Pertama kali melihat dia, rasanya biasa
saja. Aku akrab lalu bermain bersama, bersendagurau menghabiskan waktu
dengannya. Semua berjalan begitu singkat.
Di hari yang cerah, Saat pengumuman
kelulusan sekolah aku dan Evan bertemu. Dia baik, Tapi yang aneh di saat semua bersorak gembira, Evan
hanya duduk melamun tak tahu ada apa dengannya. Aku menghampiri Evan yang saat
itu sedang duduk di bangku taman sekolah. Aku bertanya kepada Evan. Ada apa.
Mengapa melamun? Ia tak merespon.
Teman
mengajakku berkomfoi merayakan kelulusan. Awalnya, Evan tak tertarik tapi
karena bujukanku, ia setuju.
Di
perjalanan aku berada di belakang sepeda motornya. Saat ia akan mengambil alih
pimpinan, tiba-tiba mobil terontong datang dari arah berlawanan. kecelakaan tak
dapat dihindarkan.
Terpukul,
begitulah keadaanku. Di saat baru mengenalnya beberapa bulan tapi dia
meninggalkanku secepat itu dan dengan cara yang menyedihkan. Sampai saat ini aku
masih menyalahkan diriku terhadap meninggalnya Evan. “Ya Allah mengapa semuanya
berlalu begitu saja? Mengapa Kau mengambil dia, mengapa bukan aku saja?” Aku Cuma ingat satu pesannya “Kau harus kuat dan tegar menghadapi semua
cobaan walaupun harus merasakan sakit yang amat perih dan kau harus mendapatkan
seseorang yang mengerti kamu dan mencintaimu bukan karena ada apanya tapi
karena apa adanya.”
Dikelas
VIII, aku dipertemukan cowok yang sifat
seperti Evan. Ia mengingatkanku akan semua kenangan-kenangan manis semasa di SD
bersama Evan.
Syam
namanya. Dari luarnya tak ada apa-apa.
Tapi aku melihat dia dari sisi lain di dalam dirinya yang tidak semua orang dapat
memahaminya.
Aku
kenal Syam sejak lama. Tapi hanya
sebatas teman saja dan akupun menggapnya hanya sebagai kakak kelas yang harus dihormati.
Tapi dia mengungkapkan perasaannya padaku. Awalnya aku menerimanya hanya
sekedar ingin tahu tentang dia lebih dekat lagi tapi lama kelamaan aku merasa
nyaman dengan kehadirannya baik di sekolah maupun di keseharianku. Ia dapat
menjadi teman disaat ku membutuhkan seseorang untuk curhat bahkan
mengingatkanku untuk tetap melaksanakan kewajibanku seperti sholat dan belajar.
Kami
sadar bahwa sebenarnya cinta yang kami jalani hanyalah cinta monyet tapi kami
senang dengan hubungan ini karena membawa keberuntungan tersendiri bagiku. Sejak
mengenal Syam. aku jadi berubah. Aku yang dulunya peringkat IV menjadi
peringkat III pada semester satu dan peringat II pada semester kedua. Aku
sangat berterima kasih atas kehadiran Syam di sisiku karena dapat merubah
hidupku dan mengembalikanku pada diriku yang sesungguhnya.
Tak
terasa hubungan yang kami jalani sudah melewati satu tahun. Saat ini aku duduk
di kelas IX dan dia sudah meninggalkanku untuk melanjutkan sekolahnya ke SMA. Tapi aku tak tahu kenapa sejak kami
terpisahkan semuanya menjadi berubah. Aku tak bersemangat. Aku merasa rindu
bersamanya.
Masalah datang silih berganti menimpa
hubungan kami, badai menerpa, kami
mencoba melewatinya dengan penuh rasa sabar. Awalnya ketika Kelas IXD dilebur
sementara karena gedung sekolah direhabilitasi dan siswanya disisipkan di kelas
lain. aku
ditempatkan di kelas IXA yang semua siswanya menerima kedatanganku dengan senang
hati.
Tak
terkecuali Iwan si anak nakal yang ada di kelas itu. Iwan, yang selalu mengangguku. setiap hari di kelas
ketika guru tak ada. Syam mengetahui masalah itu dan marah kepada Iwan. Akibatnya
Syam emosi dan kesal terhadap Iwan. Sebenarnya aku tak menceritakan kepada Syam
kalau Iwan sering menggangguku karena tak ingin membuat Syam khawatir dan marah
dengan tingkah Iwan yang sangat keterlaluan.
Iwan
yang sok jago merasa tertantang, meminta
Syam untuk duel tapi Syam tak ingin menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Dia
hanya ingin memberikan pengarahan kepada Iwan agar ia tidak menggangguku.
Iwan
tak menerima nasihat Syam. Iwan melabrak
Syam di rumah temannya Rindo. Iwan tiba-tiba memukul Syam yang membuat Syam
tidak bisa berkelik untuk tidak meladeni Iwan. Perkelahian pun terjadi. Iwan
kalah.
Dua
hari setelah kejadian itu,.entah siapa menyampaikan kepada mamanya Iwan dan juga kepada ibunya
Syam. Mamanya Iwan mendatangi Ibunya
Syam dan mengatakan “Kenapa anakmu memukuli anak saya padahal anak saya itu
orangnya sabar dan penurut.”
Ibunya Syam menjawab “Siapa lagi kalau bukan
Nurul, pacarnya.”
Mendengar
semua itu, aku menjadi sedih. Aku merasa tak bersalah. Yang bisa kulakukan
hanya menangis dan menangis. Kesendirian dan ketenangan jadi penghibur diriku.
Aku mengingat kata-kata Syam yang pernah diucapkan
padaku “Ketika kau merasa tertekan dan
sedih maka yang harus kau lakukan adalah sholat, berdoa, dan mengaji.”
Kulakukan
apa yang dikatakan Syam, hatiku merasa tentram dan damai. Walau air mata tak
henti mengalir, tak kuhiraukan lagi Iwan dan mamanya walau aku merasa tertekan
untuk melakukan aktivitas di luar rumah karena aku takut bertemu mamanya Iwan
di jalan. Yang terjadi sekarang adalah ada
jarak antara aku dan Syam. Nama baikku dimata ibunya sudah jelek.
Kecapean
dan tekanan memaksaku untuk bertemu dengan orang tua Syam dan menjelaskan
semuanya. Aku mengatakan kalau aku menjauhi Syam dan takkan lagi mengganggu
hidupnya karena kusadari bahwa cinta yang kujalani dengan Syam hanyalah cinta
monyet dan aku rela menjadi korban asalkan Ibu bahagia dengan Syam.
Itu
pula yang kujelaskan pada Syam. Kalau memang kita berjodoh pasti akan bertemu nanti. Entah kapan, dimana dan
dengan cara apa. Kita harus bersekolah dan mencapai semua cita-cita yang kita
impikan Karena hidup mati kita ada di sekolah dan jodoh tak lari kemana. Jadi
untuk meredam masalah ini mari merenggangkan hati dan perasaan masing-masing.
Aku
kini merasa lega tapi kesepian di ruang kelas yang ramai. Kusibukkan diriku dengan kegiatan-kegiatan di
sekolah yang bermanfaat buat masa
depanku.
Nurul
Isna Mawaddah
Kelas
IX D SMPN 4 Sinjai Timur
Oktober
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar