Blog ini bertujuan sebagai file dokumentasi peserta didik dan guru di SMPN 22 Sinjai
Senin, 24 Desember 2012
Jumat, 21 Desember 2012
Sabtu, 15 Desember 2012
SENYUM TERAKHIR PAK SUBANDI
(Mengenang Guruku
yang pergi lebih awal menghadap Tuhan. Insya Allah Tuhan akan menerima amal
baikmu karena kami semua mencintaimu. Selamat jalan Guruku)
Selasa
pagi, 2 Oktober 2012, terasa disambar petir, kaget luar biasa mendengar kabar
kalau guru honor Alumni UNM jurusan Matematika di sekolahku meninggal dunia. Aku
bergegas menemui wali kelas dan memohon diberi izin melayat ke rumah duka.
kulihat mata para guru memerah menahan kesedihan. Duka yang mendalam
menyelimuti SMPN 4 Sinjai Timur. Guru
yang serba bisa itu telah meninggalkan kami semua.
Jam
pelajaran terakhir aku berangkat bersama teman-teman. Tangisku tak dapat
kutahan melihat jasad kaku di hadapanku. Guru ahli teknologi informatika ini
pergi dengan tenang untuk selamanya.
***
Hari
pertama sekolah usai libur perayaan idul Fitri 1433 H, aku dan teman-teman
pergi menjenguk Pak Subandi yang sedang
sakit. sudah lama ia tidak masuk sekolah.
Langit
cerah di sore hari pukul 3.00. ayah mengantarku ke rumah Nurul. Ina dan Wahda sudah datang terlebih dahulu. Kami lansung
berangkat meyusuri jalan sepi menuju Dompili, ke rumah pak Subandi. Belum jauh
berjalan, tali sandal Nurul terputus. Perjalanan menjadi lambat karena
Nurul berjalan menyeret kakinya.
“Firasat
apa ini?. Kok sendalku putus.” Kata Nurul.
“Yah,
sandal tua, putus saja tak pakai firasat.” Jawab Ina.
Di
Dompili, kami bingung tak tahu yang mana rumah Pak Subandi.
“Rumah Pak Subandi yang mana sih?” Wahda
bertanya pada Nurul
“Mungkin
ini.” Kata Nurul sambil menunjuk rumah yang bercat putih “Menurut Rezky,
rumahnya bercat putih dan pagarnya juga berwarna putih.”
“Eh, itu
motornya Pak Subandi.” Sahut Ina dengan riang.
Aku
menyela “ Gini aja Nurul dan Ina bertanya biar ngak salah”
“Oke.’
Kata Nurul sambil berjalan menuju rumah sebelah
Tak berapa
lama berselang, Ina dan Nurul kembali dengan wajah riang luar biasa.
“Ada
apa?” tanyaku penasaran.
“Aduh
senangnya. Aku tadi bertanya pada cowok guaaaanteng baangeet.” Kata Nurul
seperti orang kesurupan..”
“Udah.
Sekarang yang mana rumah Pak Subandi.”
“Itu
yang tadi” jawab Ina.
“Kalau
begitu kita masuk aja “sela Wahda
“Nurul,
kamu masuk duluan.” Kataku pada Nurul ketika memasuki halaman rumah.
“Lho,
kenapa aku?”
“Udah,
cepatan kita masuk sama-sama saja” kata Ina.
Seorang
nenek dengan ramah membukakan pintu untuk kami. Ia mempersilahkan kami masuk
dan mengatur diri di kursi ruang tamu.
Seorang
pria kurus mendekati kami, semula aku tak kenal kemudian aku terkejut kalau
ternyata pria itu adalah guruku. Dari ujung kaki sampai ujung rambut aku
perhatikan. Badannya kurus, kusam tak terawat. Aku heran melihat perubahan itu.
Walau begitu aku berusaha tersenyum. Sangat bersyukur bisa melihatnya. Sudah
lama aku tidak bertemu dengannya.
Pak
Subandi tersenyum menyalami kami satu
persatu. Tangannya sangat kurus. Ia berusaha duduk walau terlihat dipaksakan.
