(Mengenang Guruku
yang pergi lebih awal menghadap Tuhan. Insya Allah Tuhan akan menerima amal
baikmu karena kami semua mencintaimu. Selamat jalan Guruku)
Selasa
pagi, 2 Oktober 2012, terasa disambar petir, kaget luar biasa mendengar kabar
kalau guru honor Alumni UNM jurusan Matematika di sekolahku meninggal dunia. Aku
bergegas menemui wali kelas dan memohon diberi izin melayat ke rumah duka.
kulihat mata para guru memerah menahan kesedihan. Duka yang mendalam
menyelimuti SMPN 4 Sinjai Timur. Guru
yang serba bisa itu telah meninggalkan kami semua.
Jam
pelajaran terakhir aku berangkat bersama teman-teman. Tangisku tak dapat
kutahan melihat jasad kaku di hadapanku. Guru ahli teknologi informatika ini
pergi dengan tenang untuk selamanya.
***
Hari
pertama sekolah usai libur perayaan idul Fitri 1433 H, aku dan teman-teman
pergi menjenguk Pak Subandi yang sedang
sakit. sudah lama ia tidak masuk sekolah.
Langit
cerah di sore hari pukul 3.00. ayah mengantarku ke rumah Nurul. Ina dan Wahda sudah datang terlebih dahulu. Kami lansung
berangkat meyusuri jalan sepi menuju Dompili, ke rumah pak Subandi. Belum jauh
berjalan, tali sandal Nurul terputus. Perjalanan menjadi lambat karena
Nurul berjalan menyeret kakinya.
“Firasat
apa ini?. Kok sendalku putus.” Kata Nurul.
“Yah,
sandal tua, putus saja tak pakai firasat.” Jawab Ina.
Di
Dompili, kami bingung tak tahu yang mana rumah Pak Subandi.
“Rumah Pak Subandi yang mana sih?” Wahda
bertanya pada Nurul
“Mungkin
ini.” Kata Nurul sambil menunjuk rumah yang bercat putih “Menurut Rezky,
rumahnya bercat putih dan pagarnya juga berwarna putih.”
“Eh, itu
motornya Pak Subandi.” Sahut Ina dengan riang.
Aku
menyela “ Gini aja Nurul dan Ina bertanya biar ngak salah”
“Oke.’
Kata Nurul sambil berjalan menuju rumah sebelah
Tak berapa
lama berselang, Ina dan Nurul kembali dengan wajah riang luar biasa.
“Ada
apa?” tanyaku penasaran.
“Aduh
senangnya. Aku tadi bertanya pada cowok guaaaanteng baangeet.” Kata Nurul
seperti orang kesurupan..”
“Udah.
Sekarang yang mana rumah Pak Subandi.”
“Itu
yang tadi” jawab Ina.
“Kalau
begitu kita masuk aja “sela Wahda
“Nurul,
kamu masuk duluan.” Kataku pada Nurul ketika memasuki halaman rumah.
“Lho,
kenapa aku?”
“Udah,
cepatan kita masuk sama-sama saja” kata Ina.
Seorang
nenek dengan ramah membukakan pintu untuk kami. Ia mempersilahkan kami masuk
dan mengatur diri di kursi ruang tamu.
Seorang
pria kurus mendekati kami, semula aku tak kenal kemudian aku terkejut kalau
ternyata pria itu adalah guruku. Dari ujung kaki sampai ujung rambut aku
perhatikan. Badannya kurus, kusam tak terawat. Aku heran melihat perubahan itu.
Walau begitu aku berusaha tersenyum. Sangat bersyukur bisa melihatnya. Sudah
lama aku tidak bertemu dengannya.
Pak
Subandi tersenyum menyalami kami satu
persatu. Tangannya sangat kurus. Ia berusaha duduk walau terlihat dipaksakan.
Mataku
merayap keseluruh penjuru rumah. Tak ada orang lain kecuali Pak Subandi dan
neneknya. Ayahnya yang pensiunan pegawai SD tidak ada di rumah. Juga dua kakak
laki-lakinya yang guru biologi dan guru fisika di SMP
dan adik lelakinya yang juga
seorang guru. Aku kagum pada keluarga ini.orang tua sederhana yang
menyekolahkan anak-anaknya hingga berhasil. Kalau saja aku seperti keluarga
ini.
Nurul
memberikan bingkisan yang kami bawa dari rumah.
“Terima
kasih,” kata Pak Subandi
“Kenapa
bisa begini, Pak? Nurul memulai
percakapan.
“Saya
juga tidak tahu kenapa.” Jawabnya sambil menunduk.
“Memangnya
Bapak sakit apa?” tanyaku.
“Kata
dokter, kanker kelenjar.”
Menyebut
kata “Kanker” aku terkejut luar biasa. Kulirik wajah teman di dekatku, ternyata
ia sama denganku. Badanku terasa bergetar. Penyakit yang sangat berbahaya ini
menyerang guruku. Konon kabarnya
penyakit kangker yang menyerang pada usia remaja akan lebih cepat
menjalar ke seluruh tubuh dibanding jika kangker menyerang orang tua.
“Awalnya
aku kira sakit maq. Memang aku malas makan. Ulu hatiku sering terasa sakit dan
itu sudah berlangsung lama. Belakangan ini leherku terasa tengang dan kaku. Aku tak bisa menoleh.
Kukira karena kecapean ikut bantu-bantu membangun rumah dapur di belakang.
Karena sakit lehernya tak mau berhenti, aku periksakan diri ke dokter, ternyata aku juga menderita penyakit lever.”
Pak
Subandi berhenti sejenak. Terdengar rasa
lelah dari lirik suaranya. Tak terasa air mataku menetes begitu juga dengan
temanku yang lain. Suasana menjadi hening. Aku bisa membayangkan rasa sakit
yang diderita guru matematikaku.
Pak
Subandi menunduk pasrah, kemudian melanjutkan “Penyakit kangker kelenjar ini tidak bisa
diobati sebelum mengobati penyakit lever terlebih dahulu.”
“Tapi
perut Bapak sepertinya membesar” kataku menyela
“Iya.
Sekitar seminggu yang lalu. Ini akibat penyakit lever.
“Bagaimana
kalau diopname?” sela Nurul.
“Sudah
dilakukan. Sebulan aku di rumah sakit dan dokter menyarankan rawat rumah saja.
Sekarang cuma ada pengobatan alternatif” Pak Subandi menjawab dengan wajah
pasrah.
“Obat
yang paling mujarab adalah makanan Pak. Makanlah apa saja agar bergizi dan
dapat menolak penyakit.”
“Aku
tak nafsu makan. Aku Cuma bisa makan ikang goreng yang diberi bumbu. Atau Ice
Miami.
“Ice
Miami?” jawabku serentak.
“Iya.
Begitulah. Aku setiap hari makan Es Miami. Makanan lainnya akan membuatku
muntah” jawab Pak Subandi.
“Kapan
Bapak terakhir kali mengajar?” Tanya Nurul.
“Saya
juga tidak terlalu ingat, mungkin sebelum UAN (Ujian Akhir Nasional).” Kata Pak Subandi.
Suasana
kembali sepi, serasa ikut hanyut dalam penderitaan Pak Subandi. Nurul mencoba
mencairkan suasana sore itu dan berkata
“Semenjak pak Subandi tidak mengajar, sekolah terasa sepi.”
‘Kenapa
begitu?” Tanya pak Subandi.
“Karena tidak ada lagi guru pemuda di sekolah.
Tak ada lagi yang dikomentari tentang cara berpakaian sampai cara berjalan. Kami
semua tertawa mendengar jawaban Nurul.
Pak
Subandi Cuma tersenyum dan menunduk
lesu. Seorang nenek mengantarkan kami senampang teh dan mengaturnya di atas
meja.
“Silahkan
minum, tapi biasanya kalau ibuku membuat teh rasanya tidak manis.” kata Pak Subandi
“Yang
tadi ibunya Pak Subandi?” tanyaku bersamaan dengan Nurul.
“Iya.”
“Aku
kira neneknya Pak Subandi.” Sela Inna dan Nurul.
Pak
Subandi Cuma tersenyum. “Mohon maaf kalau boleh aku tiduran di sofa.”.
“Ia
Pak, silahkan. Ngak apa-apa. Kita bisa berbicara sambil Bapak tiduran” Kataku
“Amalia,Amalia”
Ina Menggamitku.
“Apa
sih Ina.” jawabku kesal
“Lihat
itu.” Ina menunjuk Foto yang ada di pojok ruangan.
“Oh
Foto Pak Subandi.” Suaraku keras.
“Pak,
dari tadi Ina lihat terus ke foto Bapak yang di pojok” kata Nurul sambil
meminum tehnya.
“Tidak
Pak” Ina bela diri “Nurul, jangan sembarang bicara dong.”
“Ganteng
Pak” kataku.
“Itu
foto waktu di SMA.
Tiba-tiba
Nurul berlari ke luar rumah. Ia keselek minum teh. Ia muncul kembali dengan
mata memerah,
“Makanya
kalau minum jangan ketawa” Kata Ina.
“kalian
sih, bikin ketawa terus.”
Nurul
kembali duduk menyekah wajahnya yang memerah.
“Rambutnya Pak Subandi kayak Jambulnya
Syahrini.” Kami semua tertawa mendengarnya komentar Nurul.
Pak
Subandi lagi-lagi tersenyum memegang rambutnya “Oh, ini, katanya, orang sakit
tidak boleh potong rambut”
Nurul
melanjutkan candanya. Kami semua tertawa tapi Pak Subandi Cuma bisa tersenyum dan
tersenyum. Cuma itu yang bisa ia lakukan. Tidak seriang dulu ketika ia di kelas
mengajarkan Matematika atau Teknologi informatika.
Pukul
5.00 sore kami pamit pulang.’
“Minal
aidzin wal faizin.” Kata Pak Subandi
”Iya
pak. Kami juga. Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin”
Kataku sambil bersalaman dengan Pak Subandi dan ibunya.
Ibu
Pak Subandi mengatar kami sampai di pintu. Aku meninggalkan rumah pak Subandi
dengan pilu yang mendalam. Tak terbayangkan betapa penderitaan yang dialaminya.
Guru muda itu diberi cobaan oleh yang Kuasa. Mungkin aku sependapat dengan
semua teman-temanku bahwa penyakit yang
diderita guruku sangatlah parah, hingga perjalanan pulang terasa lama karena
semuanya hening, berbicara dengan diri masing-masing.
Nur Amalia Amir
Kelas IXA SMPN 4 Sinjai Timur
Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar