mengajakku berkenalan satu persatu. Lonceng tanda masuk membubarkan teman-temanku yang mengelilingku. Mereka satu persatu duduk dengan tenang menunggu pelajaran berikutnya.
Di perjalanan pulang aku beriringan dengan Farid. Kebetulan arah pulang kami sama. kami banyak bertukar cerita di jalanan mulai dari keseharian kami sampai dengan hobi masing-masing. Dipersimpangan aku berpisah karena aku harus naik angkutan umum dan Farid berjalan ke arah berlawanan.
“Sampai jumpa besok” Kataku sembil naik angkutan umum.
Farid hanya membalas dengan lambaian tangan.
Perasaan senang dan puas di hati karena tadi di sekolah aku banyak mendapat teman baru dan dan guru-guru perempuan yang ramah padaku.
Demikianlah keseharianku, tambah hari tambah banyak teman baru, baik itu kakak kelasku maupun sederajat. Demikian pula pengalaman berharga yang aku dapat mulai dari bertambahnya ilmuku dari guru-guru yang aku suka dari cara mengajarnya.
            Suatu hari aku terlambat bangun dan saat menunggu angkutan umum pun lama. Akibatnya aku terlambat ke sekolah. Belum sempat aku masuk di gerbang sekolah, ada suara yang memanggilku. Aku menoleh dan melihat Idris, salah satu siswa yang terkenal nakal. Karena kulihat di lapangan telah dimulai upacara, aku memilih ikut Idris ke sawah yang ada disekitar sekolah. Di situ aku bersembunyi. Idris mengeluarkan rokok dan mengisapnya.
“Kalau aku terlambat, selalu bersembunyi di sini. Setiap upacara ataupun SKJ (Senam Kesegaran Jasmani) aku selalu sembunyi” katanya sambil menghembuskan asap rokoknya.
Aku cuma diam karena aku takut ketahuan
Tak berselang lama terdengar suara derak kaki. Idris dengan cepatnya membuang rokok yang ia isap lalu kami menunduk. Kami dapat melihat orang yang berjalan. Pak Samad, guru olah raga. Jantungku berdebar dengan cepat, walau idrus tenang-tenang saja aku yakin kalau ia pasti sama apa yang kurasakan. Perasaan takut. Kulihat Pak Samad berjalan ke arah kami, makin lama makin dekat.
Bagai kijang, Idris berlari menuju ke hutan-hutan belakang sekolah. Karena Pak Samad sangat dekat dengan kami, maka ia melihat idris berlari. Dengan sigap pak Samad mengejarnya. Untung aku tak terlihat. Hampir saja . Kataku dalam hati.
“Entah apa yang terjadi dengan idris, apakah ia ditangkap oleh Pak Samad ataukah idris lepas dari kejarannya. Tapi apabila tertangkap lalu Idris  menyebut namaku. Waduh! Bagaimana ini?” kataku dengan gelisah.
Pelaksanaan upacara telah usai, dengan berhati-hati aku masuk kelas. aku lega karena tidak ketahuan. Aku bersikap biasa seperti tak terjadi apa-apa sambil menunggu guru selesai rapat.
“Farhan, kamu dipanggil dikantor” kata Syahrul yang juga teman kelasku.
“Ada apa aku dipanggil?” tanyaku
“Aku tak tahu” jawabnya dengan singkat
Aku ke kantor dengan perasaan tak enak.Rasa lega  kini berbalik seratus delapan puluh derajat menjadi perasaan takut.
Di kantor aku melihat idris duduk tertunduk lesu. Aku tambah takut. Jangan-jangan.. belum sampai aku melanjutkan aku langsung dipanggil masuk Pak Samad dan langsung bertanya dengan suara keras. “Apa kau tadi bersembunyi bersama Idris waktu upacara?” benar dugaanku namaku pasti disebut Idris.
“Apa benar?” kata pak Samad melotot.
“Iya pak” kataku dengan terbata-bata
“Kenapa kamu sembunyi?” Pak Samar bertanya lagi.
Walau sangat takut aku menjawabnya “Saya terlambat bangun pak, dan waktu menunggu mobil angkutan saya menunggu lama, pak”
“Tapi kenapa tidak masuk?”
“Tadi mau masuk pak, tapi idris memanggil. Saya ikut dengan Idris Pak.” Jawabku dengan yakin
“Baiklah jangan ulangi lagi perbuatan kamu. Biar dipanggil oleh siapapun jangan mau” kata pak Samad dengan tegas “Sekarang kamu boleh pergi. Kembali ke kelas” katanya lagi.
“Baik Pak” kataku sambil berlalu.
Belum  sampai aku ke luar terdengar suara bentakan terhadap idris. Pastilah idris dimarahi karena telah mengajakku bersembunyi tapi dalam hati juga takut. Barangkali idris akan dendam kepadaku.
Usai jam sekolah, seperti biasa aku pulang dengan Farid dan berjalan bersama. Tiba-tiba kulihat idris dan teman-temannya mendekatiku.
“Ia pasti mau mengajakku berkelahi gara-gara permasalahan tadi” kataku kepada Farid. Ternyata filingku salah, Idris langsung minta maaf kepadaku dan mengaku salah atas perbuatannya. Lalu aku mememaafkannya  dan idris langsung pergi dengan gerombolannya.
Farid tiba-tiba tertawa.
“Kamu kenapa” tanyaku
Tadi Kamu pasti mau lari melihat gerombolan idris yang kamu sangka mau memukulmu”
“Enak saja, kami pikir aku pengecut kayak kamu yang hanya bisa lari dari masalah?” kataku memotong
“Ngak usah bohong deh” kata Farid lagi
“Udah..udah, lupakan. Aku mau ngajak kamu ke Lapangan Sinjai Bersatu entar. Kebetulan nanti malam pembukaan pameran Sinjai.” Kataku mengalihkan pembicaraan.
“Iya..iya aku mau . tunggu aku  di rumahmu” kata Farid dengan bersemangat
“Memang kamu tahu rumah aku, nginjak kota aja kamu jarang.“ kataku ngeledek.
“Jangan salah kamu. Aku selalu jalan-jalan ke Lapnas (lapangan Nasional) cari cewek” katanya lagi.
“Memang kamu tahu Lapnas dimana? Tanyaku
“Tahulah. Masa Lapnas saja ngak tau. Kampungan deh. Lapnas itu dekat pasar sentral kan?”
Aku tak bisa menahan tawa. Masa Lapnas dekat pasar sentral. Yang kamu maksud itu mungkin Taman Demma. Mentang-mentang selalu lewat situ kalo pergi jual ikan. Taman Demma dikira Lapnas.
“Kamu ngeledek teman sendiri ngak bisa lu lihat teman senang sedikit” katanya dengan sedikit malu.
“Iya..iya. maaf. Bentar aku jemput di rumah kamu. Jam tujuh harus sudah siap. Kalo aku datang, pake baju paling keren yang kamu punya. Nanti malu-maluin aku.” kataku dengan ngeledek.
“Ok bozz” katanya dengan spontan.
Dalam hatiku bilang mungkin Farid sudah kehabisan kata-kata sehingga ngak balas aku.
Tepat jam 7 malam aku sampai di rumah Farid. Kulihat Farid berdiri di teras mengenakan kemeja lengan panjang. “Gagah juga yah kamu Rid, pake baju begitu” kataku memulai percakapan.
“Kamu orang yang ke 1001 yang bilangin aku gagah” katanya dengan percaya diri.
“Iya..iya, ayo kita berangkat sekarang, cepatan naik.”
“Oke bozz”
Di lokasi pameran. Karena baru pembukaan, kami mengelilingi dan memasuki stand pameran satu persatu. Setelah capek kami membeli Pop Ice dan duduk-duduk di tempat parkiran depan SMA 2 Sinjai. Belum larut ketika kami hendak pulang.  Sebelum beranjak dari tempat duduk, ada orang menghalangi kami.
