Sabtu, 15 Desember 2012

SENYUM TERAKHIR PAK SUBANDI



(Mengenang Guruku yang pergi lebih awal menghadap Tuhan. Insya Allah Tuhan akan menerima amal baikmu karena kami semua mencintaimu. Selamat jalan Guruku)
Selasa pagi, 2 Oktober 2012, terasa disambar petir, kaget luar biasa mendengar kabar kalau guru honor Alumni UNM jurusan Matematika di sekolahku meninggal dunia. Aku bergegas menemui wali kelas dan memohon diberi izin melayat ke rumah duka. kulihat mata para guru memerah menahan kesedihan. Duka yang mendalam menyelimuti SMPN 4 Sinjai Timur.  Guru yang serba bisa itu telah meninggalkan kami semua.
Jam pelajaran terakhir aku berangkat bersama teman-teman. Tangisku tak dapat kutahan melihat jasad kaku di hadapanku. Guru ahli teknologi informatika ini pergi dengan tenang untuk selamanya.
***
Hari pertama sekolah usai libur perayaan idul Fitri 1433 H, aku dan teman-teman pergi menjenguk Pak Subandi  yang sedang sakit. sudah lama ia tidak masuk sekolah.
Langit cerah di sore hari pukul 3.00. ayah mengantarku  ke rumah Nurul. Ina dan Wahda  sudah datang terlebih dahulu. Kami lansung berangkat meyusuri jalan sepi menuju Dompili, ke rumah pak Subandi. Belum jauh berjalan, tali sandal Nurul terputus. Perjalanan menjadi lambat karena Nurul  berjalan menyeret kakinya.
“Firasat apa ini?. Kok sendalku putus.” Kata Nurul.
“Yah, sandal tua, putus saja tak pakai firasat.” Jawab Ina.
Di Dompili, kami bingung tak tahu yang mana rumah Pak Subandi.
 “Rumah Pak Subandi yang mana sih?” Wahda bertanya pada Nurul
“Mungkin ini.” Kata Nurul sambil menunjuk rumah yang bercat putih “Menurut Rezky, rumahnya bercat putih dan pagarnya juga berwarna putih.”
“Eh, itu motornya Pak Subandi.” Sahut Ina dengan riang.
Aku menyela “ Gini aja Nurul dan Ina bertanya biar ngak salah”
“Oke.’ Kata Nurul sambil berjalan menuju rumah sebelah
Tak berapa lama berselang, Ina dan Nurul kembali dengan wajah riang luar biasa.
“Ada apa?” tanyaku penasaran.
“Aduh senangnya. Aku tadi bertanya pada cowok guaaaanteng baangeet.” Kata Nurul seperti orang kesurupan..”
“Udah. Sekarang yang mana rumah Pak Subandi.”
“Itu yang tadi” jawab Ina.
“Kalau begitu kita masuk aja “sela Wahda
“Nurul, kamu masuk duluan.” Kataku pada Nurul ketika memasuki halaman rumah.
“Lho, kenapa aku?”
“Udah, cepatan kita masuk sama-sama saja” kata Ina.
Seorang nenek dengan ramah membukakan pintu untuk kami. Ia mempersilahkan kami masuk dan mengatur diri di kursi ruang tamu.
Seorang pria kurus mendekati kami, semula aku tak kenal kemudian aku terkejut kalau ternyata pria itu adalah guruku. Dari ujung kaki sampai ujung rambut aku perhatikan. Badannya kurus, kusam tak terawat. Aku heran melihat perubahan itu. Walau begitu aku berusaha tersenyum. Sangat bersyukur bisa melihatnya. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya.
Pak Subandi  tersenyum menyalami kami satu persatu. Tangannya sangat kurus. Ia berusaha duduk walau terlihat dipaksakan.
Mataku merayap keseluruh penjuru rumah. Tak ada orang lain kecuali Pak Subandi dan neneknya. Ayahnya yang pensiunan pegawai SD tidak ada di rumah. Juga dua kakak laki-lakinya yang guru biologi dan guru fisika di  SMP  dan adik lelakinya  yang juga seorang guru. Aku kagum pada keluarga ini.orang tua sederhana yang menyekolahkan anak-anaknya hingga berhasil. Kalau saja aku seperti keluarga ini.
Nurul memberikan bingkisan yang kami bawa dari rumah.
“Terima kasih,” kata Pak Subandi
“Kenapa bisa begini, Pak?  Nurul memulai percakapan.
“Saya juga tidak tahu kenapa.” Jawabnya sambil menunduk.
“Memangnya Bapak sakit apa?” tanyaku.
“Kata dokter, kanker kelenjar.”
Menyebut kata “Kanker” aku terkejut luar biasa. Kulirik wajah teman di dekatku, ternyata ia sama denganku. Badanku terasa bergetar. Penyakit yang sangat berbahaya ini menyerang guruku. Konon kabarnya  penyakit kangker yang menyerang pada usia remaja akan lebih cepat menjalar ke seluruh tubuh dibanding jika kangker menyerang orang tua.