Mataku
merayap keseluruh penjuru rumah. Tak ada orang lain kecuali Pak Subandi dan
neneknya. Ayahnya yang pensiunan pegawai SD tidak ada di rumah. Juga dua kakak
laki-lakinya yang guru biologi dan guru fisika di SMP
dan adik lelakinya yang juga
seorang guru. Aku kagum pada keluarga ini.orang tua sederhana yang
menyekolahkan anak-anaknya hingga berhasil. Kalau saja aku seperti keluarga
ini.
Nurul
memberikan bingkisan yang kami bawa dari rumah.
“Terima
kasih,” kata Pak Subandi
“Kenapa
bisa begini, Pak? Nurul memulai
percakapan.
“Saya
juga tidak tahu kenapa.” Jawabnya sambil menunduk.
“Memangnya
Bapak sakit apa?” tanyaku.
“Kata
dokter, kanker kelenjar.”
Menyebut
kata “Kanker” aku terkejut luar biasa. Kulirik wajah teman di dekatku, ternyata
ia sama denganku. Badanku terasa bergetar. Penyakit yang sangat berbahaya ini
menyerang guruku. Konon kabarnya
penyakit kangker yang menyerang pada usia remaja akan lebih cepat
menjalar ke seluruh tubuh dibanding jika kangker menyerang orang tua.
“Awalnya
aku kira sakit maq. Memang aku malas makan. Ulu hatiku sering terasa sakit dan
itu sudah berlangsung lama. Belakangan ini leherku terasa tengang dan kaku. Aku tak bisa menoleh.
Kukira karena kecapean ikut bantu-bantu membangun rumah dapur di belakang.
Karena sakit lehernya tak mau berhenti, aku periksakan diri ke dokter, ternyata aku juga menderita penyakit lever.”
Pak
Subandi berhenti sejenak. Terdengar rasa
lelah dari lirik suaranya. Tak terasa air mataku menetes begitu juga dengan
temanku yang lain. Suasana menjadi hening. Aku bisa membayangkan rasa sakit
yang diderita guru matematikaku.
Pak
Subandi menunduk pasrah, kemudian melanjutkan “Penyakit kangker kelenjar ini tidak bisa
diobati sebelum mengobati penyakit lever terlebih dahulu.”
“Tapi
perut Bapak sepertinya membesar” kataku menyela
“Iya.
Sekitar seminggu yang lalu. Ini akibat penyakit lever.
“Bagaimana
kalau diopname?” sela Nurul.
“Sudah
dilakukan. Sebulan aku di rumah sakit dan dokter menyarankan rawat rumah saja.
Sekarang cuma ada pengobatan alternatif” Pak Subandi menjawab dengan wajah
pasrah.
“Obat
yang paling mujarab adalah makanan Pak. Makanlah apa saja agar bergizi dan
dapat menolak penyakit.”
“Aku
tak nafsu makan. Aku Cuma bisa makan ikang goreng yang diberi bumbu. Atau Ice
Miami.
“Ice
Miami?” jawabku serentak.
“Iya.
Begitulah. Aku setiap hari makan Es Miami. Makanan lainnya akan membuatku
muntah” jawab Pak Subandi.
“Kapan
Bapak terakhir kali mengajar?” Tanya Nurul.
“Saya
juga tidak terlalu ingat, mungkin sebelum UAN (Ujian Akhir Nasional).” Kata Pak Subandi.
Suasana
kembali sepi, serasa ikut hanyut dalam penderitaan Pak Subandi. Nurul mencoba
mencairkan suasana sore itu dan berkata
“Semenjak pak Subandi tidak mengajar, sekolah terasa sepi.”
‘Kenapa
begitu?” Tanya pak Subandi.
“Karena tidak ada lagi guru pemuda di sekolah.
Tak ada lagi yang dikomentari tentang cara berpakaian sampai cara berjalan. Kami
semua tertawa mendengar jawaban Nurul.
Pak
Subandi Cuma tersenyum dan menunduk
lesu. Seorang nenek mengantarkan kami senampang teh dan mengaturnya di atas
meja.
“Silahkan
minum, tapi biasanya kalau ibuku membuat teh rasanya tidak manis.” kata Pak Subandi
“Yang
tadi ibunya Pak Subandi?” tanyaku bersamaan dengan Nurul.
“Iya.”
“Aku
kira neneknya Pak Subandi.” Sela Inna dan Nurul.
Pak
Subandi Cuma tersenyum. “Mohon maaf kalau boleh aku tiduran di sofa.”.
“Ia
Pak, silahkan. Ngak apa-apa. Kita bisa berbicara sambil Bapak tiduran” Kataku
“Amalia,Amalia”
Ina Menggamitku.
“Apa
sih Ina.” jawabku kesal
“Lihat
itu.” Ina menunjuk Foto yang ada di pojok ruangan.
“Oh
Foto Pak Subandi.” Suaraku keras.
“Pak,
dari tadi Ina lihat terus ke foto Bapak yang di pojok” kata Nurul sambil
meminum tehnya.
“Tidak
Pak” Ina bela diri “Nurul, jangan sembarang bicara dong.”
“Ganteng
Pak” kataku.
“Itu
foto waktu di SMA.
Tiba-tiba
Nurul berlari ke luar rumah. Ia keselek minum teh. Ia muncul kembali dengan
mata memerah,
“Makanya
kalau minum jangan ketawa” Kata Ina.
“kalian
sih, bikin ketawa terus.”
Nurul
kembali duduk menyekah wajahnya yang memerah.
“Rambutnya Pak Subandi kayak Jambulnya
Syahrini.” Kami semua tertawa mendengarnya komentar Nurul.
Pak
Subandi lagi-lagi tersenyum memegang rambutnya “Oh, ini, katanya, orang sakit
tidak boleh potong rambut”
Nurul
melanjutkan candanya. Kami semua tertawa tapi Pak Subandi Cuma bisa tersenyum dan
tersenyum. Cuma itu yang bisa ia lakukan. Tidak seriang dulu ketika ia di kelas
mengajarkan Matematika atau Teknologi informatika.
Pukul
5.00 sore kami pamit pulang.’
“Minal
aidzin wal faizin.” Kata Pak Subandi
”Iya
pak. Kami juga. Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin”
Kataku sambil bersalaman dengan Pak Subandi dan ibunya.
Ibu
Pak Subandi mengatar kami sampai di pintu. Aku meninggalkan rumah pak Subandi
dengan pilu yang mendalam. Tak terbayangkan betapa penderitaan yang dialaminya.
Guru muda itu diberi cobaan oleh yang Kuasa. Mungkin aku sependapat dengan
semua teman-temanku bahwa penyakit yang
diderita guruku sangatlah parah, hingga perjalanan pulang terasa lama karena
semuanya hening, berbicara dengan diri masing-masing.
Nur Amalia Amir
Kelas IXA SMPN 4 Sinjai Timur
Oktober 2012
Minggu, 09 Desember 2012
MENCOBA UNTUK SETIA
Pertama kali melihat dia, rasanya biasa
saja. Aku akrab lalu bermain bersama, bersendagurau menghabiskan waktu
dengannya. Semua berjalan begitu singkat.
Di hari yang cerah, Saat pengumuman
kelulusan sekolah aku dan Evan bertemu. Dia baik, Tapi yang aneh di saat semua bersorak gembira, Evan
hanya duduk melamun tak tahu ada apa dengannya. Aku menghampiri Evan yang saat
itu sedang duduk di bangku taman sekolah. Aku bertanya kepada Evan. Ada apa.
Mengapa melamun? Ia tak merespon.
Teman
mengajakku berkomfoi merayakan kelulusan. Awalnya, Evan tak tertarik tapi
karena bujukanku, ia setuju.
Di
perjalanan aku berada di belakang sepeda motornya. Saat ia akan mengambil alih
pimpinan, tiba-tiba mobil terontong datang dari arah berlawanan. kecelakaan tak
dapat dihindarkan.
Terpukul,
begitulah keadaanku. Di saat baru mengenalnya beberapa bulan tapi dia
meninggalkanku secepat itu dan dengan cara yang menyedihkan. Sampai saat ini aku
masih menyalahkan diriku terhadap meninggalnya Evan. “Ya Allah mengapa semuanya
berlalu begitu saja? Mengapa Kau mengambil dia, mengapa bukan aku saja?” Aku Cuma ingat satu pesannya “Kau harus kuat dan tegar menghadapi semua
cobaan walaupun harus merasakan sakit yang amat perih dan kau harus mendapatkan
seseorang yang mengerti kamu dan mencintaimu bukan karena ada apanya tapi
karena apa adanya.”
Dikelas
VIII, aku dipertemukan cowok yang sifat
seperti Evan. Ia mengingatkanku akan semua kenangan-kenangan manis semasa di SD
bersama Evan.
Syam
namanya. Dari luarnya tak ada apa-apa.
Tapi aku melihat dia dari sisi lain di dalam dirinya yang tidak semua orang dapat
memahaminya.
Aku
kenal Syam sejak lama. Tapi hanya
sebatas teman saja dan akupun menggapnya hanya sebagai kakak kelas yang harus dihormati.
Tapi dia mengungkapkan perasaannya padaku. Awalnya aku menerimanya hanya
sekedar ingin tahu tentang dia lebih dekat lagi tapi lama kelamaan aku merasa
nyaman dengan kehadirannya baik di sekolah maupun di keseharianku. Ia dapat
menjadi teman disaat ku membutuhkan seseorang untuk curhat bahkan
mengingatkanku untuk tetap melaksanakan kewajibanku seperti sholat dan belajar.
Kami
sadar bahwa sebenarnya cinta yang kami jalani hanyalah cinta monyet tapi kami
senang dengan hubungan ini karena membawa keberuntungan tersendiri bagiku. Sejak
mengenal Syam. aku jadi berubah. Aku yang dulunya peringkat IV menjadi
peringkat III pada semester satu dan peringat II pada semester kedua. Aku
sangat berterima kasih atas kehadiran Syam di sisiku karena dapat merubah
hidupku dan mengembalikanku pada diriku yang sesungguhnya.
Tak
terasa hubungan yang kami jalani sudah melewati satu tahun. Saat ini aku duduk
di kelas IX dan dia sudah meninggalkanku untuk melanjutkan sekolahnya ke SMA. Tapi aku tak tahu kenapa sejak kami
terpisahkan semuanya menjadi berubah. Aku tak bersemangat. Aku merasa rindu
bersamanya.
Masalah datang silih berganti menimpa
hubungan kami, badai menerpa, kami
mencoba melewatinya dengan penuh rasa sabar. Awalnya ketika Kelas IXD dilebur
sementara karena gedung sekolah direhabilitasi dan siswanya disisipkan di kelas
lain. aku
ditempatkan di kelas IXA yang semua siswanya menerima kedatanganku dengan senang
hati.
Tak
terkecuali Iwan si anak nakal yang ada di kelas itu. Iwan, yang selalu mengangguku. setiap hari di kelas
ketika guru tak ada. Syam mengetahui masalah itu dan marah kepada Iwan. Akibatnya
Syam emosi dan kesal terhadap Iwan. Sebenarnya aku tak menceritakan kepada Syam
kalau Iwan sering menggangguku karena tak ingin membuat Syam khawatir dan marah
dengan tingkah Iwan yang sangat keterlaluan.
Iwan
yang sok jago merasa tertantang, meminta
Syam untuk duel tapi Syam tak ingin menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Dia
hanya ingin memberikan pengarahan kepada Iwan agar ia tidak menggangguku.
Iwan
tak menerima nasihat Syam. Iwan melabrak
Syam di rumah temannya Rindo. Iwan tiba-tiba memukul Syam yang membuat Syam
tidak bisa berkelik untuk tidak meladeni Iwan. Perkelahian pun terjadi. Iwan
kalah.
Dua
hari setelah kejadian itu,.entah siapa menyampaikan kepada mamanya Iwan dan juga kepada ibunya
Syam. Mamanya Iwan mendatangi Ibunya
Syam dan mengatakan “Kenapa anakmu memukuli anak saya padahal anak saya itu
orangnya sabar dan penurut.”
Ibunya Syam menjawab “Siapa lagi kalau bukan
Nurul, pacarnya.”
Mendengar
semua itu, aku menjadi sedih. Aku merasa tak bersalah. Yang bisa kulakukan
hanya menangis dan menangis. Kesendirian dan ketenangan jadi penghibur diriku.
Aku mengingat kata-kata Syam yang pernah diucapkan
padaku “Ketika kau merasa tertekan dan
sedih maka yang harus kau lakukan adalah sholat, berdoa, dan mengaji.”
Kulakukan
apa yang dikatakan Syam, hatiku merasa tentram dan damai. Walau air mata tak
henti mengalir, tak kuhiraukan lagi Iwan dan mamanya walau aku merasa tertekan
untuk melakukan aktivitas di luar rumah karena aku takut bertemu mamanya Iwan
di jalan. Yang terjadi sekarang adalah ada
jarak antara aku dan Syam. Nama baikku dimata ibunya sudah jelek.
Kecapean
dan tekanan memaksaku untuk bertemu dengan orang tua Syam dan menjelaskan
semuanya. Aku mengatakan kalau aku menjauhi Syam dan takkan lagi mengganggu
hidupnya karena kusadari bahwa cinta yang kujalani dengan Syam hanyalah cinta
monyet dan aku rela menjadi korban asalkan Ibu bahagia dengan Syam.
Itu
pula yang kujelaskan pada Syam. Kalau memang kita berjodoh pasti akan bertemu nanti. Entah kapan, dimana dan
dengan cara apa. Kita harus bersekolah dan mencapai semua cita-cita yang kita
impikan Karena hidup mati kita ada di sekolah dan jodoh tak lari kemana. Jadi
untuk meredam masalah ini mari merenggangkan hati dan perasaan masing-masing.
Aku
kini merasa lega tapi kesepian di ruang kelas yang ramai. Kusibukkan diriku dengan kegiatan-kegiatan di
sekolah yang bermanfaat buat masa
depanku.
Nurul
Isna Mawaddah
Kelas
IX D SMPN 4 Sinjai Timur
Oktober
2012
Minggu, 02 Desember 2012
Senin, 26 November 2012
SEHARI DI BIRA
Bangun pagi, kulihat adik-adikku sibuk berdandan. Aku malas bangun karena aku tak ikut Shalat Id
di lapangan. Aku datang bulan. ayahku
sudah siap dengan setelan baju kok warna putih. Ia memanggil adik-adikku untuk
menemaninya sarapan. Aroma ketupak daun pandang memaksaku untuk berdiri
menghampiri meja makan. Kulihat ibu masih sibuk di dapur. Dengan rasa malas aku
menghampiri ibu untuk membantu melaksanakan tugas pagi.
Kebiasaan pada hari lebaran adalah mengganti seprei dengan
yang baru, membersihkan rumah dan menyiapkan makanan special untuk tamu.
Beberapa ayam di potong dalam perayaan lebaran kali ini. Tak ketinggalan
masakan kesukaanku, opor ayam dan buras.
Hari terasa singgkat. Para jamaah sudah pulang. Ramai
keluarga yang datang mengucapkan selamat buat ayah dan ibuku. Mereka berjabat
tangan dan berpelukan saling maaf memaafkan. Aku ikut makan bersama tamu yang
datang. Aku memang merasa lapar karena kesibukan pagi.
Seseorang mengetuk pintu samping ketika aku duduk menonton
televisi. Ternyata Mila tetanggaku berdiri di sama. Aku mengajaknya masuk tapi
ia menolak.
:Bagaimana kalau kita ke Bira?” katanya sambil menjabat
tanganku.
Aku tak menolaknya. Segera kurapikan meja makan dan pamit
pada ibu. Aku berangkat bersama adik dan keponakanku. Semuanya ada 7 orang. Aku
memilih duduk di belakang pada mobil bak terbuka itu. Tidak ada pelindung tapi
menyenangkan karena angin yang menghembus menyejukkan suasana dan leluasa
menyaksikan pemandangan yang indah.
aku duduk dekat Wahyu, temannya sopir sekaligus pacarnya
Mila. Ia tidak pernah menoleh padaku. Mungkin karena aku belum kenal dengan
dia. Tiba-tiba ia memberiku sebiji permen. Aku tak menolaknya. Segera kuambil
dan kumakan.
Pemandangan sepanjang tepian pantai menghilangkan rasa mual
karena mabuk darat. Laut dengan pasir putih yang membentang sejauh mata
memandang, pohon nyiur melambai
menghadap laut yang tak beriak. kupucingkan mataku karena kilauan cahaya putih
mempesona. Angin laut menghembus semilir, laju mobil diperlambat. Aku
betul-betul menikmati keindahan ini, membuat suasana damai dalam hati. Tapi...
cowok di sampingku belum juga bertutur kata padaku.
Memasuki pintu masuk pantai Bira, laut biru membentang
menyambut kami. Rasa gembira di antara rombongan tak terbendung. Kami
berlari-lari kecil ke bungalow dan
berdiri menatapi keindahan alam Bira. Seorang turis menghampiriku dan memeluk
bahuku. Ia berkata “Hei” aku terkejut dan berlari keparkiran mengambil tasku.
Dengan HP aku buat foto dengan adikku. Beberapa kali
kuabadikan kenangan indah ini lalu berjalan menelusuri bibir pantai. Dari jauh
terlihat Babana Boat dengan penumpang berteriak-teriak kegirangan.
Lelah berjalan, aku memilih ikut menceburkan diri ke laut.
Menikmati panasnya matahari, asinnya air dan dinginnya laut Bira. Aku berperang
air dan pasir dengan keponakanku. Aku tinggal berdua karena yang lain masih
berjalan—jalan. Kuajak keponakanku Meli untuk belajar berenang. Karena
keasyikan aku tak sadar kalau rombonganku ada di sampingku. Wahyu bergabung
denganku. Ia mulai ramah.
Wahyu mengajariku bermain bola air. Cukup menyenangkan apa
lagi setelah aku sadar kalau aku cuma berdua Wahyu karena ditinggal menjauh
teman lainnya. Aku mengajaknya berkenalan mulai bertanya alamat, nama dan
tempat tinggalnya.
“Kau bisa berenang” ia mengangguk.
“Kalau begitu ajari aku berenang.”
Dia memegang tanganku dan membiarkanku mengayuhkan kaki.
Ketika kucoba untuk lepas dari pegangannya, aku tenggelam. Ia segera menolongku
dengan menopangku ke permukaan air. Aku tersipu malu. Selanjutnya ia menyuruhku
berpegangan di pundaknya. Aku tertawa cekikikan.
Sambil bersenda gurau Wahyu berkata “Kenapa bebek bisa
berenang sedangkan kamu tidak.?” Masa aku dibanding-bandingkan dengan bebek.
Sebagai jawaban, aku menyemprotkan air ke mukanya dan ia
membalas padaku.
Suasana jadi berubah ketika teman lainnya mendekat dan menggoda
padaku. Aku dan Wahyu cuma tersenyum malu, walau tangannya tak kepas padaku.
Tiga jam bersama dalam air, kami menepi untuk makan bersama.
Ketika hendak naik ke mobil, Wahyu mengajakku kembali duduk
dekatnya. Aku tidak menolak. Aku kembali
menoleh sekali lagi melihat keindahan pantai Bira. Hempasan air menerpa pantai.
Dalam perjalanan pulang yang lain tertidur. Aku mabuk, kepalaku pening. Tinggal
aku dan Wahyu yang tak tidur. Wahyu menawarkan pahanya untuk aku tiduri. Aku
menurut saja. Aku tertidur pulas hingga aku tak sadar kalau aku sudah sampai di
rumah.
Wahyu membangunkanku dengan lembut. Aku tersenyum malu telah
numpang tidur di pahanya.
Sebelum aku melompat turun, ia membisikkan padaku “Akankah
kita bertemu lagi?”
Aku menjawab dengan anggukan dan senyum. Aku turun dari
mobil dan melambaikan tangan padanya. Dalam hatiku berkata “Yah, kita akan
bertemu kembali.”
Ilmiani
Kelas IXD SMP Negeri 4
Sinjai Timur
Oktober 2012
Langganan:
Postingan (Atom)