“Aku kenal 2 orang di depan itu namanya Rama dan Baso. Dulu ia kakak kelasku di SMP 2 tapi 3 orang tegap yang dibelakangnya aku tak kenal” kataku membisik ke Farid
Rama dan Baso dan ketiga orang besar itu mendekatiku “Kamu lihat Kahar?” kata Rama padaku.
Kahar adalah teman nongkrongku. Mungkin kahar punya masalah dengan Rama, kebetulan Rama melihatku ia langsung bertanya padaku.“Tidak. Aku tidak melihatnya. Aku kemari bersama temanku ini” kataku sambil menunjuk Farid.
“jangan sembunyikan Kahar” katanya sambil memukulku. Pipiku terasa membara
Sebenarnya aku ingin melawan karena postur badanku sama dengan dia tapi melihat tiga orang yang berdiri di belakangnya aku mengurungkan niatku. Ia lalu menamparku dan memukulku. Setelah itu ia pergi bersama teman-temannya karena ada orang tua yang menghalangi mereka memukulku.
Setelah kejadian itu aku pulang mengantar farid. Diperjalanan Farid selalu membuatku tertawa dengan kelucuannya
“Untuk saja tadi tak ada empang seperti di kampungku. Kalo ada aku sudah buat mereka jadi ikan mujair” kata Farid mencoba menghiburku.
Meski Farid terus saja menghiburku tapi aku sudah sangat sakit hati kepada Rama dan Baso aku harus balas dendam .
Keesokan harinya setelah pulang sekolah aku mengumpulkan teman-temanku. Kebetulan Rama dan Baso sekarang sedang les sore.
            Setelah semua teman-temanku terkumpul, kami ke depan SMP Negeri 2 Sinjai. Menunggu Rama dan Baso pulang sekolah. Cukup lama menunggu akhirnya kulihat keduanya keluar dari gerbang sekolah. Tanpa pikir panjang bersama teman-temanku, aku langsung memukulnya. Karena banyak yang membela Rama dan Baso akhirnya kami  berkelahi secara kelompok. Setelah aku dan teman-temanku memukul Rama dan Baso kami semua langsung lari karena guru SMP 2 ke luar. Dalam perjalanan pulang aku merasa puas telah membalas perlakuan Rama dan Baso kepadaku kemarin.
Setelah kejadian itu aku pulang dan janjian untuk ketemu  di pameran nanti malam.
Jam menunjukkan pukul 6.30 malam ketika aku usai mandi dan berpakaian. Karena belum Sholat Isya, Aku baring-baring melihat bekas luka karena perkelahian tadi. Karena kecapaian, aku tertidur.
Farhan!,  Farhan!, ada temanmu  memanggil.”  Tanteku berteriak di pintu kamar.
Aku terjaga dari tidur. Ternyata jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Aku cepat-cepat ke pameran bersama teman yang menjemputku.
Di gerbang pameran karena kami terpisah dari teman-teman, kami harus saling mencari. Saat di tengah  lapangan, aku dan Yusuf di kepung oleh Rama, Baso dan teman-temannya. Mereka memukulku. Aku melawan mati-matian. Teman-temanku datang membantu. Kami keroyokan. Perlawanan imbang. Polisi datang dan menangkap aku, Rama dan Baso. Yang lainnya melarikan diri.
Di tempat pos kami ditanya. Mengapa berkelahi, dimana tempat tinggal dan pertanyaan lain. Setelah itu kami dibawa ke Polres dengan naik mobil Tahanan Polisi. Di sana kami ditanyai. Karena kami gugup, kami bertiga di masukkan ke dalam sel . Aku ceritakan semua dengan penjaga sel hingga ia mengantarku kembali  ke pos penjagaan. Setelah menjelaskan semua permasalahan akhirnya aku bertiga dibolehkan pulang.
Setelah kejadian itu, aku, Baso dan Rama tak ada dendam apa-apa. Aku sering ketemu di lapangan Putsal  tapi tak terjadi apa-apa. Mungkin ia seperti aku takut masuk sel polisi lagi.
ANDI MUH.AKBAR
Kelas IXd SMP Negeri 4 Sinjai Timur
2011