“Awalnya aku kira sakit maq. Memang aku malas makan. Ulu hatiku sering terasa sakit dan itu sudah berlangsung lama. Belakangan ini leherku  terasa tengang dan kaku. Aku tak bisa menoleh. Kukira karena kecapean ikut bantu-bantu membangun rumah dapur di belakang. Karena sakit lehernya tak mau berhenti, aku periksakan diri ke dokter,  ternyata aku juga menderita penyakit lever.”
Pak Subandi berhenti sejenak.  Terdengar rasa lelah dari lirik suaranya. Tak terasa air mataku menetes begitu juga dengan temanku yang lain. Suasana menjadi hening. Aku bisa membayangkan rasa sakit yang diderita guru matematikaku.
Pak Subandi menunduk pasrah, kemudian  melanjutkan  “Penyakit kangker kelenjar ini tidak bisa diobati sebelum mengobati penyakit lever terlebih dahulu.”
“Tapi perut Bapak sepertinya membesar” kataku menyela
“Iya. Sekitar seminggu yang lalu. Ini akibat penyakit lever.
“Bagaimana kalau diopname?” sela Nurul.
“Sudah dilakukan. Sebulan aku di rumah sakit dan dokter menyarankan rawat rumah saja. Sekarang cuma ada pengobatan alternatif” Pak Subandi menjawab dengan wajah pasrah.
“Obat yang paling mujarab adalah makanan Pak. Makanlah apa saja agar bergizi dan dapat menolak penyakit.”
“Aku tak nafsu makan. Aku Cuma bisa makan ikang goreng yang diberi bumbu. Atau Ice Miami.
“Ice Miami?” jawabku serentak.
“Iya. Begitulah. Aku setiap hari makan Es Miami. Makanan lainnya akan membuatku muntah” jawab Pak Subandi.
            “Kapan Bapak terakhir kali mengajar?” Tanya Nurul.
“Saya juga tidak terlalu ingat, mungkin sebelum UAN (Ujian Akhir Nasional).” Kata Pak Subandi.
Suasana kembali sepi, serasa ikut hanyut dalam penderitaan Pak Subandi. Nurul mencoba mencairkan suasana  sore itu dan berkata “Semenjak pak Subandi tidak mengajar, sekolah terasa sepi.”
‘Kenapa begitu?” Tanya pak Subandi.
 “Karena tidak ada lagi guru pemuda di sekolah. Tak ada lagi yang dikomentari tentang cara berpakaian sampai cara berjalan. Kami semua tertawa mendengar jawaban Nurul.
Pak Subandi Cuma tersenyum dan  menunduk lesu. Seorang nenek mengantarkan kami senampang teh dan mengaturnya di atas meja.
“Silahkan minum, tapi biasanya kalau ibuku membuat teh rasanya tidak manis.” kata Pak Subandi
“Yang tadi ibunya Pak Subandi?” tanyaku bersamaan dengan Nurul.
“Iya.”
“Aku kira neneknya Pak Subandi.” Sela Inna dan Nurul.
Pak Subandi Cuma tersenyum. “Mohon maaf kalau boleh aku tiduran di sofa.”.
            “Ia Pak, silahkan. Ngak apa-apa. Kita bisa berbicara sambil Bapak tiduran” Kataku
“Amalia,Amalia” Ina Menggamitku.
“Apa sih Ina.” jawabku kesal
“Lihat itu.” Ina menunjuk Foto yang ada di pojok ruangan.
“Oh Foto Pak Subandi.” Suaraku keras.
“Pak, dari tadi Ina lihat terus ke foto Bapak yang di pojok” kata Nurul sambil meminum tehnya.
“Tidak Pak” Ina bela diri “Nurul, jangan sembarang bicara dong.”
“Ganteng Pak” kataku.
“Itu foto waktu di SMA.
Tiba-tiba Nurul berlari ke luar rumah. Ia keselek minum teh. Ia muncul kembali dengan mata memerah,
“Makanya kalau minum jangan ketawa” Kata Ina.
“kalian sih, bikin ketawa terus.”
Nurul kembali duduk menyekah wajahnya yang memerah.
 “Rambutnya Pak Subandi kayak Jambulnya Syahrini.” Kami semua tertawa mendengarnya komentar Nurul.
Pak Subandi lagi-lagi tersenyum memegang rambutnya “Oh, ini, katanya, orang sakit tidak boleh potong rambut”
Nurul melanjutkan candanya. Kami semua tertawa tapi Pak Subandi Cuma bisa tersenyum dan tersenyum. Cuma itu yang bisa ia lakukan. Tidak seriang dulu ketika ia di kelas mengajarkan Matematika atau Teknologi informatika.
Pukul 5.00 sore kami pamit pulang.’
“Minal aidzin wal faizin.” Kata Pak Subandi
”Iya pak. Kami juga. Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin” Kataku sambil bersalaman dengan Pak Subandi dan ibunya.
Ibu Pak Subandi mengatar kami sampai di pintu. Aku meninggalkan rumah pak Subandi dengan pilu yang mendalam. Tak terbayangkan betapa penderitaan yang dialaminya. Guru muda itu diberi cobaan oleh yang Kuasa. Mungkin aku sependapat dengan semua teman-temanku  bahwa penyakit yang diderita guruku sangatlah parah, hingga perjalanan pulang terasa lama karena semuanya hening, berbicara dengan diri masing-masing.
Nur Amalia Amir
Kelas IXA SMPN 4 Sinjai Timur
Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar